Hubungan mengenai Islaman dan hubungannya dengan kenegaraan bukan menjadi persoalan baru untuk di perbincangkan, dalil yang berbunyi “baldatun tayibatun warabun gafur” sesungguhnya lebih menunjukan kepada cita- cita nilai Islam yang ingin diwujudkan  dari pada menunjukan tentang Islam dalam wajah kenegaraan. Salah satu hal yang menimbulkan kontroversi berkaitan dengan pemikiran Islam dan negara.

 Kontroversi ini berputar pada masalah asas atau lebih jelasnya struktur negara yang diidealkan. Bahwa Islam adalah simbol yang tidak membeda- bedakan antara urusan agama dan negara secara spektakuler. Persoalan kemudian muncul Ketika tidak menemukan titik temu  antara sistem politik atau negara Islam yang secara praktis menyediakan secara lengkap infra struktur maupun supra struktur formal. Kontroversi ini selalu terjadi dalam diskusi kebangsaan.

disebabkan keruntuhan daripada penjajahan di Barat saat abad 20an Negara-negara Islam Seperti, Turki, Sudan tidak mudah dalam membangun kembali korelasi antara Islam dan kenegaraan. di beberapa negara, terjadi tarik-menarik mengenai Islam dan Kenegaraan baik dari perang pemikiran, hingga aksi-aksi politisasi.

 namun di sebagian besar negara pula Islam memiliki posisi penting, hal ini dapat disebabkan karena persoalan sejarah, maupun disebabkan karena Islam memiliki umat yang banyak di negara tersebut. hingga sampai saat ini, masih banyak ahli- ahli yang mengamati dan mempersoalkan hal tersebut. sesuaikah Islam dengan sistem politik saat ini. di mana pembahasan mengenai kenegaraan menjadi krusial.

Pandangan mengenai kenegaraan dari cendekiawan muslim pada dasarnya akan mengerucut pada satu hal yaitu mengenai tujuan negara itu sendiri. munculnya pemikiran mengenai kenegaraan ini disebabkan oleh keinginan untuk menciptakan negara yang berdaulat serta makmur.

 Abu al-ala al-maudidi mengatakan bahwa Islam merupakan suatu bentuk negara yang sempurna. memiliki seperangkat pengaturan bagi kemaslahatan bagi seluruh Manusia, di dalamnya ada sistem berpolitik. beliau berpendapat bahwa fondasi kenegaraan yang tepat adalah menerapkan yang ada pada masa Al-khulafa Al Rasyidin. dengan menjadikan Islam sebagai acuan konstitusi. (Barsihannor,2013:139-142)

Di negara Indonesia juga ada yang berpendapat sama dengan pemikiran Abu Al-ala yaitu Moh. Natsir beliau mengatakan bahwa Islam dan Kenegaraan merupakan satu kesatuan, Islam tidak hanya membahas persoalan spiritual saja namun Islam juga mengatur pada persoalan sosial-kemasyarakatan. maka sudah sepantasnya sistem yang harus dijalankan di negara Indonesia adalah dengan menggunakan aturan atau hukum Islam. (Ainul Badri.2020:196)

Dari pernyataan tersebut nampaklah bahwa keinginan dari pada Moh. Natsir untuk menjadikan Islam sebagai pangkal sumber- sumber  dalam menjalankan negara Republik Indonesia. Hal ini terbukti saat sidang konstituante sedang berlangsung pada tahun (1956- 1959).

Namun tentunya argument tersebut menimbulkan pro dan kontra salah satu pemikir Islam modern yang kontra pada argumentasi tersebut ialah Nurcholis Madjid. Pada saat Menyajikan Makalah dengan Tema "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Islam Indonesia" di Auditorium Taman Islmai Marzuki Pada tanggal 30 Oktober 1972 (Nurcholis,2011:2).

Dimana Sebagian daripada isi ceramah tersebut merupakan pemikiran terhadap epistemologi Islam, yang dikhususkan pada Kedua hal, yang pertama yaitu pendekatan secara iman berkaitan dengan persoalan individu dan bersifat spiritual, sedangkan yang kedua berkaitan dengan persoalan dunia dari hubungannya dengan lingkungan sekitarnya yang bersifat statis hingga persoalan kemasyarakatan yang dinamis. 

Kedua pendekatan ini akan memberikan hasil yang berbeda, pendekatan iman akan menjadikan individu dalam ibadahnya yang akan berdampak pada personal dan akan menyempurnakan perilaku baik manusia, sementara pendekat duniawi akan menghasilkan amal shaleh.

Kemudian beliau juga mengkritik konsep mengenai kenegaraan. beliau berpendapat bahwa Negara- Islamis merupakan suatu yang apologetik, ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya pemikiran apologetik ini, pertama adalah dikarenakan perlunya mempertahankan khazanah keislaman agar tidak tergerus oleh paradigma barat. 

Sayangnya hal ini tidak didasari pada kajian ilmiah tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu, kemudian yang kedua adalah dikarenakan adanya paham yang disandarkan pada urusan fiqih-isme. pada kenyataannya pada abad modern ini diskursus mengenai fikih sudah kehilangan maknanya dan sudah tidak sesuai untuk menjawab persoalan masyarakat dewasa ini serta akan selalu berubah pada masa dan waktu tertentu.

Negara merupakan gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan agama merupakan personal, keduanya memegang peranan penting dan tentunya saling berkaitan namun tetap dapat dibedakan. 

Suatu negara bila ikut andil dalam masalah keagamaan dan kepercayaan, maka ini tentunya bertentangan dengan dogma agama Islam sendiri di mana tidak mengenal otoritas keagamaan tidak seperti pendeta atau otoritas ulama dalam Islam dalam persoalan kepemimpinan di dalam Islam,

Nurcholis Madjid mengatakan bahwa kerja sama antar masyarakat dengan pemimpin merupakan suatu keniscayaan, sebab pada asalnya terdapat kekuatan dan juga kelemahan sekaligus. Kekuatan diperoleh karena kesucian yang berasal pada diri manusia itu sendiri yang disebut fitrah. Yang menuntun seseorang untuk selalu menuju kepada kebenaran (Hanif).

 Meskipun demikian kelemahan daripada manusia itu  disebabkan diri manusia yang lemah, pendek kata manusia adalah makhluk yang sempit pandangannya, lemah pemikirannya, dan mudah untuk mengeluh. Maka hal ini perlu didukung dengan Kerjasama sesama individu dalam ruang lingkup kemasyarakatan.

Selain itu Nurcholis Madjid mengatakan bahwa syarat pokok bagi seorang pemimpin adalah mampu dalam melakukan dialog dua arah, tidak terkesan menggurui bahkan sampai memprovokasi, maka Susana keterbukaan akan menjadi sebuah keniscayaan, beliau membandingkan seperti kepemimpinan saat orde lama dan orde baru yang kecenderungan dalam memimpin dengan cara diktator. Kepemimpinan ini tidak dapat digunakan pada konteks saat ini atau masa yang akan datang. (Muhammedi, 2017:356)

Dalam ikhwal politik, setidaknya ada tiga hal yang menjadi masalah bagi umat Islam, yaitu satu perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran Islam dengan cara tidak terjebak dalam pemahaman konvensional di dalam Islam, yaitu dengan konsep sekularisasi yang menurut beliau tidak menjurus pada sekularisme.

Dua, perlunya cara berpikir liberal, dengan cara ini umat Islam tidak lagi terkungkung oleh doktrin sehingga dapat membatasi umat Islam untuk mengembangkan wawasan dalam politik, dan ketiga, perlunya sikap terbuka terhadap sesama umat.  Perlunya sikap yang lebih terbuka terhadap umat lain.

Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa konsep Negara di dalam khazanah keislaman adalah sebuah distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sementara agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.

Lebih lanjut ia menyebutkan, memang antara negara dan agama tidak dapat dipisahkan, yaitu terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi (sifat kebatinan iman) dan sikap bernegara melalui individu warga negara. namun antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan metodologinya.

Karena suatu negara tidak mungkin menembus dimensi spiritual guna mengatur dan mengawasi serta mengurus sikap batin warga negara, maka tak mungkin pula memberikan predikat keagamaan pada Negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid bukanlah pendukung politik Islam, ini dibuktikan dengan pernyataannya bahwa Islam bukanlah sistem politik. (Harir Zamharir,2004:98).

Cak Nur mengajak umat muslim untuk sama- sama mempertimbangkan ulang konsep seperti modern, plural, dan sekuler dengan membangun sebuah argumen bahwa sekularisasi merupakan model bangunan yang membebaskan, sementara sekularisme merupakan ideologi yang tertutup yang bila dilihat sama seperti agama baru.

Cak Nur melihat kebanyakan muslim Indonesia memiliki kerangka pikir yang kurang tepat mengenai nilai- nilai. mereka dalam hal beragama tidak bisa membedakan mana nilai- nilai yang profan (tradisi) dan mana nilai yang pagan (ibadah). 

Hal ini lah yang menyebabkan umat Islam Indonesia mencampur adukan Islam dengan tradisi, sehingga membela Islam sama halnya dengan membela tradisinya, hal ini yang membuat muslim tidak mampu dalam menjawab tantangan zaman. (Miftachul Amin, 2019: 102).

Cak Nur sebenarnya dalam mengembangkan pemikirannya bersumber dari isu sosiologi modern mengenai agama. beliau meminjam istilah dari Talcot persson can R. N. Bellah. dalam pandangan Talcot sekularisasi merupakan memerdekakan umat manusia dari pandangan mitos. dalam hal yang demikian ini bukan berarti menghilangkan keyakinannya. sementara Bellah berargumen bahwa memerdekakan umat Islam dari pada mitos-mitos yang ada sebagai akibat dari kalimat tauhid " Tiada tuhan selain Tuhan".

Pada prinsipnya Cak Nur ingin agar negara yang menganut sistem demokrasi liberal (Luthfi Asyaukani, 2011:181) di mana konsep negara sepeti ini memisahkan urusan agama yang bersifat personal dan negara yang bersifat global. Hal ini dikarenakan tidak ada hak bagi negara dalam mengatur bagaimana mengatur warganya dalam menganut keyakinan, dan bagaimana warga dalam menjalankan agamanya.

Dalam hal ini mengambil pernyataan dari Masdar Masdudi bahwa negara tidak mempunyai hak dalam mengatur keyakinan warganya (percaya terhadap Tuhan, percaya terhadap malaikat, percaya terhadap dunia setelah kematian, serta percaya takdir). Dan agama tidak berhak mengatur negara dalam ekonomi, hukum, dan politik. Dalam hal ini beliau mengkritik kinerja dari departemen agama (sekarang Kementerian Agama), dikarenakan negara telah mencampuri urusan agama di mana negara seharusnya tidak memiliki hak dalam mengatur jumlah umat agar dapat dijalankan dan dapat pelayanan serta perlindungan dari negara. (Luthfi Asyaukani, 2011:193)

Kemudian selanjutnya pemikiran yang juga menentang pernyataan Moh. Natsir adalah Munawir Sadzjali. Berkaitan dengan Islam dan hubungannya dengan negara beliau berpendapat bahwa tidak adanya kewajiban secara doktrinal agama bahwa umat Islam wajib mendirikan negara dengan konstitusi keislaman. dikarenakan Islam tidak mempunyai konsep yang ajeg mengenai negara maupun mengenai perpolitikan. 

Adapun dalam literatur fundamental Islam yaitu AL-Quran dan hadist memberikan seperangkat pengaturan etik yang dijadikan sebagai pedoman dalam proses penyelenggaraan negara serta perangkatnya.

Dalam Khasanah pemikiran keislaman, setidaknya terdapat tiga hal mengenai paradigma berhubungan Islam dan negara, yaitu satu, paradigma integralistik, dalam hal ini berpandangan bahwa agama dan negara adalah satu kesatuan (integral). Islam dan negara sungguh tidak dapat dipisahkan wilayah keagamaan merupakan wilayah kenegaraan disebabkan kedaulatan hanya berada ditangan Tuhan (Allah SWT)

Pandangan seperti ini kemudian selanjutnya melahirkan paham mengenai negara agama, di mana dalam praktiknya ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip keagamaan di mana yang menjadi sumber hukum adalah agama. Dua, pandangan simbiotik, yaitu hubungan suatu hubungan yang bersifat timbal balik.

Dalam prinsipnya agama dan negara sama- sama saling membutuhkan karena dengan adanya agama negara akan bermoral dan beretika sedangkan dengan negara maka agama dapat terus berkembang. Tiga, pandangan sekularisme, pandangan ini menolak secara totaliter mengenai hubungan integralistik antara negara dengan agama. Sebagai solusinya maka harus adanya pemisahan antara negara dengan agama dalam praktiknya di Indonesia maka, Islam tidak boleh menjadi dasar dalam mengatur sistem kenegaraan.

Menurut Munawir Sadzjali, setelah menganalisis ketiga pandangan yang berkembang, maka beliau menyimpulkan bahwa pandangan simbiotik dapat mewakili daripada pandangan lainnya di mana tidak secara serta merta aturan agama harus menjadi fondasi dalam mendirikan negara ataupun harunya ada pemisahan antar agama dan negara, namun kedua hal ini saling memberikan manfaat.

Negara dapat diartikan merupakan Organisasi tertinggi dalam sistem kemasyarakatan. memiliki Ideologi yang jelas, memiliki daerah kekuasaan, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat dalam Epistemologi keislaman tidak ada yang namanya Negara Islam.

Namun demikian, Islam sebagai agama mengajarkan budi pekerti luhur, serta banyak nilai- nila serta etika bagaimana seharusnya negara itu dibangun dan dibesarkan.

Tidak ada penjelasan baik dari sumber utama Al-quran serta Hadist yang menjelaskan tentang negara Islam, tetap dalam Al-Quran dan Hadist terdapat ayat- ayat yang membimbing manusia dalam hidup bermasyarakat. Seperti halnya dalam musyawarah, kepatuhan terhadap pemimpin, keadilan, persamaan dan kebebasan dalam beragama.

Konsep mengenai negara Islam tidak pernah ada di dalam agama Islam hanya terdapat seperangat prinsip- prinsip serta tata nilai etika bagi kehidupan masyarakat dan negara seperti halnya yang terdapat di dalam isi Al- Quran yang bersifat fleksibel dalam pelaksananya tentunya dengan memperhatikan kondisi sosial dari suatu waktu ke waktu yang lain serta dengan suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Dalam hal yang demikian ini Munawir menganalogikannya seperti piagam Madinah di mana tidak ada di dalam piagam tersebut berkaitan dengan negara Islam Berdasarkan pandangannya tersebut maka tidak ada konsep mengenai negara Islam namun demikian meskipun Islam tidak pernah mengenal konsep baku mengenai negara Islam, Islam tetap memberikan seperangkat nilai seperti keadilan, persamaan, dan persaudaraan.

Adalah merupakan pengejawantahan secara substantif mengenai nilai- bilai Islam, sebagai mana dicontohkan Muhammad ﷺ. Memperjuangkan Islam sebagai dasar negara untuk orang atau kelompok Islam dalam terjun ke dunia politik adalah salah, dalam pandangannya beliau mengatakan “  Indonesia secara bertahap berkembang menjadi sebuah negara yang beragama (religious state), yaitu sebuah negara yang memperhatikan implementasi.