Sering kali saya mendengar nasehat dari orang tua untuk berhati hati dalam mengikuti kajian. “Nduk ojo ngaji neko-neko. Wes neng ustad iki wae. Ulatono, anak e si fulan dadi ra ngenah mergo melu kajian neng kono.” Artinya ‘Nak, jangan ngaji macam-macam. Di ustad ini sana. Lihatlah, anaknya si fulan jadi orang yang tidak baik karena mengikuti kajian di sana.’ begitu ucapnya.

Saya paham sebagai orang tua pastinya tua khawatir jika anaknya tersesat ke jalan yang salah. Namun, apakah hal tersebut dibenarkan?

Tentu saja tidak, karena secara tidak langsung larangan tersebut membuat kajian tergambar sebagai suatu hal yang berbahaya. Imbas yang paling buruk adalah orang-orang tersebut tidak mau untuk mengaji.

Padahal ada banyak pertanyaan-pertanyaan penting yang hanya bisa terjawab ketika mengikuti kajian, seperti ‘Kenapa harus memilih Islam? Kenapa memilih Allah sebagai tuhan? Kenapa mempercayai Al-Qur’an? Kenapa harus mempercayai Nabi Muhammad?’.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah landasan dalam beragama, atau kita sebut dengan aqidah. Aqidah seseorang tidak boleh taklid atau mengikuti orang lain, sehingga ia harus berusaha untuk mencari kebenarannya sendiri. Salah satunya adalah datang ke kajian-kajian.

Bagaimana jika pergi ke kajian saja takut? Itulah yang terjadi sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang mengaku bergama tetapi tidak mengetahui kebenaran dari agamanya sendiri.

Lalu bagaimana solusinya?

Pertama, orang tua harus membekali anaknya ilmu-ilmu tauhid agar mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga mereka tidak akan bingung jika ada berita menyimpang tentang agamanya.

Orang tua juga harus tetap menjaga fitrah anak yang sedang di masa ingin tahunya dengan cara menjawab tanpa mambuat anak tersebut bingung. Sehingga ketika besar kelak anak tersebut dapat menjadi pribadi yang kritis akan lingkungan di sekitarnya. 

Kedua, anak muda harus menyikapi fitrahnya dengan baik. Sebagai anak muda, ia memiliki rasa ingin tahu yang besar dan dibarengi dengan optimalnya kerja otak dan tubuhnya. Ia tidak boleh mengarahkan fitrah-nya tersebut hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan sesaat.

Dengan adanya potensi tersebut, anak muda dapat menjadi pribadi peka akan masalah dan juga kritis dalam menyikapi berbagai hal di dalam kehidupan, tak terkecuali tentang banyaknya aliran keagamaan di luar sana.

Ia harus mampu mencari tahu kebenaran dari setiap aliran yang ada di agama ini, dan tidak langsung bersikap taklid pada aliran yang sudah ada di sekitarnya. Menjadi tidak dibenarkan bila ia bersikap tak peduli atau menjadikan banyaknya aliran tersebut sebagai pembatas yang menyebabkan dirinya tidak mau menemukan kebenaran agamanya.

Imam Al-Ghazali pernah berkata dalam Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, “Perbedaan manusia mengenai agama, aliran, dan keragaman para imam mahzab adalah samudra yang sangat dalam, yang telah menenggelamkan banyak orang dan hanya sedikit orang yang selamat.


Dalam perkataan beliau tersebut dijelaskan bahwa banyak orang yang tersesat dalam aliran dan mahzabnya sendiri. Hal tersebut dikarenakan sikapnya yang tidak mau mencari akan kebenaran pada  setiapnya dan hanya bersikap taklid.

Sikap taklid ini harusnya hanya digunakan pada syariat yang telah ditetapkan oleh Allah, seperti cara beribadah, zakat, makan, minum, dan lain-lain. Kita tidak perlu menanyakan untuk apa sholat, dzikir, atau perintah Allah yang lainnya ketika kita sudah mengetahui kebenaran dari Allah sebagai tuhan.

Berbeda dengan aqidah, setiap orang harus mampu menemukan kebenaran dari keyakinannya masing-masing. Orang yang tidak melakukan hal ini akan mudah terpengaruhi oleh keyakinan lain, dan akan sering mengeluh tentang syariat yang telah ditetapkan oleh Allah.

Seperti halnya cerita dari Nabi Ibrahim yang mencari kebenaran dengan cara selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Contohnya dari pertanyaan beliau adalah ‘Kenapa harus menyembah berhala? Padahal berhala itu diciptakan oleh manusia?’, ‘Kenapa menyembah matahari? Padahal ia tenggelam ketika malam.’

 Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sikap kritis terhadap keadaan. Usaha beliau mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut tak lepas dari peran akalnya, hingga akhirnya Allah memberikan petunjuk terhadap kebenaran ke-Esa-an Nya.

Oleh karena itu, beliau akhirnya mendapatkan jawaban-jawaban dari pertanyaannya dan bisa mendapatkan keyakinan penuh terhadap kebenaran Allah sebagai tuhan semesta alam, sampai-sampai beliau mampu tetap yakin akan Allah ketika hendak dilemparkan ke dalam api yang membara.

Berbeda dengan anak muda sekarang ini yang jarang sekali mau mencari kebenaran tentang kenyakinannya masing-masing. Akibatnya mereka sering mengeluh tentang syariat-syariat yang telah ditetapkan. Seperti misalnya syariat untuk menutup rambut, menggunakan pakaian yang menutup aurat, tidak berzina, dan lain sebagainya. Mereka merasa terbebani akan hal tersebut karena memang belum ada keyakinan penuh atas Allah di hati dan pikirannya.

Nah, dari solusi- solusi di atas kita dapat menyadari bahwa peran kajian itu sangat penting. Bisa dibayangkan ketika orang tuanya tidak ikut kajian, maka ia juga tidak bisa mendidik anaknya nilai-nilai dasar agama. Lalu bagaimana jika anak muda tidak mau kajian? Maka ia akan terombang-ambing di dunia ini, tanpa memiliki keyakinan yang pasti. Tanpa mengetahui secara pasti kebenaran dari tuhannya.

Parahnya, ketika ia tidak mengetahui kebenaran-kebenaran tersebut, ia malah menuhankan sesuatu yang lain tanpa disadari. Ngeri kan? Tapi hal itu lah yang sering terjadi sekarang ini, menuhankan materi di kehidupannya tanpa sengaja. Ia berkata tuhannya adalah Allah, tetapi ia mendahulukan materi daripada Allah.

Jadi jangan sampai takut untuk kajian lagi ya sob, tapi jangan sampai juga terseret ajaran-ajaran yang menyesatkan, harus bijak ya! Tanpa kajian kita bisa terseret arus di zaman yang mengedepankan nafsu ini. Bukannya memimpin perubahan zaman, malah kita yang termakan oleh zaman. Na’uzubillah.