Indonesia, negara yang dilandasi oleh nilai-nilai baik Pancasila masih saja mengandung ketakutan warga negara minoritas. Beberapa golongan minoritas merasa takut dalam melakukan ibadah. Belum lama ini, Jamaah Ahmadiyah di Depok tak bisa melakukan ibadah di masjid Al Hidayah Sawangan sebab oleh penyegelan yang dilakukan Walikota Depok, Mohamad Idris, Kapolresta Depok, Dandim, MUI, dan FKUB pada tanggal 2 Juni 2017.
Banyak korban telah jatuh pula akibat dari kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Mengerikan kalau harus disebut banal, namun kekerasan atas nama agama seperti sudah dikenal intim di masyarakat Indonesia. Tak hanya intimidasi halus, persekusi juga belakangan marak dilakukan atas nama pembelaan terhadap ulama dan agama. Kelompok pelaku—yang sebagian kini sudah dalam penanganan Polri—berasal dari individu-individu yang diikat bersama oleh kesamaan atau kemiripan simbol-simbol keagamaan.
Yudi Latif dalam Tuhan pun Tidak Partisan menyebutkan bahwa di Indonesia, gerak kelompok Islam berlangsung berdasarkan persepsi sejumlah besar individu. Mereka merasa bahwa diri mereka merupakan anggota dari kolektivitas politik yang didefinisikan oleh identitas keagamaan. Sejumlah individu memandang bahwa kepentingan personal mereka secara signifikan terkait dengan kesejahteraan komunitas agamanya, kemudian dua hal tersebut berbenturan dengan kepentingan kelompok lain.
Dari persekusi hingga sweeping Ramadan, kelompok berlabel Islam mengklaim melakukan jihad dengan memerangi hal-hal yang mereka anggap bernilai negatif dan penuh dosa. FPI, misalnya dengan gamblang membawa nama sebuah agama monoteis besar dunia—menanggung sebuah stereotipe sebagai perusak. Nama kelompok tersebut dikecam di mana-mana oleh mereka yang menjunjung hak asasi manusia, serta para pasifis.
Di mata masyarakat awam—baik Muslim maupun non-Muslim—Islam dipandang sebagai agama jihad yang memerangi banyak hal, tidak hanya terhadap masyarakat non-Muslim, tetapi bahkan juga terhadap sesama Muslim (contohnya pemerangan terhadap aliran Syiah dan Ahmadiyah). Masyarakat awam pun bertanya, bagaimana sesungguhnya Islam berbicara mengenai ruang publik?
Ihwal kemasyarakatan, kita mungkin bisa mencoba melihat Islam melalui sosok Muhammad. Mempelajari Muhammad memang tidak sama dengan mempelajari Islam, bahkan bisa dibilang akan mereduksi Islam. Bagaimanapun, Muhammad “hanyalah” sosok penerima dan penyampai wahyu Allah. Tetapi paling tidak, di mata awam, apalagi mereka yang mengetahui sejarah agama Islam, Muhammad dikenal sebagai representasi dari agama Islam.
Sebagai Rasul terakhir, Muhammad menjadi teladan bagi umat. Maka dalam pembacaan terhadap karakter Muhammad melalui Muhammad Prophet for Our Time (selanjutnya disebut ‘Muhammad’ dengan cetak miring) karya Karen Armstrong, secara selintas terlihat ironi yang mendalam dan fundamental tentang teladan yang diberikan Muhammad dengan tindak-tanduk stereotipe kelompok Islam kebanyakan di Indonesia.
Di bab empat buku Muhammad berjudul Jihad, banyak dijelaskan mengenai politik sebagai salah satu aspek hidup beragama. Di bagian itu, banyak ditemukan hal ideologis maupun praktis yang berbeda dengan apa yang bisa ditemui dalam realitas sehari-hari zaman ini—ketika simbol Islam banyak digunakan pihak tertentu untuk memobilisasi massa, melahirkan sikap dan tindakan oposisi terhadap lawan atau musuh dari komunitas yang berbeda.
Islam menganjurkan banyak hal dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa di antaranya adalah hal-hal yang amat sederhana. Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk selalu mengucapkan “Assalamualaikum” kepada kafirun, serta tidak menyerang mereka ketika sedang menjalankan bisnis mereka. Dewasa ini, kesopanan yang dianjurkan Al-Quran sebagai sumber utama Agama Islam, seolah-olah telah digantikan dengan dogma baru yang mengesampingkan perdamaian antar-golongan.
Banyak Muslim menolak sama sekali untuk berinteraksi dengan non-Muslim, beberapa bahkan mengatakan bahwa darah kafir adalah halal! Selain itu, Ramadan ini di Bogor, ada larangan pengoperasian rumah makan. Pelarangan itu juga sesungguhnya bentuk intimidasi halus yang parahnya lagi sudah diinstitusionalisasikan. Kita tak dapat menjamin tidak akan terjadi persekusi akibat dari pelarangan itu, bukan? Beberapa kalangan Muslim menyebut hal itu sebagai sebuah upaya jihad.
Jihad—dalam arti peperangan—di zaman Muhammad memang satu hal yang biasa dilakukan. Muhammad sendiri berkali-kali bergabung di medan perang. Tetapi, perang-perang yang dijalankan oleh Muhammad ketika itu berbeda secara ideologis dengan banalitas kekerasan atas nama agama di zaman ini. Dalam Al-Quran, pembelaan diri merupakan satu-satunya pembenaran yang mungkin untuk permusuhan, sedangkan serangan yang mendahului merupakan tindakan yang dicela.
Perlu diketahui bahwa Madinah, kota yang dibangun Muhammad waktu itu merupakan sebuah entitas politik berdasarkan pengertian tentang negara-bangsa (nation-state), yaitu negara untuk seluruh umat atau warga negara, demi maslahat bersama (common good). Indonesia, secara umum memiliki landasan yang sama dengan Madinah. Hal tersebut tercermin dalam Pancasila, bahwa Indonesia menjamin keadilan sosial.
Dalam menjamin keadilan sosial, idealnya nilai-nilai keagamaan menjadi landasan etis bagi pengelolaan ruang publik. Namun faktanya, di Indonesia, masih ada keterancaman minoritas. Kelompok tertentu yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, diperangi tanpa mendahulukan sesi duduk bersama dan mencoba menyelesaikan masalah seperti yang biasa dilakukan Muhammad.
Maka, demi kepentingan sebuah bangsa multikultur, sebetulnya kelompok-kelompok agama harus memiliki pemahaman yang jernih. Harus ada pembedaan yang tegas antara persoalan privat-komunitas dari agama dan mana persoalan publik dari agama. Kapan keduanya bisa berbeda, serta kapan keduanya harus bersatu.