Le Grand Voyage merupakan film yang disutradarai oleh Ismael Ferroukhi dan dirilis pada 2004. Film berbahasa Prancis dan Arab Maroko tersebut diperankan oleh Nicolas Cazale (Reda) dan Mohammad Majd (Ayah dari Reda). Secara umum, film tersebut mengisahkan tentang kehidupan Reda yang baru saja lulus sekolah menengah di Prancis namun disuruh oleh Ayahnya untuk mengantarnya pergi ke Mekah guna menunaikan ibadah haji.

Le Grand Voyage menggambarkan bagaimana hubungan antara Ayah – seseorang yang taat agama, dan Reda, anaknya yang sekuler dan cenderung tidak memahami makna Islam. 

Secara garis besar, terdapat sembilan moral baik yang patut dimaknai dari film ini sebagai hikmah. Dalam Islam, etika kebaikan dikenal dengan sebutan akhlaq mahmudah (terpuji). Le Grand Voyage memotret bentuk akhlaq mahmudah terhadap Tuhan, sesama manusia dan juga alam sekitar.

Pertama adalah akhlaq mahmudah terhadap Tuhan, terutama pada kewajiban salat dan haji. Sebagai tiang agama, kewajiban menegakkan salat tergambar secara gamblang pada keseluruhan jalan cerita. 

Tokoh Ayah tidak pernah meninggalkan salat meskipun sedang dalam perjalanan, sebagai seorang Muslim yang taat. Salat sangat melekat pada karakter Ayah dan terlihat di pelbagai adegan, menyiratkan bagaimana hubungan baik seorang Muslim dengan Tuhannya. 

Lebih dari itu, latar cerita film secara garis besar, yakni perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, sudah menggambarkan bagaimana haji menempati posisi yang mulia bagi seorang Muslim. 

Ibadah haji digambarkan sebagai sebuah perjalanan mensucikan diri, sebagaimana perjalanan air laut yang asin ke langit yang membuatnya menjadi tawar kembali. 

Perjalanan haji diibaratkan sebagai perjalanan manusia untuk mensucikan dirinya sebelum bertemu dengan Tuhan. Ayahnya pun berkata, “haji adalah kegiatan suci yang merupakan salah satu pilar agama Islam.” Keikhlasan dalam menempuh perjalanan yang panjang dan sulit itu digambarkan sebagai sebuah proses untuk membersihkan diri dari dosa-dosa. 

Latar lingkungan film di Mekah tersebut, dengan lautan manusia saat pelaksanaan haji, memotret bagaimana kedudukan seluruh manusia yang setara di hadapan Tuhan.

Kedua, film ini mengajarkan moralitas untuk berbuat baik terhadap sesama. Pada tokoh Reda, kita menemukan sosok anak yang patuh dan berbuat baik pada orang tua. Meskipun agak sulit bagi Reda karena ia beberapa kali bersikap kasar, akan tetapi ia tetap patuh terhadap suruhan orang tuanya, terutama sang Ayah.

Hal ini dapat dilihat dari dirinya yang tetap mengantarkan ayahnya ke Mekah untuk berhaji meskipun sedianya menolak dan ketika ia diminta sang Ayah untuk mengambilkan buku doa.

Selain itu, sikap berbuat baik kepada orang tua pada diri Reda juga tercermin dari kepedulian Reda saat Ayah tertimpa sakit tatkala badai melanda. “Ayah. ini Reda. Ayah mendengarku? Ini Reda. Ayah baik-baik saja?”, ucapnya pada Ayah dengan bersedih. Rasa sayang Reda kepada Ayah terlihat saat ia mengkhawatirkan kondisi kesehatan Ayahnya itu, pula ketika ia menangis saat menemukan ayahnya telah meninggal dunia.

Adapun akhlak terpuji lain yang ditemukan adalah kesabaran dan kedermawanan dari tokoh Ayah. Sikap sabar tercermin pada tindakan dan ucapan yang dilakukan Ayah, seperti saat Reda berbicara tidak sopan kepadanya. “Ayah tau apa? Membaca saja tidak bisa!”, teriak Reda saat mereka berselisih paham tentang jalan yang hendak diambil.

Saat mendengar ucapan tersebut, tokoh Ayah justru tidak membalas maupun memarahi, akan tetapi hanya terdiam dan tidak membalas. Meskipun terdapat beberapa adegan di mana sang Ayah menampar, hal tersebut merupakan pelajaran bagi anaknya tersebut, bukan bentuk pelampiasan emosi.

Selain itu, Ayah juga mencerminkan sikap dermawan. Baik Ayah maupun Reda merupakan tokoh yang tidak memiliki banyak uang. Akan tetapi, Ayah tetap merasa kasihan dan berusaha memberi seadanya pada sesama. Hal ini terlihat saat Ayah memberi sejumlah uang kepada pengemis yang lebih membutuhkan daripada dirinya.

Le Grand Voyage juga memperlihatkan sikap tolong-menolong terhadap sesama. Hal demikian ditampilkan ketika Reda menghentikan mobilnya di jalan ketika hendak buang air kecil, lalu muncul tokoh Ahmad beserta rombongannya yang menanyakan apakah mereka membutuhkan bantuan. Sikap tersebut menggambarkan kepedulian terhadap sesama dan sikap upaya menawarkan bantuan, meskipun belum saling kenal.

Terjalinnya hubungan baik dengan tetangga berhasil ditampilkan pada adegan di saat Reda dan Ayahnya mulai berangkat menuju Mekah. Para tetangga Reda di Provence, Prancis secara bersama mengiringi keberangkatan mereka dengan salam dan doa perpisahan. 

Hal tersebut menunjukkan hubungan kekerabatan yang erat dengan tetangga dan perilaku kehidupan masyarakat yang saling menghargai satu sama lain.

Adapun yang ketiga adalah akhlaq mahmudah terhadap alam sekitar, terutama hewan. Sikap tersebut terlihat saat Reda dan Ayahnya hendak menyembelih seekor kambing. Dalam Islam, terdapat perintah untuk memperlakukan binatang dengan baik, meskipun saat hendak menyembelihnya. 

Hal tersebut terlihat saat Ayah mengasah pisau yang digunakan untuk menyembelih kambing, juga tatkala ia memerintahkan Reda untuk melepas ikatan kaki kambing tersebut dan menghadapkannya ke arah kiblat.

Semua moral Islami yang terdapat dalam unsur-unsur intrinsik film Le Grand Voyage bermuara pada judulnya itu sendiri yang, secara bahasa, bermakna "perjalanan besar". Secara filosofis, Le Grand Voyage tidak hanya merujuk pada latar cerita yang berupa perjalanan panjang menempuh ribuan kilometer. 

Akan tetapi, lebih dari itu, Ismail Ferroukhi berupaya menggambarkan makna sebuah perjalanan hidup seseorang menuju Tuhannya; sebuah proses perbaikan moral antara manusia dengan Tuhannya (vertikal) dan dengan sesama manusia juga alam (horizontal) yang tidak terjadi dalam sekejap mata.

Adegan terakhir menggambarkan pesan penting dalam ajaran Islam, bahwa Ayah akhirnya menemukan kedamaian spiritual yang selama ini dicari. Lebih lagi, Reda walhasil mulai menemukan dirinya. 

Selama perjalanan menuju haji, ia perlahan bermetamorfosis dari karakternya yang mudah marah dan memberontak, menjadi lebih penuh kasih dan mudah memaafkan. Sikapnya yang mulai memberi sedekah pada seorang pengemis menandakan perubahan prinsip moral dalam dirinya. 

Sebagaimana perjalanan suci lainnya, penonton dipaparkan pada proses menghadapi kegelapan dalam diri untuk perlahan menghadirkan cahaya kebenaran.


*Ditulis bersama Ihsanul Baihaqy (Fakultas Hukum), Naufal Mufatih Al Fikri (Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya), dan Nadar Saputra (Fakultas Ilmu Agama Islam); santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.