Saya masih kecil ketika demo besar-besaran mahasiswa tahun 1998 untuk menurunkan yang mulia Suharto dulu. Tapi dampak dari demo itu saya rasakan hari-hari ini. Kebebasan sebagai negara demokrasi dirasakan dalam segala aspek kehidupan. Untuk kebebasan ini saya mengangkat topi setinggi-tingginya untuk para mahasiswa-mahasiswa zaman-zaman dahulu itu.
Hari-hari ini, setelah lama mati suri, dan ruang publik sepi, para mahasiswa kembali ke jalanan. Mereka berdemonstrasi. Sebagai agent of change mereka sadar betul bahwa turun ke jalan adalah panggilan hidup mereka, dan cara terbaik untuk menghormati par senior dahulu yang melakukan hal sama ketika menurunkan Suharto.
Karena itu, sebagai masyarakat yang peduli dengan bagsa ini, kita seharusnya mengapresiasi setinggi-tingginya aksi para demonstrasi ini. Saya sendiri merasa bangga bahwa para mahasiswa sungguh tahu dan paham tugas mereka di negeri ini. Mereka tidak melupakan sejarah bagaimana para pemuda menjadi tonggak perubahan sekaligus katalisator bangsa yang berapa kali dirongrong oleh penguasa tamak yang santun, tapi menyimpan kebobrokan dan borok yang sering dilupakan oleh sebagian kita.
Saya secara pribadi terganggu sekali sebagian netizen yang bereaksi buruk bahkan cendrung negatif dengan gerakan para mahasiswa ini. mereka kontra dan cenderung pesimis terhadap gerakan para mahasiswa ini. Mereka beralasan bahwa mahasiswa zaman now dengan zaman dahulu berbeda secara kualitas dan kurang terlalu mengerti substansi persoalan tentang apa yang mereka sedang perjuangkan.
Mereka menilai aksi para mahasiswa ini hanya buang-buang waktu dan juga menggangu keamanan, ketertiban serta hanya membawa kerusakan pada tempat-tempat umum. Selain itu mereka mengajurkan kepada para mahasiswa agar tidak berdemonstrasi, mencari solusi terhadap masalah dengan duduk bersama, berdiskusi hingga ditemukan titik temu demi kebaikan bersama.
Saya kemudian mencoba memahami keresahan dan sikap pesimis mereka yang kontra terhadap gerakan para mahasiswa ini. Memang pertimbangan serta solusi yang mereka tawarkan baik adanya. Dialog adalah jalan terbaik ketika ada miskomunikasi serta keresahan akibat adanya masalah tertentu.
Tetapi, pertanyaannya, apakah dialog yang beretika, santun dan sopan, bisa menjadi solusi akhir, bisa pula menjamin bahwa RUU yang kuat dengan kepentingan dan dirancang atas dasar kepentingan tertentu, bisa direvisi agar lebih memihak kepada masyarakat.
Dialog akan percuma ketika orang hanya mendengar untuk membalas berbicara, dengan berkelit lidah, beretorika untuk beusaha mengoalkan kepentinganya. Saya Pesimis, bukan tanpa alasan, realitasnya, dalam setiap dialog dan debat di TV, kita saksikan banyak, tidak semua dari para dewan terhormat kita yang banyak kali tidak menunjukkan etika debat yang enak dilihat dan secara intelektual memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Mereka berdebat bukan untuk saling mendengarkan dan mengoreksi demi kepentingan orang banyak, tapi berdebat, mendengar untuk membalas saling serang yang ujung-ujung tanpa solusi di akhir yang memuaskan. Di berita terakhir, Presiden mengajak para utusan mahasiswa untuk bertemu, tetapi para mahasiswa menolak dengan alasan karena pertemuannya dilakukan secara tertutup.
Padahal para mahasiswa dan kita semua ingin dialog dilakukan secara terbuka dan transparan, sehingga kita bisa tahu sejauh mana kualitas debat pun dialog yang terjadi antara Presiden dan para utusan mahasiswa?
Lalu dengan pertimbangan di atas, kita menganjurkan dialog untuk RUU yang mereka rancang kebut semalam, bahkan ada yang dibuat hanya selama 5 jam. Sulit sekali untuk berpikir alternatif lain, ketika kita hanya tahu bahwa solusi terakhir terhadap RUU kontroversial hanya dialog itu sendiri.
Saya pikir gerakan besar-besar mahasiswa turun ke jalan adalah reaksi atas sikap DPR dan Presiden yang resisten sejak dari dahulu hingga sekarang, yang menutup dialog dan komunikasi dalam ruang publik secara serampangan (bandingkan kasus penutupan internet di papua atau pemblokiran media sosial yang pernah terjadi). Gejayan memanggil adalah gerakan besar-besar karena para mahasiswa tahu dan mengerti betul bahwa ada masalah besar terjadi dalam tubuh kekuasaan.
Menafsir Gerakan Mahasiwa
Terlepas dari banyaknya isu-isu negatif yang menyerang para mahasiswa ini, saya tetap mengapresiasi aksi mereka. Para mahasiswa ini tidak diam kalau tidak mau di bilang berada pada zona nyaman seperti kita yang lain. Mereka bergeraj dengan satu titik tolak dan kcurigaan tertenu.
Mereka tidak datang begitu saja tanpa aspirasi. Mereka sadar betul bahwa RUU yang dibuat oleh DPR dan akan disetujui Preiden itu murni bebas dari kepentingan-kepentingan. Karena itu kehadiran dan tuntutan mereka selain merupakan panggilan untuk memperjelas kontroversi dan memurnikannya, tetapi juga ingin memastikan bahwa RUU itu tidak berat sebelah, tidak memihak memulu kepada para pembuat keputusan atau decision maker negara ini.
Suara para demonstran adalah suara masyarakat kecil, perpanjangan tangan dari mereka yang tersisih, yang selama ini telah berulang kali dibohongi oleh wacana kosong orang-orang yang mereka pilih untuk mewakili mereka di pemerintahan.
Para mahasiwa ini menolak sikap diam terhadap fakta ketidakadilan yang terlalu sering dilakuakn oleh para pejabat di negeri ini. Mereka mencium adanya kandungan ketidakadilan dalam RUU yang ada. Mereka berhak bersuara dan mengklaim bahwa ada ketidakadilan karena itu merupakan tafsiran mereka atas RUU yang diproduksi.
Mereka menolak diam, karena RUU yang mereka baca dibuat oleh salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Korupsi yang dilakuakan oleh para tuan-tuan mulia DPR sudah memproduksi banyak ketidakadilan dalam masyarakat. Karena itu, bertolak dari persoalan ketidakadilan ini. para mahasiswa sadar betul, mereka harus turun ke jalan.
Turun ke jalan adalah perjuangan paling terakhir yang bisa dilakukan ketika berbagai saluran tidak membuahkan hasil untuk kebaikan masyarakat. Turun ke jalan adalah perjuangan yang sebenarnya tidak harus dilakukan oleh para mahasiswa. Mereka tahu, mereka seharusnya ada di bangku kuliah, seperti para netizen negara ini inginkan, tetapi mereka terpaksa turun ke jalan karena pemerintah sudah mengganggu nurani mereka.
Ada ketidakberesan yang masif terjadi, karena itu mereka tidak bisa diam. Saya hanya bayangkan, kalau pemerintah secara baik dan benar mengurus negara ini, gerakan mahasiswa secara besar-besaran tidak akan terjadi. Emosi anak muda yang cendrung meledak-ledak tidak akan terjadi, kemarahan-kemarahan yang sring kali kita protes barangkali tidak akan kita lihat.
Sikap diam terhadap ketidakadilan atau potensi ketidakadilan adalah sebuah aktivitas penindasan atas suara hati. Karena itu, aksi para mahasiswa adalah sebuah langkah etis untuk memperjuangkan civil courage, kebajikan sipil bagi mereka sendiri dan juga bagi kita. Kurt Singer bilang, civil courage tidak mengajari orang lain, melainkan menunjukkan pendirian kepada orang lain. Di sini para mahasiswa menunjukkan civil courage itu. Lewat aksi mereka, pendirian kita yang kontra terhadap mereka sedang dikritisi. Suara hati dan juga netizen yang hanya tahu nyinyir itu dipertanyakan.
Saya hanya mengharapkan bahwa aksi-aksi demostrasi para mahasiswa ini janganlah melulu di pandang secara pesimis. Aksi ini adalah pendidikan politik bagi masyarakat indonesia seluruhnya. Dari aksi mereka, kita dibantu untuk melek politik, lebih sadar tanggung jawab dan lebih membuka mata dengan kinerja para pejabat-pejabat kita.
Para mahasiswa ini mempertontonkan apa yang salah dan kemungkinan keliru yang biasa kepentingan dari pemerintah kita. Mereka bahkan turut membantu kita untuk membuka kebobrokan pemerintah dengan cara-cara yang bisa kita mengerti, lewat poster-poster yang mereka bawa ketika berdemo. Oleh mereka kita tidak hanya diberikan pencerahan tentang politik, tetapi juga dihibur dengan cara paling kreatif.