Pernahkah kita berpikir bahwa ada suatu kekosongan dalam diri kita?
Dari Anak muda yang sering galau karena cinta atau mudah penat oleh kesibukan sekolah, hingga orang tua yang sibuk bekerja, sering kali memikirkan perlunya melakukan healing dan staycation untuk mengisi kekosongan dalam dirinya.
Pemikiran Jacques Lacan sekiranya mampu menjawab mengapa kita mengalami kekosongan dalam diri dan punya hasrat-hasrat untuk dipenuhi.
Mengenal Lacan
Jacques Marie Èmile Lacan lahir tanggal 13 April 1901 di Paris dan meninggal pada 9 September 1981. Jacques Lacan adalah sulung dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Emilie dan Alfred Lacan.
Pada tahun 1932, ia meraih gelar doktor dalam ilmu kedokteran dengan disertasi La psychose paranoiaque dans ses rapports avec la personalite (Psikosa paranoia dalam hubungan dengan kepribadian).
Jacques Lacan adalah seorang psikoanalis dan psikiatris Perancis yang dijuluki sebagai “Freud-nya Prancis”, dengan jargon khasnya, Return to Freud. Lacan berupaya untuk menafsirkan ulang pemikiran Freud dan berupaya menerjemahkannya dalam konteks struktural-linguistik.
Jacques Lacan secara rutin memberikan seminar atau le Séminaire di Perancis dari tahun 1953 hingga 1981, hingga memiliki pengaruh yang begitu besar di kalangan intelektual Perancis saat itu, terutama bagi pemikiran filsafat aliran post-strukturalis.
Pada 10 tahun pertama, le Séminaire hanya diminati oleh para praktisi psikoanalisis, namun sejak 1964 peserta seminar Lacan kian membludak dengan latar belakang yang beragam, mulai dari ilmuwan nonklinis, filsuf, hingga seniman.
Pada 1966, ia menerbitkan buku pertamanya, Ecrits, yang merupakan kompilasi dari seminar yang uraiannya terasa sukar dipahami.
Lacan dikenal sebagai orang yang menolak sesi standar 50 menit yang membuatnya dikeluarkan dari keanggotaan International Psychoanalytical Association dengan tuduhan praktik menyimpang, selain juga tuduhan memperkaya diri karena ongkos sesinya tetap mahal.
Menurut Lacan, durasi bukan masalah karena yang lebih penting dari analisa adalah menafsirkan pesan-pesan ketidaksadaran yang terpendam sejak masa kanak-kanak berapapun singkatnya sesi itu.
Bayangan Cermin
Lacan membagi proses pembentukan subjek ke dalam tiga fase yang memiliki hubungan dengan tiga ranah atau tatanan dalam psikis manusia. Yang pertama dinamakan fase praodipal pada Yang-Nyata (the Real), fase cermin pada Yang-Imajiner (the Imaginary), dan fase odipal pada Yang-Simbolik (the Symbolic).
Pada tahun 1936, Lacan mengembangkan teori tentang “Bayangan Cermin”. Bayangan cermin terkait dengan munculnya kemampuan anak bayi (infant, enfans (belum bersuara)) yang berumur antara 6 hingga 18 bulan, dimana ia belum mengenali bayangannya sendiri di cermin, namun masih terikat dengan sang ibu dan bahkan belum dapat membedakan tubuhnya dengan sang ibu.
Kemudian anak akan memasuki fase yang merupakan tahap dari fase imaginer, yaitu saat seorang anak mengenal gambaran dirinya melalui atau sebagaimana direfleksikan melalui cermin pandangan ibunya sebagai dirinya yang real. Seorang anak pertama kali mengenal dirinya atau sebagaimana ibunya melihat sebagai yang lain (the other).
Keterpisahan Ibu dan Anak
Keterpisahan dengan sang ibu membuatnya menyadari bahwa dia bukan sang ibu, sehingga ia harus mencari tahu siapa dirinya dan sosok yang bukan dirinya. Bayi belum dapat membedakan antara dirinya dengan yang lain, namun dia mulai menjumpai citra yang lain melalui orang lain atau melalui dirinya dalam citra yang lain, walau masih belum mengidentifikasikannya dengan jelas.
Pada keterpisahan ini, sang ibu menjadi objek pertama sang anak, yaitu pengalaman kekurangan atau ketiadaannya yang pertama. Bagi sang ibu, anak adalah pengganti dari alat kelamin laki-laki (phallus) yang hilang. Sang ibu menemukan rasa kepenuhan dalam hubungan dekatnya dengan sang anak.
Sementara itu, sang ayah adalah suatu unsur yang cenderung melakukan intervensi dalam hubungan ibu-anak, sehingga dalam melakukan identifikasi dengannya, sang anak bisa membentuk identitasnya sendiri. Dalam skenario ini, status metaforis yang dijelaskan Lacan adalah bahwa kedudukan sang ibu cenderung menjadi tempat kedudukan dari Yang-Real, sedangkan sang ayah membangkitkan Yang-Simbolik dan Yang-Real agar ditangkap oleh sang anak.
Pada tataran individu, identitas sang anak adalah hasil dari upayanya menghadapi perbedaan seksual. Yang utama dan pertama dalam diferensiasi seksual ini adalah munculnya kesadaran pada sang anak bahwa sang ibu tidak memiliki penis. Lacan menunjukkan bahwa peis memiliki status simbolik yang tidak bisa direduksikan lagi.
Tahap ini menjelaskan bagaimana diri (ego) masih belum ditundukkan, dan oleh sebab itu, diri menjadi subjek yang berarti dilemparkan/ditundukkan oleh eksterioritas yang di luar dirinya (budaya, budaya, agama, dan lain sebagainya). Dari proses identifikasi ini, anak akhirnya masuk dalam tatanan simbolik, yaitu proses yang menjadikannya menjadi manusia sosial yang tidak egoistik, berbudaya dan beradab.
Proses menjadi subjek, dalam tatanan simbolik terjadi ketika diri bernegosiasi dengan bahasa (rantai penanda) sehingga identifikasi imajinernya ditundukkan oleh identifikasi simbolik.
Tatanan simbolik ini menjelaskan bagaimana bahasa menjahit subjek melalui point de capiton/master of signifier (Tuhan, Cinta, Kebebasan, Toleransi, Keadilan, dan hal lain yang bersifat abstrak, agung dan transenden), menyebabkan subjek (S) terkutuk menjadi subjek yang terbelah, hampa, dan selalu berkekurangan ($), karena Yang Simbolik selalu ada sebelum subjek sehingga selalu menundukkan subjek.
Pada tahap simbolik, bayi secara tidak sadar terpisahkan dari sosok ibunya, sehingga bayi mengalami reduksi dalam pemenuhan kebutuhannya. Rasa kehilangan pada subjek menuntut suatu pemenuhan kebutuhan yang sayangnya memutarnya dalam tatanan simbolik, sehingga tidak mampu menanggapi sesuatu yang sebenarnya.
Tatanan simbolik adalah the Other atau Yang-Lain bagi subjek. Bahasa yang menawarkan makna transeden yang abstrak dan tidak benar-benar ada membuat subjek terjebak dalam tatanan simbolik, sehingga subjek harus mengadakan makna agung tersebut untuk menggapainya.
Castration
Tatanan simbolik menjebak subjek untuk terus menerus memenuhinya (menciptakan hasrat), yang menjadi jebakan Yang-Lain, sehingga subjek tidak dapat lepas dari Yang-Lain. Lacan menyebutnya sebagai kastrasi (castration) yang memungkinkan orang untuk menjadi subjek dan masuk ke tatanan simbolik dengan meninggalkan tatanan imajiner.
Menurut Lacan, Tang-Lain pasti dalam kondisi kekurangan (lack) yang menunjukkan bahwa Yang-Lain itu tidak pernah ada (Ø) dan subjek terjebak dalam penandaan yang tidak utuh terhadapnya. Inilah mengapa proses pemenuhan ini tidak akan pernah selesai.
Hasrat subjek menurut Lacan adalah Che Vuoi? (apa yang kamu inginkan dariku?) yang mengindikasikan ada panggilan Yang-Lain yang menarik subjek terserap padanya, sementara jaringannya merantai tatanan simbolik yang lebih luas seperti yang lain dan subjek-objek yang lainnya.
Supaya subjek tetap berhasrat, subjek akan secara otomatis dialihkan pada apa yang Lacan sebut sebagai enjoyment/jouissance (kenikmaan yang menyakitkan) sebagai hasil persembunyian kehilangan traumatis atas kegagalan memenuhi hasrat akan Yang-Lain. Kegagalan ini disebabkan oleh Yang-Lain tidak pernah hadir sepenuhnya.
Supaya Yang-Lain seolah-olah ada dan dapat diraih, maka kualitas kemiripan dihadirkan (semblance) yang berfungsi untuk memermak objek perwakilan atau pengganti dari kehadiran Yang-Lain. Objek tersebut disebut Lacan sebagai object (petit) a atau objek penyebab hasrat.
Object a adalah apa yang dicari subjek hasrat saat menghasrati suatu objek hasrat untuk mendapatkan kepenuhan diri, seperti harapan sang anak untuk bersatu kembali dengan sang ibu. object a menghubungkan subjek pada yang lain, yang mana subjek terpisah oleh dinding bahasa.
Ketidakhadiran object a yang tidak dapat diperbaiki menimbulkan keabadian hasrat dan pelarian tanpa henti dari satu penanda ke penanda lainnya. Object a juga merupakan representasi dari objek kekurangan (phallus) atau objek hasrat seperti fetis atau pemujaan. Gagasan mengenai kegelisahan (anxiety) merupakan konsekuensi (psiko)logis dari konsep fundamental Lacanian tentang kehilangan dan kekurangan tersebut.
Lacan kemudian menjelaskan mengenai fantasi sebagai penopang bagi hasrat. Fantasi membuat seseorang mapu untuk memproyeksikan object a yang mungkin melengkapi celah atau kekurangan yang ditinggalkan oleh kastrasi phallus. Object a berfungsi menjadi pusat dorongan dan tempat dibangunnya fantasi. Psikoanalisa Lacan melihat fantasi sebagai subjek terbelah yang selalu menghasrati objek tanpa sepenuhnya dapat meraih kepenuhan darinya.
Sumber Pustaka dan Internet :
Bertens, K., “Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis”, Jakarta: Gramedia, 1985.
Lechte, John, “50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas” Yogyakarta: PT KANISIUS, 2001.
Setiawan, Rahmat, “Zizek, Subjek, Dan Sastra”, Depok, Sleman: Penerbit Jalan Baru, 2018.
Chabibah, Uswatul, Jacques Lacan: Penyambung Lidah Freud, 9 September 2021, https://tirto.id/jacques-lacan-penyambung-lidah-freud-gjjJ, (diakses pada 9 Mei 2022, pkl 17.57).
Sahara, Dedi, Mendedah Hasrat: Suatu Pengantar Psikoanalisis Lacan (Bag. 1), 26 Oktober 2019, https://lsfcogito.org/mendedah-hasrat-suatu-pengantar-memahami-psikoanalisis-lacan-bag-1/, (diakses pada 9 Mei 2022, pkl 17.56).