Pergilah ke sana, Mereka selalu bangun lebih dulu dari kokokkan ayam jantan dan tidur lebih malam dari malam itu sendiri. Setiap pagi setelah subuh dan sore menjelang maghrib toa-toa masjid mereka melantunkan ayat suci, beradu dari satu mushola ke mushola lain, mendamaikan atau tidak aku kurang paham, aku tidak pernah mendengarnya sendiri.
Tapi sampai malampun toa-toa masjid mereka masih membahas soal pengajian, hebatnya tak ada yang kepanasan. Coba saja kalau di tempat kita, sekali ada toa yang melantunkan ayat suci, orang-orang akan mengira ada yang nikahan karena sudah kawin duluan. Aku tidak pernah ke sana, tapi aku sudah cukup merasakanya dari cerita teman sekolahku dulu.
Di sana kemewahan tak berlaku, kau tak akan membutuhkan lagi celana jeans, kemeja bermerk atau sepatu trendi masa kini. Ke manapun kau pergi, acara apapun yang kau hadiri, pakaianmu akan tetap sederhana, swallow, sarung, baju koko, dan kopiah hitam atau putih yang warnannya mulai pudar, karena aku tau kau malas mencuci dan aku ragu kepalamu akan betah dimahkotai itu. Kau tak akan bisa membedakan mana anak priyai, DPR atau pemuka agama, mereka sama-sama berselimut kesederhanaan, meski beberapa di antara mereka selimutnya agak mahal.
Di sana tak akan kau lihat rambut wanita sehelaipun, bahkan bisa saja kau tak pernah melihat wanita. Wanita di sana selalu menunduk jika berjalan, pandangan mereka terjaga, jarang sekali yang mau menatap mata lelaki yang penuh birahi, bahkan pada guru mereka. Para penjual pecel dan rames di sana juga tertutup rapi, seperti bungkusan nasi. Nafsumu akan dijinakkan, kau sendiri sebagai pawangnya.
Dengan diharuskan puasa senin kamis, siraman rohani setiap jamnya, dan kajian-kajian yang akan membuatmu sadar akan apa saja yang kau lakukan selama ini. Kau bisa saja menangis nanti atau justru tertawa dengan anggapan kitab-kitab itu tidak tahu kenikmatan dunia, kolot. Aku pernah dengar beberapa dari mereka yang tak kuat menahan nafsu akan mengikuti kebiasaan umat Nabi Luth, jeruk makan jeruk. Setan selalu punya tempat di dunia ini.
Kau juga akan belajar menjadi pejabat, setidaknya bagi dirimu sendiri. Setiap bulan kau akan menerima uang tanpa bekerja, kalau kau ingin, kapan saja kau bisa belajar korupsi, meminta uang tambahan pada orang tuamu, dengan dalih banyak kebutuhan mendadak. Aku jamin mereka akan mengiyakan. Kau juga akan menjadi raja waktu, bagi dirimu sendiri. Kau bisa saja membuang mereka pada rental-rantal playstation, atau kabur ke tempat hiburan yang kau suka.
Tapi kau perlu tahu, di sana adalah penjara bagi jiwa-jiwa sepertimu. Yang tak pernah mencium agama, yang tak pernah mengenal mushaf, yang hari-harinya diisi dengan tongkrongan di pinggir jalan tanpa peduli dengan adzan, dan teman akrabmu hanya botol hijau tua itu dan aku.
Sebulan dua bulan aku yakin gilamu melebihi orang sakau yang direhabilitasi, ingin memberontak tapi kau tak punya daya, di sana banyak mata-mata yang hebatnya melebihi matamu sendiri dan ada undang-undang yang kerasnya melebihi masa orba, salah sedikit bukan nyawamu yang dibunuh, tapi harga diri. Kau akan tersiksa.
Aku tak terlalu paham sebenarnya kehidupan macam apa di sana, tapi yang aku tahu siapapun yang pulang dari sana akan menjadi kepercayaan warga. Mengimami salat di masjid, memimpin acara tasyakuran, mengajar madrasah-madrasah sampai mengisi ceramah. Kau bisa menjejali warga desa dengan omong kosongmu, atau dengan hukum yang kau buat sendiri, semua perkataanmu pasti akan mereka percayai.
Kau harus ingat ini, semua keburukan yang aku ceritakan aku harap kau tak melakukannya. Aku sudah bosan menjadi pendosa, aku ingin bertaubat dengan kau sebagai jalannya. Meski umur kita terpaut sepuluh tahun, tapi kau sahabat terbaikku sampai saat ini. Aku sudah memiliki dua orang anak tanpa istri, kau tau istriku kabur bersama waktu. Aku sudah tak bisa menjalankan apa yang aku bicarakan panjang lebar tadi, tapi kau pemuda tujuh belas tahun yang masa depannya masih bisa kau perbaiki. Kau sudah kuanggap adikku sendiri.
...
Rafid terdiam, nasihat Roman kembali terngiang, air matannya tumpah. Ingatannya sepuluh tahun silam bertamu lagi, termasuk trotoar dan tegukkan oplosan terakhirnya dengan Roman. Kemudian ia berjanji akan kembali ke jalan yang benar setelah Roman berpesan Pergilah ke sana, pergilah ke pondok pesantren.
Di rumahnya, dihadiri sanak saudara dan beberapa kerabat ia melaksanakan ijab qabul. Tidak ada yang bertepuk tangan atau mengucapkan syukur setelah kalimat saya terima nikah dan kawinnya Rini Ardianti binti Bapak Darto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai. Sengaja tetangga dan teman jauh tidak diundang, karena pernikahan ini memang tak pernah diinginkan sebelumnya bahkan setelahnya.
Mempelai wanita terdiam, masing-masing wali nikah juga sama, mungkin karena mereka tak ingin mengenal satu sama lain. Rafid masih menangis saat mengaamiini doa penghulu, bukan karena terharu, tapi malu. Ia menjadi jalan yang rusak bagi sahabatnya.
Acara tak berlangsung lama, semua bubar setelah penghulu pulang, tak ada ucapan selamat, berbalas senyum, cupika cupiki apalagi pelukan. Semua seakan tak menginginkan waktu ini benar-benar terjadi, termasuk orang tua Rafid.
“Kemasilah barang-barangmu, bapak sudah sewakan kontrakan di Jakarta, hiduplah dengan wanitamu, jangan kau rusak untuk kedua kalinnya dan bawalah rasa malu keluarga kita bersama kepergianmu”
Mulutnya terkunci, sorot matannya sudah tak berlaku untuk meminta maaf. Ibunnya sedari pertama mendengar kabar buruk itu jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, sampai pernikahannya ia belum juga tersadar. Ke dua adiknya kecewa, tapi tidak setega bapaknya.
“Jadilah suami yang baik untuk istrimu kak, dan buat mbak tolong jaga kak Rafid”
Mereka berempat berpelukan, sebentar, meski adik bungsunnya tak mengatakan apa-apa.
...
Selepas mahrib Rafid dan istrinya pergi menggunakan taksi, membawa kesalahan dan rasa malu keluarga, ia tak bisa menyalahkan siapa-siapa selain dirinya sendiri. Ia menatap mata wanita di sampingnya lekat, begitu sebaliknya. Air mata keduanya mengalir, membawa mereka pada kejadian sebulan silam.
Sore hampir habis waktu itu, Rafid baru saja mengajar kitab Alfiyah Ibn Malik pada kelas lima di pondoknya. Untuk asatid Nahwu pondok memang lebih mengutamakan laki-laki sebagai pengajarnya, dan Rafid sudah mengajar Nahwu sejak dua tahun silam. Rafid anak yang cerdas, kenakalan-kenakalan yang pernah ia lakukan sebelumnya tidak membuat otaknya mengecil, saat kelas empat dulu Rafid sudah dipercaya mengajar santri baru di pondoknya.
Rafid terkenal rajin dikalangan warga pondok, ia juga sempat menjadi lurah pondok ketika enam tahun ia mondok. Ia juga dikenal santri yang jenius, beberapa perlombaan tingkat lokal dan nasioanal sudah pernah ia sabet semasa menjadi santri. Mulai dari lomba Murotal Tilawatil Qur’an sampai Qiraatul Kutub. Semua asatid mengenalnya sejak ia kelas dua di pondoknya, kecekatannya dalam memahami pelajaran membuat semua yang menjadi teman atau yang mengajarnya kagum.
“Kau akan menjadi penerus kami Rafid”
Ucap salah seorang asatidnya ketika ia menjuarai lomba Qiraatul Kutub tingkat Naional di UIN Jakarta. Mahasiswa dan santri dari seluruh Indonesia berhasil ia kalahkan. Nampaknya pesan Roman waktu silam benar-benar berharga baginya, ia akan menjadi jalan sebaik-baiknya jalan bagi sahabatnya.
Tapi tak ada rencana yang berjalan sempurna, sepuluh tahun setelah ia tinggal di pesantren, menjadi sia-sia setelah sore itu. Rini datang ke ruang kelas setelah sore benar-benar habis dan semua santriwati yang diajar Rafid sudah pulang. Ia datang menangis, tanpa aba-aba memeluk Rafid dengan begitu erat, tentu Rafid kaget.
Ia memang sudah dijodohkan dengan Rini sebulan silam, setelah Rafid menyampaikan niat baiknya mempersunting santriwati yang empat tahun lebih lambat darinya, ia santriwati kelas enam. Pertemuan kedua keluarganya baru direncanakan minggu depan, namun pelukan Rini detik itu seolah menghancurkan waktu. Apalagi Kyainya melihat jelas kala itu.
Tak ada raut kemarahan dalam diri Rafid, setelah keduanya dipanggil ke dalem (rumah) Kyai, Rini menceritakan semua, ia hamil sudah tiga minggu dengan Rafid sebagai pelakunnya, pelukan waktu itu adalah permohonan tanggung jawab tertinggi dari Rini kepada Rafid, dan semua sepakat mereka harus segera menikah.
...
“Kenapa kau tetap mau menikahiku? Padahal anak yang ku kandung bukan darah dagingmu” Tanya Rani sambil membuang tatapan.
“Roman sahabatku, dan kau wanita yang aku cintai. Biar dia yang menanam benih dan aku yang akan merawatnya”
“Kau akan menjadi manusia paling tak beruntung Fid, hidupmu akan dihabiskan dengan pandangan buruk dari siapapun. Harusnya Roman yang ada di posisimu”
“Sudahlah, semoga siksannya di neraka bisa dikurangi”
“Aku benci malam itu, ketika ia sebagai pamanku menyambangiku, dan bodohnya aku menyewakan ruang tamu agar ia tidur dengan nyaman, ia justru meniduriku. Beruntung jurang dan mobil membawannya cepat ke neraka”
“Cukup Rin”.