Kehadiran budaya Iran pada awal Islamisasi di Indonesia dapat ditelusuri dari pengaruh Persia dalam bahasa, budaya, dan sejarah Melayu-Indonesia.
Banyak sarjana telah meneliti kata-kata pinjaman asal Persia yang diwujudkan dalam bahasa Melayu-Indonesia.
Merujuk kepada Muhammad Abdul Jabbar Kajian Beg (1982) dan Ibrahim Ismail (1989) mengungkap lebih dari 400 kata Persia yang diserap ke dalam bahasa Melayu -Indonesia.
Kata-kata itu termasuk istilah yang digunakan dalam banyak aspek seperti agama, tasawuf, sastra, seni, politik, pemerintahan, masyarakat, perdagangan, flora, makanan, pelayaran dan sebagainya.
Contoh-contoh berikut mungkin cukup untuk hanya sekedar memberi gambaran:
kanduri (kenduri; perjamuan ritual dengan doa), farman (firman; firman Tuhan), takhte (takhta; tahta), diwan (dewan; dewan), shah (syah; raja), astana (istana; istana), pahlawan (pahlawan; pahlawan), bazar (pasar), saudagar (saudagar, pedagang; pedagang), bazu (baju; pakaian), gandom (gandum), anggur (anggur), nakhoda (nakhoda; kapten), bandar (bandar, pelabuhan; pelabuhan; kota pesisir), dll.
Seperti halnya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Sansekerta dalam bahasa Melayu-Indonesia klasik dan kontemporer, banyak juga kata Persia masih digunakan dalam bahasa Indonesia kontemporer seperti dewan, tahta, kenduri, istana, pahlawan pasar, baju, anggur, dll.
Jika mempertimbangkan sejarah perkembangan Islamisasi di Indonesia, sangat penting untuk mengamati bahwa kata-kata pinjaman Persia tersebut telah digunakan sejak awal kedatangan Islam di kepulauan Indonesia-Melayu serta Asia Tenggara.
Istilah ' syah ', misalnya, pernah digunakan di Kerajaan Perlak , kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di Provinsi Aceh (Sumatera).
Ali Hasymi (1983), seorang sejarawan Aceh terkemuka, menulis bahwa Kerajaan Islam Perlak pada awalnya didirikan pada 840 M dengan raja pertama, Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Berdasarkan karya-karya dan naskah-naskah sebelumnya, ia menjelaskan proses penyebaran Islam di Perlak sejak kedatangan ratusan Muslim dari Gujarat yang terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan India pada tahun 173 H (800 M) di Bandar Perlak , Aceh.
Berbeda dengan kapal-kapal dagang lain dari Arab, Persia, India dan Cina untuk tujuan komersial yang telah ada selama ratusan tahun, rombongan ini sengaja datang ke Perlak untuk menyebarkan dan menyebarkan Islam untuk tujuan dakwah .
Jejak Iran di Aceh
Ali Hasymi dalam karyanya yang lain, A History of Coming and Growing of Islam in Indonesia (1981), menjelaskan peran kerajaan-kerajaan Aceh dalam menyebarkan Islam di kepulauan Nusantara (Indonesia, Malaysia dan Brunei serta selatan Thailand dan Filipina) menggarisbawahi bahwa budaya Persia hadir di semua kerajaan Islam terkemuka.
Dua abad setelah berdirinya Kerajaan Perlak, pada tahun 1042 M berdirilah Kerajaan Islam di Samudera Pasai, Aceh Utara.
Kerajaan ini didirikan oleh seorang keturunan raja-raja Kerajaan Perlak, yaitu Sultan Mahmud Syah.
Raja Samudera Pasai yang terkenal, Sultan Malik Al-Saleh (1270–1292 M), dimakamkan dengan batu nisan bergaya Persia yang diukir dengan puisi-puisi Ali bin Abi Thalib.
Samudera Pasai berperan sebagai pusat studi Islam. Kerajaan ini menyebarkan agama Islam ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sulu bahkan sampai ke Thailand.
Sampai awal abad XVI, terdapat beberapa Kerajaan Islam di Aceh dan Sumatera Utara seperti Kerajaan Perlak, Samudera Kerajaan Pasai, Kerajaan Benua, Kerajaan Lingga dan Kerajaan Pidie.
Namun dalam menanggapi ancaman Portugis setelah jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan mereka pada tahun 1511, kerajaan-kerajaan ini disatukan oleh Ali Mughayat Syah berada di bawah kerajaan besar yang disebut kerajaan Aceh Darussalam.
Sejarah kemudian mencatat bahwa Sultan Ali Mughayat Syah (1511–30) berhasil mengusir Portugis dari seluruh penjuru Aceh kemudian mengejar penjajah ke Malaka dan merebutnya sehingga Portugis terpaksa mengungsi ke Goa, India.
Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansinya dengan menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani.
Dengan keberhasilan penaklukan ini, maka wilayah kerajaan Aceh Darussalam meliputi hampir separuh pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya hingga Pattani.
Ali Hasymi terus menggambarkan perselisihan sengit dan panjang serta konflik laten antara Syiah dan Sunni dari Kerajaan Perlak (840 M) hingga Kerajaan Aceh Darussalam (1496–1903 M).
Dia menulis bahwa lima raja pertama Kerajaan Perlak adalah Syiah (840–918) tetapi penerus mereka sampai kerajaan itu diserap oleh Samudera Pasai adalah Sunni yang mengikuti mazhab Syafi'i.
Kemudian hampir semua raja Samudera Pasai adalah Sunni-Syafi'i dengan pengecualian pada paruh pertama abad kelima belas di mana aliran pemikiran Syiah dominan.
Kehadiran Syiah dalam penyebaran Islam awal di Indonesia melalui Aceh diungkap oleh Christoph Marcinkowski (2010) sebagai berikut:
Pengaruh Syiah terhadap pemikiran keagamaan di Asia Tenggara cukup besar terkait dengan kesultanan Aceh (kerajaan), yang mampu melanjutkan ke posisi dominan di Selat setelah jatuhnya negara-negara penerus Malaka hingga terjerumus ke dalam masa isolasi.
Menurut Orientalis Belanda Hurgronje, yang menulis pada awal abad ke-20, Muharram, bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah, dulu disebut 'Asan-Usen' oleh orang Aceh, jelas dalam rangka memperingati dua cucu Nabi saw. Hasan dan Husain., sedangkan mereka menyebut tanggal 10 bulan itu sebagai 'Achura'.
Dalam konteks topik tulisan ini, terdapat fakta sejarah yang penting untuk diperhatikan pada era kerajaan Aceh Darussalam (1495–1903).
Menariknya, perselisihan panjang dan persaingan sengit antara mazhab Sunni dan Syi'ah di kerajaan ini terjadi terutama dalam aspek kajian Islam, khususnya pada jenis tasawuf.
Terjadi pergeseran antara keduanya dari perebutan kekuasaan politik menjadi perebutan budaya dan intelektual.
Pembela doktrin tasawuf 'waḫdāt al -wujūd' seperti Hamzah Fanṣūrī dan Syams al-Dīn Sumātrānī diklaim sebagai ulama Syi'ah, atau setidak-tidaknya mereka yang memiliki kedekatan dengan ajaran Syi'ah, sedangkan pembela 'wadat al-syuhd' seperti Nūr al-Din al-Rāniry secara resmi disebut ulama Sunni.
Tidak tahu kebetulan atau tidak, para pembela 'waḫdāt al-wujūd' khususnya Hamzah Fanṣūrī sangat dipengaruhi oleh sastra Persia.
Pada masa Sultanah Tajuli Alam Safiatuddin (1641-1675), muncul seorang ulama besar yang menjadi mufti kesultanan, yaitu Abdul Rauf bin Ali Fanṣūrī As-Singkili.
Dia adalah keponakan Hamzah Fanṣūrī dan murid Syams al- Dīn Sumātrān. Dia juga disebut sebagai Teungku Syiah Kuala.
Beliau memiliki santri dan pengikut di berbagai pelosok Nusantara, seperti Syekh Burhanuddin di Pariaman (Sumatera Barat), Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Jawa Barat) dan Syekh Yusuf Tajul Al- Makassari (Makassar, Sulawesi Selatan).
Teungku Syiah Kuala adalah seorang guru (mursyd) tarekat Syaār (Syaārī arīqah) yang memiliki banyak pengikut di seluruh nusantara.
Ordo ini datang ke kepulauan Indonesia-Melayu dari Iran melalui India dan Asia Tengah.
Wallahu a’lamu bi al-shawab