Halo teman, sang penyair, ijinkan aku pinjam biopik kepemilikanmu “istirahatlah kata-kata” yang spektakuler – abadi.
Mengapa ‘hutang tidur’? Tak takut binasa?! Yang pasti aku tidak kehilangan arah karena di buron oleh rezim yang patah arang. Tetapi aku hanya ingin jeda dari penat yang menyita perasaanku dan jenuh yang merusak gerogoti kalbuku kini!
Setelah baru saja aku mengerti, takdir bekerja lebih baik daripada sebilah giat ambisi, giat kerja keras harapan dan giat gemuruh para pendongeng.
Aku bawa kembali kampung saja kail cita-cinta kita, pengembaraanku yang menggebu-gebu selama ini. Ternyata bagai tangkai bunga teratai yang kutanam pada beton. Lembut, keras dan tak berakar!
Jika diputar ulang seluruh gulungan kaset pengembaraan itu, bermuara pada keterasingan. Sebab banyak hal yang masih belum sempat aku jamah, gonggongi dan hanya sedikit yang membuatku rindu.
Andai ulung, aku dapat menyerupai tupai, keledai atau bunglon. Meloncat-loncat, mengemis-menjilat, berubah-ubah, tentu pastilah aku di sorak-sorai tepuk tangan bahkan dibungkuki badan feodalisme. Tapi sayangnya aku tak berbakat.
Tanah partikelir Jakarta, aku mau menyulam kembali layar nanti, entah kapan. Mengangkat jangkar keadilan untuk berpindah-pindah dulu, sekarang.
Istirahatlah kata-kataku, nikmati kesunyian. Kata-kata yang telah banyak menamatkan sejarah. Tidur berlibur dari jibaku menjadi kepala, tangan dan telinga bagi makhluk kota kotor dan arogan yang menindas saudara sendiri.
Hari-hari ke depan, aku mau jadi popor bedil manusia Desa, membawa mereka belah ragu berjalan di tengah kabut. Pena bagi petani – nelayan agar mereka tahu anatomi dan makna kemerdekaan sesungguhnya. Bukan “kemerdekaan adalah nasi dimakan jadi tai” seperti Wiji Thukul katai.
Aku ingin menjadi buku kecil untuk belajar banyak suhu – suku pedalaman. Mengumpulkan yang masih bisu – sembunyi, para aktivis yang akan memukul mundur perampas (tengkulak) dan patahkan tiran kekuasaan oligarki yang lalim.
Dan, di bawah bintang-bintang, setelah aku memeluk sang rembulan (ibu). Lekas kucarikan pantun yang maha tulus, buat aku rakit menjadi puisi, rasanya itu cukup untuk kalian (orang baik). Maafkanku tak punya helm proyek negara cerpen yang teatrikal dramatik.
Silakan cicipi kemegahan kebudayaan negeriku komandan, guru dan kawanku yang telah berjasa sedekah sayap-sayap, menyeret menghindarkan badan aku tertular gembel jalang.
Terima kasih kepada yang menggratiskan wahana bermain buat anak-anakku, yang berbagi senyum untuk menyelimuti perasaan kalut mereka akibat kesialan ideologi “kecil dan besar” yang hancurkan ekologi kekerabatan.
Tentang pantai, gunung-gunung, pohon-pohon, udara sejuk, air jernih, rengge (batu besar), kebun, lumpur dan hamparan sawah. Kita akan menikmati kemewahannya tanpa garuk-garuk kepala dan berpikir dominasi.
Bercangkir-cangkir kopi aku persembahkan buat yang masih kuat bertahan dengan serial hidup dunia politan. Jangan keluh-kesah sakit, kerumunan macet, polusi serta limbah-limbah. Silakan datang urban – rekreasi ke surauku dan mari bung laundry kembali haluan orientasi kita!
Kepada yang tengah terkuras perasaannya, terseret gelembung ‘Perang’ dan pergulatan selera rezim ‘Toa’ yang berisiko distorsifkan segala kemewahan. Memang, para dewa-dewa penentu kebijakan dan penganut rente, mana punya nalar universal ekologi. Fantasi-fantasi otak mereka hanya tahu tentang (dominasi – kekuasaan).
Kita harus mulainya dengan pertanyaan-pertanyaan eksplisit. Namun kita berdiri sebelah mana, menjaga tertib sosial? Atau memberi jalan anarki (perang) pada kaum status quo? Bukti-bukti faktual, apakah kita termasuk yang masih terbawa arus irasionalitas Kadrun versus Kampret?
Misal saja pretensi toa yang “bising kusutkan” jalinan kerukunan, cukup memadai? Bagaimana pula tentang susah payah nilai kebudayaan-kultural yang telah toa bangun selama ini kemudian tidak dieksploitasi?
Sungguh berharga bila mampu bertahan hidup dalam dunia yang telah di ubah menjadi rumah sakit, planet penjara dan terkikis spiritual, kata Ivan Illich.
Dunia yang telah dirancang oleh kaum – kelompok teknokratik ini adalah total mengembangkan agresivitas (penghancuran) pada hak pertumbuhan kemerdekaan, termasuk membentuk frustrasi-frustrasi sosial. Kecuali toa dapat terobos tank-tank perang menjadi tonggak juru selamat terhadap darah mengalir, dan nyawa melayang.
Peradaban manusia (adab berbangsa, bernegara atau adab bermasyarakat) perihal hanya utopia belaka, mustahil kita capai dan cicipi? Sebab keistimewaan gelar-gelar universitas (kepemimpinan) sialnya hanya mampu menjadi pengawas perang dan pekerja modifikator aturan sesuai pasar kepentingan.
Kita lawan?! Mau dituding subversif? Terlibat perang? Pertimbangan melakukannya, pertama-tama negara mesti benar-benar berkemampuan miliki industri-industri kimia raksasa yang kompleks memproduksi terminologi militer modern, mesin-mesin, kilang minyak dan sebagainya.
Terutama paling penting, kita harus adil pada diri sendiri, yakni dengan menimbun kesabaran yang mengharmoniskan beban dan pengorbanan. Shadaqallahul adzim.[]