Di jaman now, sikap keislaman yang diperagakan sebagian muslim dan “para ustadz”, dipertanyakan banyak orang.  

Sampai Bung AT (AbdillahToha),  seorang Habib, Pemerhati Agama dan Politik, Cendekiawan Muslim yang ketat dalam kehidupan keislamannya, merasa prihatin dan perlu menulis sebuah buku berjudul provokatif. “Buat Apa Beragama”.

Berbagai Renungan dalam buku itu, seyogyanya menjadi perhatian para ulama, habaib, kiyai, MUI juga Kemenag. Rasanya mendesak menjadi bahan pertimbangan serius, mengkaji ulang pemahaman keislaman seorang muslim dalam menjalani kehidupan keseharian di tengah masyarakat yang semakin komplek saat ini.

Memastikan ke depan,  muslimin menjadi khoiru ummah, umat terbaik sesuai harapan dalam pernyataan Al Qur’an Al Kariem.

Islam, dalam kurun waktu 1400 tahun perjalanannya, telah tumbuh subur berkembang, ibarat taman aneka bunga. Menjadi agama yang  penuh warna dengan beragam tekstur karakternya. Dari warna putih sampai hitam dengan berbagai varian warna turunannya. 

Warna pasta lembut, warna norak ngejreng menyilaukan, hitam pekat, Putih, juga Warna Campur-Campur dstnya. Garis lurus, lengkung, melingkar, sampai ada yang ruwet berbelit-belit tidak jelas mana ujung mana pangkalnya. Semuanya ada. Dan terus berkembang bercabang ranting menarik banyak pemerhati.

Kalau dirangkum seluruhnya di satu kanvas, kira-kira akan tampak seperti lukisan abstrak mozaik. Setiap orang yang mengamatinya, bisa punya kesan  pandangan pendapat berbeda. Ada yang melihatnya mirip Merpati Putih, ada juga yang melihatnya seperti Elang Hitam, Garuda, Kuda, Kelinci, Pedang Terhunus atau bahkan Singa yang siap menerkam mangsa.

Menariknya, masing-masing berdasar dalil pendukung pandangannya dengan merujuk berbagai riwayat yang tertulis dalam khazanah keilmuan Islam sepanjang sejarah. Termasuk yang diaku bersumber dari Ahadits Nabi, Riwayat Para Sahabat bahkan Al Quran Al Kariem.

Bila tampak bagai lukisan abstrak, makhluq apa gerangan sebenarnya, Islam itu ?Wajar saja di tataran umat, jadilah umat yang bingung.  Apa dan bagaimana ?

Cemas, selalu khawatir, ragu atas pikiran dan penglihatannya. Maklumlah, salah dalam menilai agama, bisa bermasalah serius. Bertanya-tanya, menjadi kewajiban. Bahkan soal sepele, seperti ucapan natal, rutin menjadi polemik setiap tahun. Yang sebenarnya hanya soal etika sederhana dalam pergaulan sosial.

Bagaimana seharusnya menjalani hidup yang baik selaku seorang muslim, menjadi persoalan yang musykil dan tidak mudah.  Apa saja, kapan saja, dimana saja, harus bagaimana, mesti ada dalil nya.

Para ustadz pun sangat rajin wanti-wanti. Islam adalah agama sempurna. Hati-hati, jangan terpeleset, jangan sesat jalan yang akan mengantar ke neraka. Carilah ustadz, kiyai, habib sebagai pembimbing. Konon disanalah tersimpan segudang dalil ajaib untuk keselamatan menjalani hidup dunia akhirat.                   

Dengan sepotong dalil pula, vonis sesat munafiq kafir zalim bisa dijatuhkan kepada siapa saja yang berbeda pandangan. Umat makin bingung. Karena ribuan ustadz, habib ada dimana-mana, subur menjamur. Maklumlah, bermodal copy paste dan hafalan dalil sekedarnya, siapa saja sudah merasa layak dan diaku sebagai ustadz.

Para ustadz pun dinilai berdasar banyaknya dalil yang dihafal dan kegenitannya merangkai retorika kata.  Tak pelak lagi, toa pengeras suara sebagai media penjaja dalil menjadi penting. Toa tiba-tiba saja menjadi soal penting yang umat siap heboh bila Toa diusik.

Sudah menjadi rahasia umum, media elektronik utamanya, berperan penting, dalam penetapan gelar habib ustadz. Bila gelar sudah disandang, mendapat perlakuan khusus, layaknya barang pecah belah, fragile. Pantang terusik. Milisi Pembela Ulama pun siap bergerak.  Semua itu, menyempurnakan lukisan abstrak yang dipamerkan.

Terpaksa atau dipaksa, kalau mau tentram, mencari rujukan dalil dirasa menjadi kewajiban . Mau apa, mau jadi apa, jadi Merpati, Elang, Garuda, Kelinci atau Singa ? Bagaimana tidak ?! Kalau Kantong Plastik, Mesin Cuci, Makanan Kucing juga bersertifikat halal. 

Binatang apa yang layak dipelihara, olah raga, kesenian apa. Busana warna apa, bagaimana modelnya. Perempuan, wajib menutup seluruh wajah, tubuh, berkerudung, atau cukup asal sopan. Seberapa tinggi volume dan lembut nada suara perempuan dalam berbicara. 

Bagi pria, panjang celana, panjang baju, sampai dimana. Jenggot mesti bagaimana. Ilmu apa yang utama, berdagang atau industri. Belajar apa ?  Ilmu pengetahuan secara umum sesuai kebutuhan hidup atau menghafal Al Qur’an. Membaca Al Qur’an langgamnya mesti bagaimana. Membangun Masjid, Sekolah, atau Rumah Sakit.  Beristri berapa, berwisata kemana ? Nasabah bank apa ? Belanja kemana ?  Vaksin merek apa ? Sudah jelas vaksin, kok bisa dianggap sama dengan babi ? 

Qiyas analogi, logika Vaksin sama dengan Babi, bila diikuti, bisa mengantar orang mancing di bak mandi. Karena disitu sama-sama ada airnya. Bingung khan ?Bagaimana bila lalat masuk ke gelas minuman dstnya.

Lengkap dengan berbagai do’a di setiap gerakan. Sampai urusan kebijakan negara dan hubungan bilateral multilateral global internasional.  Luar biasa !       Banyak dikhutbahkan, pemahaman keislaman model seperti itu, diyakini sebagai bukti kesempurnaan Islam. Lagi-lagi, semua itu diyakini berdasar dalil.

Ajaran Islam pun berubah menjadi sekumpulan dalil-dalil kaku yang mengatur setiap gerak langkah dan pikiran manusia. Berbuat baik pun juga harus berdasar dalil. Kalau tidak mau dikatakan bid’ah sesat yang mengantar pelakunya ke neraka.               

Dengan dalil pula, akal sehat yang mulia dengan mudah dicampakkan. Diperlakukan secara tidak adil. Akibatnya,  setiap kelompok darurat sibuk mencari dalil sebagai pembenaran pendapat dan prilakunya, ketimbang berpikir mengkaji dengan menggunakan akal pikirannya.

Darimana sumber dalil, tidak lagi prioritas. Yang utama, dalil sesuai dengan pendapat masing-masing para ustadz yang dianggap selaku pemandu spiritual. Kesibukan mencari dalil pun membuahkan hasil.  

Setiap kelompok, dapat saja dengan mudah menemukan dalil-dalil yang dicari. Maklumlah, ketersediaan dalil, sudah jauh melampaui kebutuhan permintaan. Tersebar di ribuan kitab catatan sepanjang sejarah. Termasuk dalam berbagai catatan riwayat, bahkan dongeng. 

Dalil, yang tidak juga jelas, kapan dan bagaimana lahirnya, sehingga secara sederhana disimpulkan sebagai senjata sakti mandraguna.  Bahkan, berpecah belah, berseteru, berperang antar sesama juga ada dalilnya. 

Dan cukup sebagai alasan mengabaikan ukhuwwah persaudaraan yang nash diwajibkan dalam Al Qur’an Al Kariem. Pertanyaan, mana, apa dalilnya ? Menjadi tanda kesholehan dan keimanan.

Ironinya, dalil-dalil itu, bukan saja tidak sama, tapi bisa bertentangan satu sama lain. Sekedar contoh. Dari dalil-dalil itu, bisa melahirkan Kerajaan Kesukuan Tiran absolut, dan di saat yang sama, bisa juga melahirkan Republik Islam. Dengan dalil pula, seorang muslim bisa menjadi sangat radikal dan bisa juga menjadi sangat toleran.

Sepanjang sejarah, dalil-dalil itu, telah menjadi pemicu perbedaan permusuhan bahkan pembunuhan. Perang sesama bangsa, juga sesama seagama. Pemicu utamanya, karena masing-masing kekeuh merujuk dalil yang berbeda. Sejarah mencatat dengan mubin terang benderang.                               

Setelah dalil, biasa dilengkapi dengan kalimat pamungkas. Semua itu harus dijalani diimani secara kaffah (total) agar bisa mencapai surga firdausi.

Akal tidak lagi mendapat tempat yang adil, bila dihadapkan dengan dalil. Dalil bodong sekalipun. Bahkan tidak jarang, akal (berpikir), diposisikan sebagai tertuduh penyebab kekufuran. Pertanda lemahnya iman dstnya. Karenanya Akal harus dilumpuhkan !
Jalani saja hidup, cukup dengan balutan dalil sekujur tubuh. Absurd !

Sementara Al Qur’an Al Kariem, begitu sarat dengan seruan berpikir menggunakan akal. Dalam perspektif Al Qur’an, rasanya tidak salah, bila penulis berkesimpulan,

“Islam mengajarkan, berpikir  baru kemudian beriman dan bukan beriman tanpa berpikir”.

Keyakinan pemahaman atas dalil seperti diatas, telah membuat banyak orang menjadi pengap gerah dalam kehidupan keislamannya. Bahkan murtad, meninggalkan Islam. Merasa hidup dalam belenggu yang ketat.  Melecehkan, menyia-nyiakan akal sebagai karunia agung Ilahi yang selayaknya disyukuri. Sekaligus menurunkan harkat kemanusiaan yang Tuhan menciptakannya sebagai makhluq ahsanu taqwim, makhluq pilihan yang berakal dan merdeka.                                   

Bukankah hanya dengan akal dan berpikir, manusia menjadi satu-satunya makhluq yang layak sebagai “khalifah” Nya ?

Bila tidak berpikir menggunakan akal, hati dan indera nya, bisa menjadikan manusia asfalus-safilin, serendah-rendahnya makhluq, layaknya hewan ternak yang Al Qur’an menyebutnya kal an’aam (Al Qur’an Surat Al A’raaf  Ayat 179).

Sabda Nabi: “La diena liman la ‘aqla lahu”. Tidaklah ada agama, bagi yang tidak berakal. Jelas tegas, betapa mulia kedudukan akal dalam ajaran Islam. Mencampakkan akal dan nurani, sama dengan mencampakkan agama.

Islam yang generik, dibawa oleh Rasulullah saw, sejak awal dikenal sebagai ajaran yang mudah, ramah, sederhana dan indah. Sederhana saja, li utammima makarimal akhlaq, untuk menyempurnakan akhlaq budi pekerti, begitu sabda Nabi.

”Tidaklah Engkau diutus, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (Menyebar kasih sayang welas asih)”.  (Al Qur’an Surat Al Anbiya, 107)”.

Sesederhana itu saja, tugas kerasulan yang diamanatkan Allah kepada NabiNya. Selebihnya, manusia dengan akal dan indera nya, diwajibkan memilih jalan terbaik bagi dirinya, keluarga, lingkungan sosialnya dan alam semesta. Manusia adalah makhluq merdeka dengan pilihan jalan hidupnya. Bahkan dalam agama, tidak ada paksaan. 

Ganjaran diberikan, atas dasar pilihan dengan menggunakan akal pikirannya secara adil, disertai ketulusan demi kebaikan bagi diri, keluarga masyarakat dan manusia pada umumnya.              

”Khoirukum anfa’ukum linnas”,  yang terbaik diantara kalian adalah yang paling besar memberi manfaat bagi kemanusiaan” (Alhadits).

Kesempurnaan Islam, justru pada kemudahan dan kesederhanaan ajarannya. Memposisikan akal pikiran secara adil terhormat, sebagai alat untuk menetapkan berbagai pilihan sesuai kebutuhan dalam perjalanan hidup manusia. Selayaknya manusia pada umumnya.

Menjadi muslim yang baik, sama sekali bukan berarti berubah menjadi manusia yang berbeda dari ujung rambut sampai ujung kaki di tengah manusia lain.

Heboh dengan berbagai atribut, ekspose simbol-simbol yang seringkali kosong makna. Asal nampak beda dengan manusia lain. Seorang perempuan berhijab, trending dikatakan sholihah. Kalau tidak berhijab, dianggap belum sholihah dan belum hijrah. Sementara akhlaq, karir prestasinya wallahu a’lam. Simbol telah mengalahkan substansi ajaran luhur Islam.

Islam mengajarkan, yang membedakan seorang muslim dengan yang lain, adalah kegemarannya beramal sholeh, berlomba dalam kebaikan, berakhlaqul kariemah, santun, penuh welas asih. Menerima dengan legowo keberagaman dan menghormati perbedaan. Adil, meski terhadap seseorang atau kelompok yang berbeda agama. Bila menjadi politisi, menjaga etika dalam mencari dukungan suara. Jangan membodohi umat dengan menjual dalil. 

Sebagai dokter, guru, pejabat negara, TNI Polri, Penegak Hukum dan berbagai profesi, menjalani profesinya dengan baik. Bermoral, jujur dan amanah. Wajar-wajar saja.                    

Kehadiran Islam artinya kehadiran rahmat cinta, kemerdekaan, keadilan dan kedamaian bagi sesama.

Islam tegas menentang menolak eksploitasi manusia atas manusia dengan alasan apapun. Karena berlawanan dengan prinsip kemerdekaan, rahmat cinta dan keadilan. Termasuk eksploitasi spiritual. Meski dilakukan oleh para kiyai, ustadz dan habib yang sering dianggap sebagai manusia setengah dewa.

Adalah sunnatullah, masyarakat manusia beraneka ragam dan selalu berubah, unik dan komplek dari berbagai sisinya. Manusia, suku, bangsa, berkembang mengikuti perjalanan sejarahnya masing-masing. Sehingga mustahil, bila politik sosial ekonomi budaya di seluruh pelosok bumi, wajib berdasar dalil yang baku sepanjang masa. Terlebih berasal dari suku bangsa yang sama sekali berbeda dalam segala sisinya berpuluh abad silam.

Bisa jadi benar, dalil-dalil itu pernah ada dan bermanfaat di suatu masa dan di suatu tempat. Pertanyaannya, kapan, mengatur masyarakat mana dan kemudian jadi seperti apa masyarakat itu ?

Di era global dewasa ini, dimana kita mendesak membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi, agama dengan pemahaman seperti diatas, lebih menjadi beban. Alih-alih menjadikan khoiru ummah, ummat terbaik seperti dijanjikan Al Qur’an Al Kariem.

Pada gilirannya dan telah terbukti seperti kita saksikan, bahkan memastikan keterpurukan dalam persaingan global umat manusia, hampir di semua sisi kehidupannya dalam berbangsa dan bernegara.

Sekedar contoh mencolok mata : Adakah umat lebih lemah terhinakan dari muslimin di dunia ini !? Sepanjang 50 tahun terakhir, secara sistematis demonstratif, setiap saat, menyaksikan perlakuan Zionis Israel atas Masjid Suci Umat Islam Al Aqsho dan Bangsa Palestina. Penghinaan, pelecehan, terjadi didepan mata Bangsa Arab yang muslim dan dunia Islam pada umumnya.

Yang terjadi, justru Bangsa Arab yang sekutu Amerika “menyerah”menikmati persahabatan tanpa malu dengan musuh Islam yang nyata. Zionis Israel yang hanya beberapa juta, cukup untuk mengalahkan bermilyar muslimin. Yang mengaku sebagai mujahidin, malah memerangi bangsa sendiri. Sesama Bangsa Arab, sesama muslim berperang sesamanya. Saatnya bercermin !

Kembali soal dalil, wama adroka ma dalil. Habis waktu tenaga pikiran anak-anak kita, sekedar mencari dalil. Bisa-bisa, habis umur, belum sempat berbuat apa-apa, karena dalil juga pemandu yang pas belum didapat.

Dalam berbagai kesempatan diskusi. Respon Generasi millenial, bertanya bernada sumbang. Benarkah, sebagai seorang muslim, untuk menjalani hidup secara baik saja, sebegitu ribet riweuh, jalan menuju Tuhan !?

Akhirnya, tanggungjawab utama, ada di tangan para ulama, kiyai, habib, ustadz. Hentikan memposisikan diri sebagai pemilik dalil, agen tiket ke surga dan menikmati puja puji dan upeti.

Mendesak merekonstruksi pemikiran keislaman kita selama ini. 

Moga layak menjadi sekedar renungan bagi kita semua....?

Catatan : *Dalil dalam tulisan ini secara khusus terkait poleksosbud dan bukan terkait ibadah ritual.

==dari catatan hy 171121==