Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya (baca: Pasal Zina dalam RKUHP, Islamikah?). Meski masih seputar pandangan Islam, argumentasi yang digunakan dalam tulisan kali ini relatif baru dan tidak populer. Disebut tidak populer karena biasanya sesuatu yang jelas disebut dalam nash relatif tidak lagi diperdebatkan oleh umat Islam.

Nah, dalam hal ini, zina dipandang sebagai sesuatu yang jelas (qath’i dan muhkamat). Umat Islam, walau di negaranya tidak menerapkan hukum pidana Islam, tetap berpandangan bahwa zina adalah jarimah yang diancam dengan 100 kali jilid (cambukan). Mereka tidak pernah menyangkal hal ini walau tidak mempraktikkannya secara apa adanya.

Hanya saja, tuduhan adanya upaya “islamisasi” dalam RKUHP, khususnya pada persoalan susila, tidaklah cukup dengan penjelasan sebelumnya. Sebab, rasanya mustahil umat Islam tidak berupaya memasukkan pandangan agamanya dalam persoalan ini. Umat Islam nyatanya juga menolak disebut sekuler.

Artinya, boleh jadi isu adanya upaya “islamisasi” adalah benar. Soalnya, dalam menjalankan agama, umat Islam sangat populer dengan kaidah “jika tidak dapat melakukan semuanya, jangan meninggalkan seluruhnya”. Berdasarkan kaidah itu pula mereka yang tidak bisa salat berdiri, boleh melakukannya dengan cara duduk.

Allah pernah berkata, “Bertkwalah semampumu”. Dan dalam konteks ini, mungkin sebagian umat Islam telah berupaya, hanya saja, baru dengan mengubah definisi zina dan memasukkan larangannya ke dalam RKUHP. Jika dugaan ini terkonfirmasi, maka yang benar adalah “adanya upaya islamisasi”, bukan RKUHP itu islami.

Kedua, adalah Abdullah an-Na’im yang menolak definisi hudud yang selama ini dianggap suci lagi qath’i. Menurutnya, hudud dalam definisi yang ada tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar di mana ada suatu kasus yang sanksinya tidak tunggal, melainkan banyak. Di sisi lain, ada pula hudud yang sebenarnya masih debatable seperti khamar.

Kaitannya dengan pembicaraan kita adalah, apa yang disebut Islami sebenarnya tidaklah tunggal. Sebagian orang dapat saja berpandangan ini dan itu sebagai islami, begitupun sebaliknya. Hanya saja, minimnya literatur menyulitkan kita menemukan apa yang menjadi indikator “islami” tidaknya sesuatu dalam hal ini.

Abdullah an-Na’im sendiri tidak menyinggung persoalan zina dalam Dekonstruksi Hukum Pidana Islam yang ditawarkannya. Ia hanya menolak beberapa pandangan umum dalam hukum pidana Islam. Sedangkan dalam kasus zina, ia tidak memberi sinyal apa-apa.

Jika dikaitkan dengan teori pemidanaan Islam yang ada (zawajir dan jawabir), apa yang kita anggap kabur di atas mungkin akan terjelaskan. Teori pemidanaan menjadikan pidana sebagai sarana “pencegahan/zawajir” dan “pembalasan/jawabir”. Karena posisinya sebagai sarana, maka yang tetap adalah tujuannya.

Karenanya, zina sebagai hudud boleh saja dipidana, namun tidak mesti dengan 100 kali cambukan. Pelaksanaannya juga boleh tidak di depan umum asalkan ummat Islam dapat mengambil pelajaran dari kriminalisasi zina tersebut.

Berdasarkan argumentasi semacam inilah pasal-pasal terkait dengan zina dan tindakan asusila lainnya yang diatur oleh RKUHP dapat diterima dan mendapat tempat dalam agama, setidaknya oleh mereka yang masih bersedia mengkompromikan definisi hudud seperti zina.

Jadi, mengatakan RKUHP, khususnya delik zina di dalam RKUHP sebagai hukum yang islami tidak mendapat dukungan bulat (mutlak) oleh seluruh orang Islam. Berdasarkan ulasan di atas dan ulasan sebelumnya, setidaknya ada tiga kategori pandangan umat Islam terhadap delik zina di dalam RKUHP.

Pertama, ada yang menganggap delik zina dalam RKUHP tidak islami. Kelompok ini hanya akan menerima delik zina dalam bentuk yang sesuai dengan teks al-Quran dan al-Sunnah (nash). 

Kelompok ini dapat disebut dengan kelompok literal/tekstualis. Islami tidaknya sesuatu bagi kelompok ini bergantung kepada keseuaiannya pada teks-teks suci (teks oriented).

Selanjutnya (kedua), ada yang menganggap delik zina dalam RKUHP itu belum Islami. Kelompok ini setidaknya terbagi menjadi dua argumen. Argumen pertama didasarkan pada prinsip “usaha” yang menjelaskan bahwa “jika tidak dapat melakukan semuanya, jangan meninggalkan seluruhnya”. Kelompok ini akan terus mengupayakan bentuk yang mereka idealkan.

Jika argumen pertama masih tekstualis, maka argumen kedua ini sudah beranjak ke konteks, heurmenetika, dan interdisipliner dan interkoneksi ilmu. Delik zina dipandang belum Islami bukan semata karena tidak sesuai dengan teks nash, melainkan juga karena faktor lain di luar itu. Argumen kedua ini cenderung mengedepankan makna di balik teks dibanding teks itu sendiri.

Terakhir (ketiga) ialah mereka yang mengatakan delik zina di dalam RKUHP itu islami. Kelompok ini sejatinya sama dengan argumen kedua dari kelompok kedua. 

Hanya saja, kelompok ini sudah menerima delik zina di dalam RKUHP dan menganggapnya yang paling islami dibanding dengan penggaturan yang selama ini eksis, baik dalam perundang-undangan negara maupun dalam buku-buku fikih (fiqh).

Kelompok kedua—yang mendasarkan pada argumen kedua—dan kelompok ketiga masih terbuka akan pembaruan yang sangat mungkin terjadi. Mereka senantia menerima kemajuan zaman yang tentunya dipenagruhi oleh kemajuan ilmu dan cara berpikir manusia dalam memahami ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah alam buana ini.