Islam di Indonesia bukan hanya sekadar agama. Dia juga proses panjang dinamika kuasa dalam proses sejarah bangsa. Dahulu, dengan Walisongonya, Islam memutarbalikkan dominasi Hindu-Budha, meresmikannya menjadi agama kerajaan.
Satu abad ke belakang, Islam menjadi simbol perjuangan melawan penindasan penjajah, baik dengan pedang, pistol maupun intrik politik. Salah satu puncaknya adalah Resolusi Jihad Fii Sabilillah 22 Oktober 1945 yang diinisiasi oleh K.H. Hasyim Asyari melawan agresi militer Belanda.
Kiranya itu adalah peristiwa terakhir dalam konflik kuasa negeri antara lakon Islam Indonesia vice versa kaum non-Islam sekaligus non-Indonesia. Setelahnya yang terjadi adalah intrik antara Islam dengan negara, Islam dengan sesama bangsa, atau Islam dengan Islam. Berawal dari pemberontakan Darul Islam, politik Masyumi, pro-kontra Nasakom, sampai toa azan, puisi Sukmawati, dan perdebatan bendera HTI.
Terlepas dari pihak mana yang lebih benar di mata Tuhan dan syariat, kita perlu mengambil jarak beberapa langkah untuk menilik konflik pada problematika yang lebih membumi sekaligus mengakar pada struktur dan relasi antar kelompok di dalamnya. Namun yang jelas terdapat polemik kekuasaan di dalam setiap pergolakan Islam di Indonesia.
Sebelum merdeka, kuasa yang diperebutkan adalah kehidupan yang berdaulat. Setelah merdeka, kuasa yang diperebutkan terletak pada kursi-kursi pemerintahan atau otoritas negara terkait penerapan syariat Islam di bumi Nusantara. Kini, kuasa itu ditarik ulur melalui kubu petahana dan oposisi dengan semua polarisasi kelompok Islam di keduanya. Mengkaji dinamika tersebut, penulis rasa kita perlu memerhatikan dua hal, yaitu simbol dan wacana.
Untuk mempersingkat waktu pembaca, mari kita tilik prosesi munculnya polemik pembakaran bendera. Dilansir dari Liputan6.com (26/10/2018), pada 22 Oktober 2018, perayaan Hari Santri Nasional digelar di Garut, Jawa Timur. Acara itu digelar atas izin polisi dengan syarat peserta tidak boleh membawa atribut apa pun kecuali Bendera Merah Putih.
Tiba-tiba, di akhir acara seorang oknum bernama Uus Sukmana mengibarkan bendera hitam dengan tulisan kalimat tauhid di tengahnya yang diindikasi mirip dengan bendera HTI. Melihat aksi tersebut, para anggota banser segera membawa Uus untuk diajak komunikasi. Uus pun mengakui bahwa bendera yang dibawa adalah bendera HTI.
Mendengar hal tersebut, para anggota Banser secara spontan membawa bendera tersebut kemudian membakarnya. Menurut Kabareskrim Polri, Arief Sulistyanto, jika saja Uus tidak mengibarkan bendera tersebut maka pembakaran tidak akan terjadi.
Lantas, dengan semua kronologi dan penjelasan di atas, mengapa masih timbul pro-kontra yang sangat kuat di masyarakat? Sebelum menjawab, ada beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, persoalan pembakaran bendera tidak boleh dilepaskan dari fungsinya sebagai simbol.
Sebagai simbol, bendera bukan hanya sekadar objek untuk diinterpretasi, tetapi juga dikonstruksi dan didekonstruksi secara terus menerus. Dalam banyak hal, apalagi bendera, simbol seringkali dimaknai sebagai our social identity (Koselleck, 2004). Akibatnya, simbol juga membentuk the others, kelompok lain yang tidak direpresentasikan oleh simbol.
Kedua, timbulnya pro-kontra pembakaran bendera perlu dilihat sebagai proses discourse framing atau penggiringan wacana. Wacana, menurut Focault, digunakan untuk merasionalisasi dan mensistematisasi cara untuk ‘mengatakan kebenaran’. Oleh karena itu, wacana memerlukan pengetahuan. Dalam kerangka teori Focault, pengetahuan itu sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. (Ritzer, 2011:615).
Menggunakan dua kerangka analisis tersebut, kita dapat memahami bagaimana polarisasi kubu pro dan kontra pembakaran bendera pada hari santri kemarin menjadi tajam. Bendera yang dibakar itu, sebagaimana kita lihat, diinterpretasi sebagai bendera HTI di satu sisi dan bendera tauhid di sisi lain.
Sebagai bendera HTI, tindakan Banser membakarnya dapat dipahami sebagai upaya melawan the others. Sebagai bendera tauhid, kelompok muslim yang menentang tindakan pembakaran merasa tersinggung karena membakar bendera tersebut berarti ‘membakar identitas sosial umat Islam’ itu sendiri. Namun, bagaimana perbedaan interpretasi simbol itu muncul? Di sinilah wacana berperan.
Menurut hemat penulis, ada mekanisme genealogy of power di dalamnya, yaitu cara orang-orang memproduksi pengetahuan untuk menghasilkan kuasa. Sebagaimana kata Focault (Ritzer, 2011:615) bahwa genealogi adalah tipe intelektualitas sejarah.
Abdulsalam (2018) menulis artikel menarik dalam tirto.id mengenai cara NU menggunakan Hari Santri untuk menguasai wacana kesantrian. Penetapan hari santri merupakan kontrak Jokowi dengan salah satu kiai NU, yaitu Thoriq Darwis, salah satu pengasuh ponpes Babussalam, Malang. Komitmen Jokowi tersebut secara otomatis menaikkan elektabilitasnya pada Pemilu tahun 2014 lalu. Bagaimanapun dilaksanakannya komitmen penetapan Hari Santri Nasional mendekatkan jalinan NU dengan petahana.
Selain itu, wacana lain yang dibangun oleh NU adalah mengenai bahaya HTI yang pada akhirnya berujung pada pembubarannya. Di pihak lain, kelompok umat Islam yang tidak setuju dengan pemerintah dan pembubaran HTI, berusaha membangun wacana tandingan. Mulai dari wacana rezim anti Islam, gerakan #2019GantiPresiden, dua jilid ijtima ulama, hingga klaim bendera tauhid.
Melalui pengetahuan berupa syariat Islam, hukum fikih, dan refleksi kesejarahan Islam, kedua pihak mencoba untuk melakukan genealogi pada wacana-wacana yang dimunculkan. Pengetahuan itu yang menjadi penggerak massa masing-masing kubu untuk memperjuangkan ‘kebenaran’ masing-masing dan kemudian merebut kuasa.
Sampai di sini, teranglah sumber konflik pembakaran bendera. Penulis beranggapan pentingnya melihat pro-kontra pembakaran bendera bukan dari sisi hukum syariat semata sehingga mengakibatkan dikotomi benar-salah yang sempit dan polarisasi yang lebih tajam. Hendaknya, para pembaca dan masyarakat Indonesia sadar akan pertarungan yang ‘lebih dalam’ dan ‘lebih subtil’, yaitu perebutan kuasa.
Pada akhirnya, kerangka analisis yang lebih luas semacam ini setidaknya dapat mendinginkan sentimen pembaca alih-alih meluapkan emosi dan ikut terbawa pada wacana kedua belah pihak yang sebenarnya tidak jauh dari ambisi merebut kuasa.
Daftar Pustaka:
- Abdulsalam, H. 2018. Hari Santri Nasional dan Upaya NU Menguasai Wacana Kesantrian. https://tirto.id/hari-santri-nasional-dan-upaya-nu-menguasai-wacana-kesantrian-c8qk , diakses pada 29 Oktober 2018 Pukul 22.00 WIB.
- Koselleck, E.S.E. 2004. The Role and Power of Symbols in The Identity Formation of Community Members. Turki: Department of Sociology, The Graduate School of Social Science of Middle East Technical University.
- Putra, N. P. 2018. Kronologi Pengibaran Bendera HTI di Garut Hingga Berujung Pembakaran. https://www.liputan6.com/news/read/3677100/kronologi-pengibaran-bendera-hti-di-garut-hingga-berujung-pembakaran , diakses pada 28 Oktober 2018 Pukul 21.50 WIB.
- Ritzer, G. 2011. Sociological Theory Eight Edition. United States of America: Mc-Graw Hill.