Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). keputusan itu diambil melalui sidang paripurna yang digelar pada Selasa, 6 Desember 2022.
Sebelumnya, RKUHP yang disahkan itu mengalami banyak kecaman dari berbagai pihak, sebut saja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor. Bagi mereka RKUHP saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif.
Apabila masih dipaksakan, paradigma hukum yang demikian akan memunculkan satu masalah besar, yaitu ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat. Hal itu terlihat dalam muatan-muatan pasal anti demokrasi yang masih dipaksakan (YLBHI, 2022).
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa dalam KUHP yang baru tersebut, masih saja terdapat isu-isu kontroversial. Isu-isu tersebut ialah penghinaan kepada pemerintah atau lembaga negara, penghinaan kepada presiden dan wakil presiden, demonstrasi tak boleh onar, pers dan berita yang dianggap bohong, larangan penyebaran paham selain Pancasila, dan sebagainya (narasi, 2022)
Tetapi, sebelum sampai pada pembahasan penting bagi penulis untuk menyampaikan bahwa dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas berkaitan dengan upaya judicial review KUHP jika dibawa ke Mahkamah Konstitusi, sebagaimana disampaikan oleh Menkumham Yasonna H. Laoly bahwa “Perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya nanti (masih ada kontra, red), saya mohon ‘gugat’ saja di MK lebih elegan caranya” (hukumonline, 2022).
Mahkamah Konstitusi
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) melahirkan satu lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (Huda, 2016: 212).
secara historis, mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri lahir dikarenakan kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar kenamaan dari Universitas Wina yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama "Verfassungsgerichtshoft‟ atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria (Jimly dalam Johansyah, 2019: 95-96).
Bagi Kelsen kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan undang-undang.
Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi.
Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku.
Dengan dasar itulah sehingga MK memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, di samping kewenangan lainnya seperti memutus sengketa kewenangan lembaga lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menurut data yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2022) terhitung dari semenjak MK dibentuk pada tahun 2003 hingga sekarang, terdapat 1621 permohonan yang teregistrasi, 294 diantaranya dikabulkan, 592 ditolak, 505 tidak diterima, 165 ditarik kembali, 25 yang gugur, dan 14 dinyatakan tidak berwenang.
Dari data tersebut, terdapat suatu putusan yang cukup menarik untuk dilihat dan hubungannya dengan independensi Mahkamah Konstitusi yang dimaksud dalam tulisan ini, yaitu Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021 berkaitan dengan status UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan ‘inkonstitusional bersyarat’ karena dianggap cacat secara formal.
Masihkah MK Menjadi Harapan?
Pada 29 September 2022, salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto dicopot dari posisinya sebagai hakim oleh DPR RI. Penghentian Aswanto ini dilakukan berdasarkan rapat paripurna DPR RI yang menindaklanjuti keputusan hasil rapat Komisi III DPR RI.
Dalam rapat tersebut, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menanyakan kepada peserta rapat tentang persetujuan untuk tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto dan kemudian diamine oleh mayoritas fraksi.
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto menyatakan penggantian Aswanto ini dikarenakan kinerja Aswanto yang mengecewakan. Aswanto sebagai hakim Konstitusi usulan DPR RI dinilai kerap menganulir undang-undang produk DPR RI di MK. Yang paling kentara, terlihat pada dianulirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aswanto bersama dengan empat hakim konstitusi lainnya menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (LBH Jakarta, 2022).
Padahal, telah dinyatakan secara tegas dalam UU MK pasal 23 ayat (4) bahwa pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Alasannya telah tertera pada pasal 23 ayat (1) dan (2) bahwa pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan diantaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani.
Kemudian, pemberhentian secara tidak hormat dilakukan apabila hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan inkracht pengadilan, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat MK memberi putusan, rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, serta melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi.
Dengan kondisi yang demikian, penulis merasa bahwa sangatlah tipis harapan untuk menggagalkan pemberlakuan RKUHP yang telah disahkan menjadi KUHP itu melalui Mahkamah Konstitusi. Alasannya sederhana sebagaimana disampaikan oleh seorang Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti bahwa hakim MK dibayang-bayangi pemecatan jika putusan tak sesuai dengan kehendak pemerintah dan DPR.