Kehidupan manusia di dunia ini sangat niscaya dengan perubahan. Perubahan itu mencakup berbagai hal dan disebabkan oleh beragam faktor. Manusia sebagai makhluk yang memiliki daya mencipta, diberikan kemampuan untuk melakukan perubahan itu, membuat hal-hal baru. Daya kreativitas itu hadir dalam bentuk inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang kita rasakan saat ini.
Apa yang kita saksikan saat ini, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kian pesatnya, adalah salah satu buktinya. Penemuan yang cukup ramai menjadi perbincangan, misalnya, di Maryland, AS, seorang dokter yang berhasil mencangkokkan jantung babi ke tubuh manusia.
Transplantasi jantung babi ke tubuh manusia yang dipimpin oleh Bartley P Griffith itu menjadi yang pertama dalam sejarah perkembangan ilmu kedokteran dan kesehatan. Tentu ada pro dan kontra menyertainya, tetapi hal itu terbukti bisa dilakukan.
Inovasi lainnya yang pelan tapi pasti kita rasakan, misalnya, perkembangan teknologi dalam bidang ekonomi. Kini, tak bisa dimungkiri lagi kehidupan kita memasuki fase digitalisasi yang begitu cepat. Untuk urusan transaksi jual-beli kini sangat dimudahkan dengan adanya sistem cashless (nontunai). Berbelanja di e-commerce (niaga-el) dan marketplace (lokapasar) kini telah jadi hal lumrah belaka.
Inovasi di bidang ini selain memudahkan juga membuka lapangan kerja baru, sehingga banyak orang ikut terlibat dan merasakan manfaatnya. Banyak peran dan harapan masyarakat yang kembali dihidupkan.
Sementara itu, bila kita berbicara tentang perkembangan teknologi informasi, tentu saja kita tengah gencar dan gandrung dengan hal ini. Bagaimana kehadiran manusia di media sosial hari ini begitu terasa penting, sebab di jagat maya kita masuk dalam digital society alias komunitas digital.
Di ruang-ruang maya, seperti media sosial dan media daring—yang terbaru metaverse, itulah kini kita bisa hadir membawakan berbagai informasi layaknya di dunia nyata. Mulai dari informasi penting dan edukatif sampai hal-hal sepele yang tidak bermakna sekalipun. Mirip di dunia nyata, kan?
Nah, merenungi perkembangan-perkembangan ini, sudah semestinya hal ini menjadi jalan bagi kita menghadirkan inovasi dalam melakukan dakwah. Dakwah kreatif tentu bukan pula sebuah hal yang teramat baru bagi kita. Dakwah secara masif dengan menghadirkan konten-konten kekinian dapat dipilih untuk memenuhi jagat digital sekarang ini. Para pegiat dakwah perlu melakukan inovasi, pembaruan tidak hanya dalam pemikiran, tapi juga cara penyampaian.
Salah satu pegiat dakwah kreatif di media sosial yang cukup mencuri perhatian publik adalah Habib Husein Ja’far Al Hadar. Habib Ja’far Al Hadar bisa dikatakan berbeda dengan habib-habib lainnya yang kita kenal. Pertama, dia merupakan penulis yang produktif. Buku-bukunya membahas tema spiritualitas maupun keagamaan hingga isu-isu kekinian dengan gaya bahasa yang populer. Contohnya saja buku bertajuk Menyegarkan Islam Kita dan Tuhan Ada di Hatimu. Ini tentu ngena banget bagi kalangan millennial.
Kedua, Habib Husein Ja’far juga aktif membuat konten di Instagram maupun Youtube. Konten-kontennya di Youtube Channel Jeda Nulis misalnya yang hadir dengan ala-ala kekinian. Bahkan, sang habib tidak sungkan untuk colabs (berkolaborasi) dengan para kreator konten lainnya. Misalnya, Tretan Muslim dan Coki Pardede. Konten paling populer dari mereka bertiga adalah Pemuda Tersesat.
Dalam konten tersebut sang habib yang kece itu bakal diberondong pertanyaan-pertanyaan yang kadang nyeleneh, tapi dijawab dengan serius dan dalam oleh sang habib. Ini salah satu contoh saja, bagaimana membuat anak-anak muda kemudian tertarik dan menonton tausiyah santai yang disampaikan sang habib.
Ketiga, Habib Husein menyatukan humor dan dakwah. Canda dan humor yang dihadirkan Habib Husein Ja’far dan kroni-kroninya itu berhasil memberikan warna dakwah Islam yang tidak kaku, toleran, argumentatif, kontemplatif, sekaligus menghibur.
Di sini, kita bisa mengambil hikmah bagaimana sesuatu yang serius dan kerap disampaikan secara kaku itu, ternyata bisa juga dihadirkan dengan wajah yang santai dan penuh keakraban. Untuk kalangan masyarakat tertentu, dakwah semacam ini lebih mengena dibanding mendengarkan ceramah berjam-jam.
Keempat, poin berikutnya yang menjadi catatan kita adalah Islam merupakan agama yang terbuka terhadap inovasi dan perkembangan zaman. Maka tidak salah bila ada ungkapan Islam adalah shalih likulli zaman wa makan (relevan dengan segala waktu dan tempat).
Kesesuaian itu tentu saja kembali kepada bagaimana kita menafsirkannya, bagaimana kita memahami, dan mempraktikkannya. Apa yang dilakukan Habib Husein Ja’far Al Hadar adalah bagian dari wajah Islam yang maju, terbuka, dan inovatif.
Kelima, yang disasar oleh Habib Husein Ja’far juga tidak hanya konten atau viewer saja. Ia dan Yayasan Pemuda Tersesat yang ia dirikan pun bergerak dalam melakukan aksi-aksi sosial. Satu poin lagi yang mesti kita garisi stabilo.
Bagaimana dakwah berbasis komunitas atau dakwah kultural ini menjadi strategi yang cukup efektif di masyarakat kita. Bagaimana penyampaian dakwah secara lisan atau tanya jawab memang menjadi solusi bagi beberapa persoalan, tetapi kembali lagi hal itu saja tidak cukup. Perlu adanya aksi nyata, menghadirkan Islam ke ruang publik, ke tengah masyarakat. Aksi-aksi semacam itu dapat memberikan harapan baru bagi masyarakat yang membutuhkan.
Terakhir, kreasi konten dakwah di jagat digital menjadi poin penting, bagaimana aktivis-aktivis Muslim hari ini tidak hanya berkutat dengan hal-hal viral saja. Tetapi juga memikirkan bagaimana langkah-langkah strategis dalam menebarkan spirit keagamaan di tengah kehidupan manusia dan semesta.