Dunia saat ini sedang mengalami masalah serius sehubungan dengan invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. Invasi ini bisa dibilang sebagai fase terburuk dari gejolak kedua negara yang tak kunjung membaik semenjak beberapa tahun terakhir. Perdagangan dunia, sektor yang belum benar-benar pulih dari pandemi, juga terpengaruh oleh konflik kedua negara ini. Berbagai macam sanksi pun sudah diumumkan oleh negara-negara Barat.
Peran dan Kondisi Kedua Negara
Rusia dan Ukraina punya peran penting di sektor minyak dan gas alam. Rusia adalah pemasok utama sektor ini bagi Uni Eropa. Meski sudah mengalami penurunan, sekitar 40% dari impor gas alam Uni Eropa berasal dari Rusia (Horton et al, 2022). Sanksi mengenai larangan impor gas alam Rusia, ditambah sikap Uni Eropa yang berencana mengurangi angka impor sebesar 66%, tentu berdampak pada kenaikan harga energi yang sejauh ini telah mengalami lonjakan drastis.
Sementara itu, peran Ukraina dan Rusia di Eropa bisa dibilang cukup krusial pada sektor pangan. Komoditas ekspor terbesar di Ukraina adalah sereal, termasuk gandum, yang pada 2020 menyentuh nilai perdagangan di 9.42 miliar dolar dan setara dengan 19% dari total ekspor negara (Trading Economics, 2021). Ukraina juga salah satu produsen jagung terbesar yang mana tahun lalu mampu menggantikan Amerika Serikat sebagai eksportir jagung ke Cina (Tan, 2022).
Saat ini, puluhan sanksi internasional sudah dialamatkan kepada Rusia. Pada sektor rantai pasok, misalnya, salah satu sanksi yang cukup memberatkan adalah larangan terhadap perusahaan-perusahaan negara Uni Eropa untuk melakukan bisnis dengan Novorossiysk Commercial Sea Port, operator pelabuhan komersial utama milik pemerintah yang mengoperasikan Pelabuhan Novorossiysk, Pelabuhan Primorsk, dan Pelabuhan Baltiysk.
Sejumlah perusahaan internasional juga telah memutus hubungan kerjasama dengan Rusia. Tiga perusahaan pengiriman terbesar di Uni Eropa seperti MSC, Maersk, dan CMA CGM), misalnya telah mengumumkan penghentian pengiriman kontainer dari dan ke Rusia.
Keputusan ini juga diikuti oleh Ocean Network Express yang berpusat di Singapura dan Hapag Lloyd dari Jerman. Selain itu, kapal-kapal Rusia juga dilarang bersandar di pelabuhan-pelabuhan Eropa.
Kondisi ini jelas menyebabkan ketidakseimbangan di pasar.. Kenaikan harga pengiriman kontainer, yang sebenarnya sudah mengalami kenaikan akibat pandemi, diprediksi akan terjadi. Disrupsi apapun pada rantai pasok dan harga energi pasti akan memiliki dampak pada harga barang di pasar mengingat satu sektor dan sektor lain memiliki keterkaitan.
Dampak Global
Konflik kedua negara ini jelas mempengaruhi kenaikan harga energi mengingat peran Rusia sangat besar dalam sektor minyak dan gas. Negara-negara Eropa yang sangat bergantung pada energi dari Rusia tentu sangat merasakan dampaknya. Disrupsi ini memaksa sebagian besar perusahaan di Eropa, seperti Jerman—yang selama ini mengimpor energi dari Rusia—berpikir serius mencari jalan keluar untuk menjaga kelancaran proses produksi dan distribusi dalam rantai pasok.
Fakta bahwa komoditas ekspor terbesar Ukraina ke-5 adalah peralatan listrik dan elektronik mungkin akan memperburuk situasi ini.
Hasilnya, pabrik-pabrik tersebut bisa saja mengurangi kuantitas produksinya atau bahkan memberlakukan kenaikan harga pada hasil produksinya dan biaya pengiriman.
Bersama dengan Ukraina, Rusia menjadi merupakan negara eksportir gandum terbesar di dunia. Kedua negara berkontribusi kurang lebih 29% dari total ekspor gandum dunia (Tan, 2022). Invasi yang dilakukan Rusia dari arah selatan berdampak pada disrupsi rantai pasok pelabuhan-pelabuhan yang berada di sekitarnya.
Padahal, pelabuhan-pelabuhan Ukraina di sekitar Laut Hitam ini memiliki peran yang vital dalam perdagangan gandum.
Perlu diingat bahwa Ukraina adalah salah satu produsen utama fertilizer, material penting dengan kandungan gas yang digunakan untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman, termasuk gandum.
Kenaikan harga fertilizer yang cukup tinggi bisa berdampak pada kenaikan harga produk makanan dan di lain pihak dapat menyebabkan produk makanan dibatasi oleh pelaku bisnis. Seperti domino effect, naiknya harga energi juga berpengaruh pada kenaikan produk-produk agrikultur, termasuk urusan pakan ternak.
Dampak terhadap Indonesia: Gandum dan Jagung
Efek konflik ini pada sektor perdagangan tidak hanya akan dirasakan oleh negara-negara Eropa, namun situasi ini juga berdampak pada negara-negara di kawasan lain termasuk Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. Bahkan, efek yang dirasakan oleh negara-negara di luar Eropa justru bisa jauh lebih parah mengingat perbedaan jarak yang signifikan. Tulisan ini fokus pada 2 (dua) komoditas bahan pangan yakni gandum dan jagung.
Secara umum, Rusia dan Ukraina sama-sama memiliki hubungan dagang dengan Indonesia, termasuk dalam beberapa komoditas bahan pangan tertentu. Bagi Indonesia, salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah kenaikan harga gandum.
Indonesia selalu mengimpor gandum dari Ukraina dan Rusia, di mana akumulasi impor gandum dari kedua negara ini tercatat sebagai yang terbanyak dari negara lain pada rentang waktu 2018-2020 (Anwar, 2022). Pada tahun 2018, Indonesia mengimpor 1,22 juta ton gandum dari Rusia dan 2,4 juta ton dari Ukraina.
Angka terbesar masih dipegang Australia di mana 4,48 juta ton gandum, 40.5% dari total volume impor gandum nasional, telah diimpor ke Indonesia di 2021. Angka impor dari Ukraina masih relatif lebih rendah dengan 26.8% atau sekitar 3,07 juta ton pada tahun yang sama (Arief, 2022).
Sekitar 60 kontainer yang berisi kurang lebih 1.200 ton gandum dilaporkan masih tertahan imbas invasi ini (Arief, 2022). Dampak untuk saat ini bisa dibilang masih belum signifikan. Apabila konflik tidak berlangsung lama, dampak ke harga energi maupun gandum dan beberapa bahan pokok lainnya akan tidak terlalu terasa.
Bagaimanapun itu, rasanya pelaku bisnis perlu memikirkan berbagai opsi lain demi memenuhi kebutuhan gandum tanah air. Ketua GAPMMI, Adhi S Lukman, mengatakan bahwa pelaku usaha sudah mulai berkomunikasi dengan supplier lain (Ranggasari, 2022). Australia, sebagai importir gandum terbesar ke Indonesia, bisa dipertimbangkan sebagai salah satu opsi utama sebelum negara-negara potensial lainnya seperti Brasil, Argentina, Kanada, dan India.
Pada komoditas bahan pangan lain, fakta bahwa Indonesia memiliki angka jagung lokal yang cukup besar menghasilkan suatu perspektif menarik mengenai dampak konflik terhadap komoditas jagung. Pada tahun 2021, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi jagung nasional mencapai 15,79 juta ton, 1,42 juta ton di atas angka kebutuhan jagung setahun untuk pakan, konsumsi, dan industri pangan (Gunawan, 2022).
Dengan naiknya harga jagung di pasar global dikarenakan supply yang mengalami penurunan akibat dampak dari invasi Rusia, ditakutkan bahwa petani lokal akan memutuskan untuk fokus pada pasar global dengan meng-ekspor produk-produknya (Emeria, 2022). Hal ini sedikit banyak bisa menyebabkan disrupsi pada ketersediaan pasokan jagung di pasar lokal.
Demi mencegah hal ini, regulasi seperti kenaikan pajak dan bea ekspor bisa dibilang penting untuk dikeluarkan oleh Kemendag. Dengan regulasi itu, diharapkan petani jagung akan lebih tertarik untuk tetap menjual produknya ke pasar dalam negeri di mana keuntungan yang akan didapat justru lebih besar daripada dijual ke luar.
Efek yang dirasakan perdagangan dunia karena invasi ini bisa saja semakin memburuk apabila konflik kedua negara ini tidak kunjung menemukan titik terang. Hingga saat ini, kita tahu bahwa negara-negara Barat mulai memberikan sanksi yang lebih parah. Kondisi ini jelas sangat memengaruhi alur pergerakan barang.
Komoditas energi, terutama minyak dan gas, serta gandum adalah dua komoditas utama yang tiap disrupsi nya akan memiliki dampak ke negara-negara importir, termasuk Indonesia.
Kenaikan harga minyak bisa dibilang sebagai concern utama yang perlu selalu diperhatikan sebagai salah satu dampak invasi ini mengingat perubahan harga di komoditas tersebut akan sangat mempengaruhi sektor lainnya termasuk memantik kenaikan ongkos pengiriman dan produksi serta kenaikan harga di pasar.