Bahasa secara historis adalah fondasi manusia. Dan pertukaran bicara-langsung antara manusia yang dapat menghubungkan niat dan pemahaman satu sama lain adalah tindakan dasar bahasa. Tanpa bicara, kita tidak dapat mencapai kemanusiaan penuh dalam komunitas sosial.
Tanpa bicara, pikiran tidak bisa tumbuh atau berkembang. Tanpa pembicaraan yang disiplin, pengetahuan ilmiah, matematika, dan humaniora akan tetap statis dan tak berguna. Tanpa pembicaraan yang disiplin (seperti dialog), konflik masyarakat dan konflik antar individu, kelompok, dan bangsa akan menjadi cara hidup yang semakin berbahaya.1
Lebih spesifik daripada Bahasa, terdapat disiplin tertentu yang lebih fokus kepada kuasa untuk mengotak-atik kata-kata yakni Retorika. Ada kutipan menarik yang saya/kami baca dari buku Retorika Modern karya Jalaluddin Rakhmat yang mencantumkan langsung dari artikel Y.B Mangunwijaya di koran KOMPAS tanggal 11 Agustus 1982 berjudul “Pendidikan Manusia Dewasa”, di situ beliau menulis :
Banyak orang keliru menganalisis seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika.
Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan.2
oleh karena demikianlah, Kang Jalal menyimpulkan bahwa justru Retorika itu membebaskan manusia dari posisi budak menjadi tuan dan puan. Juga, istilah yang ditambahkan bahwa dengan senjata para penguasa dapat menguasai tanah dan negara, tapi dengan retorika para pemimpin dapat menaklukkan hati dan jiwa.3
Kaitannya dengan pikiran adalah bagaimana kata itu yang khususnya tersusun dengan rapih berdasar kepada retorika yang baik itu mampu mempengaruhi pikiran, bahkan memunculkan ide dan gagasan. Di sinilah yang akan diuraikan.
Hubungan tersebut tentu sangat beragam dan memiliki daya tarik tertentu di samping yang tidak kalah menarik dari sekian banyak teori-teori pikiran khususnya dalam dunia akademik/Pendidikan itu ada istilah yang muncul dan mencuat yakni HOTS atau Higher Order Thinking Skill, Istilah Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS) ini pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin S. Bloom dkk. melalui karyanya berupa buku yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (1956).
Lalu ada gagasan “accountable talk” yang dipublikasikan oleh Lauren B. Resnick dalam David D. Preiss & Robert J. Sternberg yakni buku berjudul Innovation of Educational Psychology pada tahun 2010, melalui tulisannya berjudul “How (Well Structured) Talk Build the Mind”.
Tentu kedua hal ini akan sangat menarik jika di-eksplore lalu dielaborasi, kolaborasi dan komparasi. Akan sangat bermanfaat jika itu didialogkan menjadi satu isu/wacana tertentu yang menghasilkan ide dan gagasan berupa hasil yang bisa direkomendasikan kepada para penentu kebijakan terutama dalam dunia Pendidikan.
Hasil paling nyata adalah yang dinyatakan Badridduja dkk dalam kesimpulan artikelnya bahwa kedua konsep tersebut memiliki keterkaitan yang kuat dalam melatih kemampuan bernalar dan mengembangkan cara berpikir kritis.4
Jika akuntabel dimaknai sebagai konsep etika yang berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan keputusan yang diambil dan aktivitas yang dilakukan alias dimintai alasan dan pertanggung-jawabannya, Maka Pembicaraan yang dipertanggungjawabkan itu adalah diskusi yang didasarkan pada konsep etika itu.
Ia diambil atau bersumber dari kerangka teori Vygotskian yang menekankan kepada “pembentukan pikiran sosial” (social formation of mind) dimana, pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan proses mental individu.
Sedangkan higher order thinking skills itu ialah kemampuan untuk menghubungkan, memanipulasi, serta mengubah pengetahuan serta pengalaman yang dimilikinya secara kritis dan kreatif dalam menentukan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan pada situasi baru. Konsep ini berasal dari apa yang dikemukakan Benjamin S. Bloom tentang Taksonomi Pendidikan yang kemudian direvisi oleh David R. Krathwohl dan Lorin W. Anderson menjadi LOTS dan HOTS.
Terma kepada Teologi: Pergumulan Menemukan Tuhan
Kemampuan bernalar dan berpikir kritis adalah kemampuan dasar akal pikiran semua insan yang mengakibatkan munculnya banyak pertanyaan, baik pertanyaan mendasar yang berlaku sehari-hari maupun pertanyaan serius tentang eksistensi Tuhan. Dalam Islam, ajaran yang bukan hanya menekankan kepercayaan pada doktrin agama bersumber dari wahyu, juga mengedepankan akal pikiran yang menuntut segala hal harus logis dan empiris.
Sebelum ke sana, cara mudah menentukan sesuatu dan diakui keberadaannya haruslah melalui trio-logic-empirisme yang berkelut-berkelindan satu sama lain, yakni term, fakta, dan idea. Terma adalah kata dalam tulisan, fakta adalah realita di dunia nyata, dan idea adalah konsep dalam pikiran. Jika kata hanya terdiri dari rangkatan huruf jadi kalimat, lalu fakta adalah yang mampu ter-indra oleh kelima indra, maka idea adalah yang mampu tergambar-terimajinasi dalam isi kepala kita (akal).
Misalnya ada term kursi, faktanya kursi adalah kayu/logam/plastik yang dibentuk sedemikian rupa dan memiliki kaki penyangga, berfungsi untuk diduduki serta terindra dengan indra penglihatan, maka ideanya tergambar dalam alam pikiran (rasio) setelah mata kita melihat fakta. Begitu pula dengan meja, buku, pintu, lalu ada kentut, nada, rasa manis, asin, pahit, maupun berbasis emosi seperti marah, senang, sedih dan lain-lain.
Kembali lagi ke ajaran agama, Islam mengenal Tuhannya yang hanya bersumber kepada wahyu dan berbentuk terma saja, tanpa ada fakta dan idea. Kata Allah disebutkan ratusan bahkan ribuan kali dalam kita suci agama Islam yakni al-Quran. Bagaimana cara seorang muslim yang beriman bisa menentukan dan mengakui eksistensi Dzat yang kita sembah sehingga sempurna cara beragama kita dalam beribadah kepada-Nya.
Kuncinya adalah konsep-konsep yang ditentukan sendiri dalam teologi agama ini yakni Ihsan yang bermakna hendaknya kalian menyembah kepada-Nya seakan-akan kamu mampu melihat-Nya, jika tak mampu maka yakinilah Dia sedang menyaksikanmu. Lalu dalil “laisa kamitslihi syaiun” atau bermakna tidak sesuatu apapun dzat yang sama/serupa/sebanding dengan Dia. Dari dua konsep inilah kita mengenal keterbatasan akal dan indra manusia yang serba materialis, sehingga Dia hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu melampaui itu dengan melewati hal-hal yang bersifat transenden.
Referensi
1. Lauren B. Resnick dkk., “How (Well Structured) Talk Build the Mind”, dalam David D. Preiss & Robert J. Sternberg, Innovation of Educational Psychology, (New York: Springer Publishing Company, 2010), 163.
2. & 3. Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), v.
4. Badridduja, F., Elvida, S., & Latipah, E.. (2022). Analisis Kemampuan Bernalar dan Berpikir Kritis (Studi Komparatif antara Accountable Talk dan Higher Order Thinking Skill). Jurnal Indonesia Sosial Sains, 3(4), 625–638. https://doi.org/10.36418/jiss.v3i4.577