Pindah Ibu Kota jelas bukan perkara main-main. Maka mengkritisi keputusan Presiden untuk memisahkan pusat bisnis dan pusat pemerintahan tentu juga tidak bisa dilakukan dengan main-main. 

Beberapa argumen yang dilontarkan para pengkritik masih terbatas pada hal-hal nonsubstansial. 

Sebagai contoh, ada yang menyarankan agar pemerintah fokus kepada permasalahan yang menurut mereka lebih penting untuk diselesaikan, seperti masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran, kesejahteraan guru honorer, defisit BPJS, ancaman PHK terhadap pegawai BUMN, maupun kebutuhan pokok yang harganya terus naik.

Kritik model seperti itu mirip kritikan kepada seseorang yang ingin menikah, padahal kehidupannya masih jauh dari kata mapan, nyaman, dan sejahtera. Rumah masih mengangsur, kerja masih ikut orang lain, ibadah belum rajin, wawasan belum luas, tapi sudah memutuskan untuk segera menikah. 

Kemudian, orang-orang berkomentar, "lunasin dulu itu rumahnya, jadi bos dulu, ibadahnya diperbaiki dulu, pahami dulu ilmu agama tentang pernikahan, juga ilmu parenting, psikologi suami istri," dan berbagai celotehan-celotehan lain yang bisa membuat telinga panas.

Jika menuruti kata orang, belum tentu semua syarat tadi sudah dipenuhi sebelum yang bersangkutan dipanggil sama Yang Di Atas; atau case lain, bisa jadi yang bersangkutan melanggar norma agama dan kesusilaan dengan melakukan hubungan seks sebelum menikah. 

Begitu pula, jika harus menyelesaikan semua masalah negara baru boleh memikirkan pindah Ibu Kota, bisa jadi Jakarta tenggelam lebih dahulu sebelum sempat merencanakan pindah Ibu Kota. Atau case lain, Jakarta menjadi kota tidak layak huni karena kualitas udara dan air yang berbahaya, kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat kriminalitas yang juga tinggi, dan berbagai masalah sosial lainnya. 

Urgensi pindah Ibu Kota saat ini bisa dibilang sama dengan urgensi menikah bagi seseorang yang sudah berusia matang. Harus mulai direncanakan.

Begitu pula, argumen remeh yang menganggap bahwa proyek pemindahan Ibu Kota adalah proyek bisikan dari Cina agar bisa memberikan utang yang dapat menjadi senjata untuk menguasai Indonesia adalah bantahan dari orang-orang yang bahkan tidak paham berbagai opsi skema pembiayaan maupun pembangunan proyek. 

Ibarat ada orang bekerja di Surabaya, membeli rumah secara kredit dengan cicilan sebesar 2 juta per bulan dan belum lunas, kemudian memutuskan pindah ke Jakarta, membeli rumah lagi dengan cicilan sebesar 3 juta per bulan. 

Kemudian orang-orang berkomentar, "Dasar tukang utang, kasihan anak istrinya entar kalau tidak bisa melunasi, bisa-bisa jadi gelandangan karena rumah disita bank." Komentar seperti ini keluar karena mereka tidak tahu, jika orang ini pindah ke Jakarta karena ada tawaran kerja dengan gaji tiga kali lipat dari kerjaan sebelumnya.

Banyak yang tidak mengetahui skema utang negara, tidak memahami profil APBN, tidak mengerti rencana pembiayaan proyek, namun dengan percaya diri mengeluarkan komentar; seakan-akan mereka ahli ekonomi dan tata kelola keuangan negara. Kebebasan mengemukakan pendapat memang bagai pisau bermata dua.

Lalu, apakah itu berarti kita semua harus mendukung pemindahan Ibu Kota tanpa syarat?

Saya, selaku konstituen yang kata orang cenderung sebagai pendukung Jokowi, malah menganggap bahwa pemindahan Ibu Kota ini harus dikritik. Bukan dikritik bahwa ini tidak perlu, bukan juga mengkritik tentang pemborosan anggarannya, apalagi menganggap ini proyek bisikan Cina agar Ibu Kota Indonesia satu garis lurus dengan Ibu Kota China. 

Bukan itu. Yang harus dan sangat perlu untuk dikritisi adalah prosesnya, persiapannya, perencanaannya, dan keterburu-buruannya.

Sebagaimana catatan Dahlan Iskan dalam tulisannya berjudul Ibu Kota Kilat, proses pemindahan Ibu Kota ini terasa terlalu cepat, lima tahun ke depan atau pada 2024, Pak Presiden menjanjikan istana negara, 34 kantor kementerian dan hunian para ASN sudah jadi. Seluruh pegawai kementerian beserta keluarga dan perangkatnya sudah siap dipindahkan.

Ah, mungkin sebagian dari kita percaya beliau bisa mewujudkannya dengan berkaca pada keberhasilan pemerintah membangun tol, pelabuhan, MRT, bandara, jembatan, waduk, rel kereta, dan berbagai infrastruktur lainnya secara kilat dalam lima tahun terakhir. Namun pemindahan Ibu Kota ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur lainnya.

Tol Lintas Jawa dan Sumatra, Bandara Kertajati dan Kulon Progo, MRT dan LRT Jakarta, serta berbagai infrastruktur lainnya sudah memiliki master plan-nya jauh sebelum Pak Jokowi memutuskan proyek dijalankan. Feasibility Study-nya sudah matang. Detail Engineering Design-nya malah mungkin sudah siap sedia. Maka membangunnya saja tidak butuh waktu lama.

Sedangkan memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan Timur? Boro-boro Detail Engineering Design-nya, Feasibility Study yang lengkap dan kompeherensif pun saya ragu sudah ada.

Lima tahun terakhir memang Bappenas ditugaskan untuk melakukan study tentang pemindahan Ibu Kota. Untuk hal ini, kita sepakat bahwa beban Jakarta terlampau berat. Pusat Bisnis dan Pemerintahan harus dipisahkan. Maka Bappenas melakukan study mencari alternatif untuk meringankan beban Jakarta. 

Study yang dilakukan Bappenas adalah mencari solusi dengan berbagai opsi. Hasilnya, opsi pemindahan Ibu Kota adalah opsi yang diambil dan Kalimantan Timur, khususnya wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara adalah lokasi ideal untuk Ibu Kota baru. 

Setelah ini, proses selanjutnya seharusnya masih sangat panjang. Dimulai dari perubahan undang-undang dan aturan turunannya, pembuatan konsep desain, Front End Engineering Design, Detail Engineering Design, pembahasan skema pembiayaan, penawaran proyek ke investor, lelang atau tender, penandatangan agreement letter, pembebasan lahan, site preparation, dan kemudian mulai pembangunan fisik.

Perlu diingat, yang perlu dibangun bukan hanya rumah dan gedung, tetapi juga sumber listrik, sumber air, pengolahan limbah atau sanitasi, sarana transportasi, akses jalan, jembatan, dan saran penunjang lain, seperti rumah sakit, sekolahan dari tingkat SD hingga SMA, pasar, taman kota, dan fasilitas publik lainnya. 

Tidak main-main, bukan? Tentu kita tidak berharap Ibu Kota baru nanti tata kotanya semrawut seperti Jakarta, bukan? Apakah semua itu cukup dilakukan dalam lima tahun ke depan?

Dalam dunia proyek, ada tiga komponen utama yang sangat sulit untuk dipenuhi semuanya. Ketiga komponen itu adalah kualitas, waktu, dan biaya. 

Jika ingin kualitas bagus dan waktu pengerjaan cepat, maka biayanya akan membengkak. Jika ingin kualitas bagus dan biaya relatif lebih murah, maka waktu pengerjaan akan lama. 

Nah, sekarang, pemerintah sudah menetapkan waktu lima tahun yang berarti cepat, dan biaya hanya Rp466 triliun yang relatif murah. Apakah kemudian kualitasnya yang akan dikorbankan? Semoga saja tidak.