Tentara Rusia memasuki tanah Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu, menandai dimulainya invasi militer negara Beruang Merah terhadap jirannya yang juga sama-sama bekas negara bagian Uni Soviet. Invasi tersebut adalah kelanjutan dari konflik yang sudah dimulai semenjak 2014, ketika Euromaidan, yakni gerakan sipil Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa, bergemuruh di seluruh negeri keturunan Kazaki (Cossacks) itu. Eropa, yang telah mencapai perdamaiannya sejak berakhirnya Perang Dunia II pada 1945, menghadapi lagi hari-hari kelabunya.

Sifat dari konflik tersebut, yakni aksi militer suatu negara adidaya yang merupakan salah satu pemilik hulu ledak nuklir terbanyak di dunia terhadap negara lain, menghasilkan kekhawatiran yang luar biasa. Rusia bukanlah Korea Utara, Iran atau Israel; ia adalah salah satu anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agresi yang dilakukan Rusia mengacaukan keseimbangan politik luar negeri serta mengganggu tatanan perdamaian internasional yang telah disepakati pada Piagam PBB 1945.

Sementara itu, penulis juga terus menyimak video-video dari kanal Youtube suatu stasiun televisi nasional kita yang berbau mendukung tindakan Rusia tersebut. Membaca komentar di video-video tersebut juga membuat hati penulis sedikit terenyuh. Tidak tersentuh, tapi lebih kepada geram. Pada suatu video yang menunjukkan gubernur Chechnya, Ramzan Kadyrov, dalam mendukung presiden negaranya, Vladimir Putin, dengan mengirim pasukan dan sukarelawan Muslim Chechnya ke Ukraina, banyak komentar-komentar yang memuji Kadyrov dan Putin.

Kadyrov yang banyak menghabisi musuh-musuh politiknya dan mempersekusi minoritas seksual di negara bagiannya dengan penuh kebengisan, layaknya Putin, tentu adalah pahlawan bagi orang-orang di kolom komentar video tersebut. Tapi, bagi penulis ia bukan pahlawan; ia adalah penindas. Seorang tiran bermental fasis, pembenci kebebasan dan hak asasi. Baik Kadyrov atau Putin, keduanya sama saja.

Sementara, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, seorang mantan pelawak dan bintang film, kini dengan gagah beraninya menahan pergerakan militer Rusia, sebuah bangsa yang memiliki persenjataan dan jumlah tentara yang jelas lebih banyak daripada Ukraina. Zelenskyy tidak meninggalkan ibukota Kyiv sekalipun ia adalah target nomor wahid dari operasi militer Putin.

Ia kukuh dengan pendiriannya dan tanggung jawabnya sebagai kepala negara. Langka betul, biasanya jika pejabat sudah terpilih baru mereka berkelakuan seperti badut bagi rakyatnya; Zelensky adalah kebalikan itu, ia adalah seorang pelawak yang menjelma menjadi pahlawan saat terpilih.

Zelenskyy tidak melakukan kesalahan seperti yang diujarkan dalam komentar-komentar warganet kita di video tersebut (atau seperti pada beberapa tulisan yang telah terbit di Qureta). Ia hanya menginginkan bangsanya tidak didikte oleh bangsa yang lebih kuat seperti Rusia, tidak kehilangan identitas sebagai bangsa Ukraina. 

Dan, tindakan Indonesia beberapa hari lalu dengan mendukung Resolusi Majelis Umum PBB untuk mengakhiri invasi Rusia di Ukraina juga bukan kesalahan. Indonesia telah melakukan hal yang tepat.

Konstitusi kita, terutamanya dalam bagian pembukaannya, dengan tegas mengutuk tindakan imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun. Atas nama kemanusiaan dan keadilan, kita tidak seharusnya menerima penindasan oleh suatu bangsa besar terhadap bangsa kecil dalam bentuk apapun. 

Tatanan dunia internasional yang berusaha kita bangun dan pertahankan adalah suatu tatanan yang adil dan bermoral (a just and moral order) dan kita tidak seharusnya berdiri di pinggiran saja.

Invasi yang dilakukan pemerintah Rusia terhadap tanah dan rakyat Ukraina, apapun pembelaan yang disampaikan oleh "Duli Paduka Yang Maha Mulia" Presiden Putin atas itu, pada dasarnya adalah suatu tindakan yang fasistis dan imperialistis. 

Rusia yang dulu dengan gilang gemilangnya menghalau dan memukul mundur invasi Nazi Jerman atas tanah air mereka, kini menjelma dan bertingkah layaknya musuh historis mereka. Jerman dulu adalah Rusia kini dan Hitler dulu adalah Putin kini. Fasisme era Perang Dunia Kedua kini telah menjelma menjadi neo-imperialisme ala Rusia.

Republik kita, yang merupakan suatu produk demokrasi dan pengemban amanat konstitusi, haruslah mengambil posisi yang berseberangan dengan neo-imperialisme Rusia atas rakyat Ukraina. Hal ini karena alasan ideologis (demokrasi versus fasisme) serta karena hukum tertinggi bangsa kita mengamanatkan kita untuk melawan segala bentuk imperialisme. 

Republik Indonesia harus menjadi teman dari bangsa-bangsa lain yang ditindas karena kita sendiri pernah mengalami kepahitan kolonialisme dan imperialisme. Simpati kita atas penindasan yang mendera bangsa Ukraina itulah yang harus melahirkan perasaan kesetiakawanan.

Sangat amat disayangkan bahwa ada beberapa suara, bahkan di kalangan akademisi kita sendiri, yang bahkan di antara cerdik pandai itu yang bergelar guru besar, yang menyatakan bahwa tuntutan politik luar negeri bebas aktif kita haruslah membuat kita berhati-hati mengambil sikap. Seakan-akan bagi mereka mengecam Rusia dan tindakan neo-imperialisnya sama dengan memihak Amerika Serikat dan NATO. 

Mereka menafsirkan kebebas-aktifan kita saat ini haruslah didasari oleh realisme, yakni bahwa ini konflik hanya urusan Eropa, bahkan hanya urusan Eropa Timur, dan tidak seharusnya melibatkan kita di dalamnya. Kita seharusnya bersikap netral, kata mereka.

Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa bersikap netral dalam konflik dunia yang melibatkan konflik demokrasi dan fasisme adalah perbuatan yang pengucat. Netralitas dalam konflik antara masyarakat demokratik dan beradab dengan rezim otoriter atau totaliter akan selalu menjadi pilihan bagi pecundang.

Perdana Menteri Britania Raya pada awal dekade 1940-an, Neville Chamberlain, mengira dengan melakukan kebijakan appeasement, Adolf Hitler dan menerima semua tuntutan imperialistis Jerman, ia akan menjauhkan negaranya dari suatu perang dunia. Sejarah menunjukkan jika itu salah besar.

Politik luar negeri bebas aktif itu bukan berarti melipat tangan sendiri dan menjauh dari konflik yang merusak tatanan global yang demokratis, adil dan beradab. Politik luar negeri bebas aktif itu bukan pula bersikap oportunis, meletakkan kedua kaki kita pada kekuatan-kekuatan dunia yang berlawanan, dengan harapan bangsa kita akan diuntungkan dari pertikaian tersebut. Tidak, tidak seperti itu. 

Dulu, Perdana Menteri Sutan Sjahrir tidak menjalankan kebijakan bebas aktif untuk menjadikan kita bermuka dua, namun untuk meletakkan Indonesia dalam diplomasi internasional dengan semua bangsa secara bermartabat, tanpa menghamba pada suatu kekuatan besar apapun.

Kini, ketika dunia kembali menghadapi ancaman fasisme dan neo-imperialisme dari Rusia, pemerintah dan bangsa Indonesia harus dengan lantang menyuarakan penolakannya atas penindasan Rusia atas Ukraina. 

Indonesia harus bergabung secara aktif dalam barisan anti-fasisme dan anti-imperialisme bersama dengan bangsa-bangsa lain yang bersolidaritas dengan Ukraina dan harus bebas dari ketakutan atas intimidasi baik secara militer atau ekonomi dari Rusia. Itulah politik bebas aktif kita, bukan menjauh dan menghindar sehingga kita merendahkan martabat bangsa kita sendiri di mata internasional.

Selain itu, kita juga harus hati-hati dengan narasi-narasi di media massa atau media sosial yang mendukung tindakan neo-imperialis Rusia atau minimal bersimpati dengan invasi Rusia ke Ukraina. Mereka yang menyuarakan dukungan seperti itu atau bermain dengan narasi pro-Rusia untuk mempengaruhi opini masyarakat kita atas konflik yang terjadi sekarang bukanlah patriot yang “waras”. Mereka adalah orang-orang fasis, neo-fasis atau proto-fasis yang menyembah-nyembah fasisme dan neo-imperialisme sebagai suatu bentuk masyarakat ideal dan perlu diterapkan di Indonesia.

Orang-orang fasis atau proto-fasis semacam itu percaya bahwa takdir suatu bangsa diwujudkan oleh kekuatan militer. Mereka memandang Rusia kini selayaknya kiblatnya, suatu bethel suci bagi gagasan kekerasan mereka. Mereka menginginkan Indonesia menjadi besar dan terhormat namun dengan cara-cara neo-imperialis seperti itu, sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk mengecam tindakan Rusia sekarang. 

Orang-orang seperti inilah yang ingin dan mungkin akan meluluhlantakkan kebebasan dalam masyarakat kita untuk mencapai tujuan-tujuan yang didasari oleh kekerasan tersebut. Fasis-fasis dalam negeri ini juga sama berbahayanya dengan fasis-fasis di Kremlin saat ini.

Terakhir, pada pertentangan baru antara demokrasi dan fasisme saat ini, jelaslah bahwa kita rakyat Indonesia harus mengambil kedudukan melawan fasisme dan neo-imperialisme tersebut. Rakyat Ukraina, seperti halnya rakyat Palestina, Kurdistan, Taiwan atau Hong Kong, adalah rakyat yang tertindas dan sudah seharusnya kita bersolidaritas dengan mereka, karena “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.”

Slava Ukraini, heroiam slava!