Keberadaan kata "dan" pada judul sengaja diberikan untuk memisahkan keduanya, padahal tidaklah demikian. penggunaan kata tersebut juga sekaligus mewakili pandangan sebagian umat muslim / non muslim yang membedakan keduanya. Dikotomi antara keduanya, pada akhirnya berdampak pada semangat serta kemauan kaum muslimin dalam meningkatkan potensi intelektual dan juga potensi spiritual. 

Terdapat cara pandang yang berbeda bagi kubu-kubu di atas, Bagi yang mengedepankan Pengetahuan, mereka akan memandang sebelah mata bahkan menutup mata sisi spiritual, begitu Juga sebaliknya bagi yang mengedepankan spiritual, mereka memandang rendah Pengetahuan, bahkan kadang berujung alergi — merasa risih ketika ada yang menyebut konsep ilmu pengetahuan, kosakata ilmiah atau nama seorang tokoh akademik.

Dampak ini akan meluas sampai pada berbagai sektor, misalnya dalam penegakan hukum ; para penegak hukum yang kecerdasan dan kesadaran spiritual nya lemah itu berpotensi dan beberapa kali berujung pada tindakan amoral — korupsi, Suap, dll. 

Kemudian dampak dari orang yang hanya mengedepankan spiritual dan memandang rendah, bahkan enggan untuk mengetahui dunia ilmu pengetahuan, sejatinya mereka hanya ikut memperpanjang barisan yang menjadi penyebab mundurnya serta kurangnya pengaruh Agama Islam dalam dunia ilmu pengetahuan, padahal Islam merupakan agama yang universal – yang meliputi segala hal – memberikan jawaban atas setiap pertanyaan dan menjadi solusi atas setiap persoalan.

Pemisahan antar keduanya, menurut penulis bermula juga pada beragam nya sumber-sumber pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan ini kemudian menimbulkan persepsi yang “membedakan sesuatu yang dihasilkan” dari sumber-sumber tersebut.

Dalam pendekatan epistemologi, terdapat pembahasan mengenai “sumber” serta “alat” yang digunakan dalam pembahasan mengenai “Pengetahuan”. Beberapa sumber diantaranya seperti Akal dan Pengalaman, dalam pendekatan epistemologi islam terdapat sumber lainnya yakni pendekatan Intuisi dan juga teks sakral (Baca: Ayat Suci), secara sekilas jika melihat ini, persepsi yang muncul ialah adanya perbedaan diantara sumber-sumber tersebut.

Menurut penulis tidaklah demikian, sebab layaknya sebuah mata air, tentunya ada sesuatu yang berada dibalik mata air tersebut – yang terlihat oleh panca indera hanyalah tampak luar nya, namun bukan substansi nya, demikian juga sumber pengetahuan tersebut. sumber-sumber yang telah disebutkan tersebut layaknya sebuah mata air, hanya sebagai tempat keluarnya air namun bukan yang mengeluarkan air. 

Oleh sebab itu, Dengan Berpijak pada epistemologi islam, sumber yang sebenarnya ialah Tuhan alam semesta (Allah SWT) – yang juga sebagai penyebab adanya entitas-entitas di alam semesta. Itu sebabnya semua hanya akan bersumber pada satu yakni Tuhan – sebagai sumber dari Ilmu pengetahuan. 

Sumber-sumber yang disusun secara konseptual tersebut, menurut hemat penulis merupakan upaya untuk mempermudah manusia dalam melacak asal-usul pengetahuan, namun bukan dalam pengertian sumber yang sebenarnya. Sebab jika sumber dalam pengertian sebenarnya haruslah setiap orang akan secara otomatis mendapatkan sesuatu dari sumber tersebut, misalnya orang yang mencari air dan bertemu dengan mata air (sumber), pastilah dapat secara langsung mengambil air tersebut.

Berbeda dengan ilmu pengetahuan, seseorang tak akan secara langsung mendapatkan pemahaman dari hanya membaca buku, karena kosakata yang tak dipahaminya atau faktor lainnya, kemudian contoh lainnya, jika memang akal merupakan sumber sebenarnya layaknya mata air, maka seharusnya semua manusia memahami segalanya atau dalam pengertian lain memiliki pengetahuan dalam segala hal, tapi pada fakta nya tidaklah demikian, hanya orang-orang yang tekun – yang memaksimalkan potensi akalnya dalam bidang tertentu yang dapat memiliki pemahaman yang jauh berbeda dengan orang biasa, para Ilmuan, Filsuf maupun Akademisi merupakan contoh orang-orang yang memaksimalkan potensi akal mereka. 

Penjelasan ini memberikan pemahaman yang baru bahwa terdapat faktor lain yang menyebabkan datangnya pemahaman kepada seseorang, bukan melalui sumber-sumber tersebut, melainkan seperti yang dimaksud penulis pada uraian paragraf sebelumnya.

Penjelasan di atas secara implisit menjelaskan bahwa terdapat konsep yang dapat mempertemukan agama dan ilmu pengetahuan, yakni ketidakterpisahan. Sebab ilmu pengetahuan merupakan bagian dari agama, selama pemaknaan agama tak didefinisikan dalam pemaknaan yang sempit – bahwa agama hanya dimaknai hanya dalam aktivitas ritual keagamaan semata.

Penulis lebih condong untuk menggunakan definisi agama (islam) yang diuraikan dalam buku “Tuhan Maha Asyik 2” yang ditulis oleh Sudjiwo Tedjo dan Dr.Nursamad Kamba, sebab definisi dalam buku tersebut melingkupi salah satu ciri dari agama islam yakni universal. dalam buku tersebut dijelaskan bahwa “Agama merupakan aktivitas keilahian yang menuntun pada kebaikan”, penjelasan ini sangat menggambarkan betapa luasnya agama (islam) sehingga meliputi segalanya. 

Berpijak pada konsep tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa sesungguhnya para ilmuan yang menghabiskan waktu di laboratorium atau para penulis yang menghabiskan waktu di perpustakaan, itu juga merupakan aktivitas keagamaan.

Bahwa ada runtutan yang jika ditelusuri maka akan ketemu akhir dari perjalanan kehidupan manusia yakni Keabadian. seluruh entitas alam semesta ini sejatinya dalam proses menuju-NYA. 

Menurut penulis bahwa semua hal yang baik – meliputi proses dan hasil itu bersumber pada agama – sumbernya agama adalah Kitab Suci, dan kitab suci merupakan firman tuhan, maka setiap aktivitas kebaikan yang menghasilkan kebaikan pula, sejatinya merupakan bagian dari Agama atau dengan pengertian lain aktivitas tersebut merupakan aktivitas keagamaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan bagian dari Agama itu sendiri.

dalam pendekatan sufistik, pada hakikatnya bahwa ilmu pengetahuan merupakan bagian dari tuhan itu sendiri, sebab yang berilmu hanyalah pemilik ilmu yakni Tuhan (Allah SWT), Ilmu itu sendiri juga merupakan salah satu asmaulhusna yakni “Al-Alimu yang artinya Yang Maha Mengetahui” dan juga merupakan salah satu sifat Tuhan yakni “Aliman ; Maha Mengetahui”, dan pengatahuan-NYA tentunya tak terbatas, dipertegas dengan jelas dalam Surat An-Nisa' Ayat 126  “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan (pengetahuan) Allah meliputi segala sesuatu”.

Kesimpulannya ialah setiap hal yang terjadi di alam semesta ini tak luput dari perbuatan Tuhan, hal ini dibahasakan di dalam AL-Quran dengan sangat indah pada Surat Al-Baqarah Ayat 115  “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”. oleh sebab itu tidak ada keterpisahan antara Agama dan Ilmu Pengetahuan,  sebab Agama meliputi segalanya. Pandangan yang memisahkan keduanya, sejatinya telah membatasi ruang lingkup agama dan sama saja beranggapan bahwa kekuasaan Allah SWT itu terbatas.