Miskonsepsi dan labelling terhadap jurusan IPA dan IPS
Sebelum memasuki pendidikan yang lebih lanjut ke jenjang perkuliahan, pasti kita semua tentu saja melewati masa-masa SMA terlebih dahulu. Masa SMA sendiri adalah masa di mana kita harus mulai memilih jurusan yang sesuai dengan bidang minat kita. Jurusan yang umumnya dijadikan pilihan dan sering menjadi perdebatan sendiri adalah pemilihan jurusan IPA dan IPS.
Perdebatan atas kedua jurusan ini timbul karena adanya pola pikir masyarakat yang cenderung “kolot” hingga perasaan gengsi yang timbul dari kalangan orang tua. Pola pikir ini sendiri timbul karena adanya pandangan masyarakat bahwa jurusan IPA lebih bergengsi dan unggul dibandingkan dengan jurusan IPS.
Hal ini sendiri timbul dari pandangan serta pola pikir mereka bahwa anak-anak yang berasal dari jurusan IPA adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan lebih dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari jurusan IPS yang telah dicap sebagai anak yang pemalas dan cenderung nakal.
Miskonsepsi akan hal ini sendiri terus ada dari waktu ke waktu hingga saat ini. Hal ini pun secara tidak disadari membentuk pelabelan tersendiri terhadap jurusan IPA dan IPS. Sehingga anak-anak yang memiliki nilai akademik bagus cenderung dituntut untuk masuk ke jurusan IPA yang dianggap lebih istimewa oleh orang tuanya.
Padahal, mungkin sebenarnya mereka memiliki ketertarikan terhadap hal-hal yang berada di luar lingkup pelajaran IPA, seperti hal-hal yang berbau sosial yang ada dalam pelajaran IPS.
Adanya miskonsepsi yang menciptakan labelling akan hal ini sendiri terkadang dapat membuat anak-anak kurang percaya diri akan jurusan yang ia pilih, karena timbulnya rasa gengsi dan malu apabila tidak dapat memenuhi standar yang ada pada kalangan masyarakat.
Sehingga anak yang awalnya memiliki ketertarikan pada jurusan IPS akan lebih memilih jurusan IPA yang sebenarnya bukan minat dan bakatnya. Hal ini sendiri timbul karena adanya perasaan gengsi yang tidak mau untuk dicap “sebagai anak yang pemalas dan nakal”, sehingga anak-anak pun akan memilih jurusan IPA agar dapat dinilai sebagai anak yang “pintar dan keren” oleh orang sekitarnya.
Jika dibahas secara mendalam, miskonsepsi yang seringkali kita dengar tentang IPA dan IPS adalah mengenai anak IPA yang lebih pintar dalam hitung-hitungan sedangkan anak IPS lebih pintar dalam urusan menghafal. Padahal pada kenyataannya, pelajaran dalam jurusan IPA seperti fisika, kimia, dan biologi tidak memiliki hubungan yang cukup erat dengan pelajaran matematika jika kita bandingkan dengan pelajaran akuntansi pada jurusan IPS yang hampir selalu dihadapkan dengan angka-angka.
Lalu, dalam urusan menghafal sendiri sebenarnya dalam jurusan IPS sendiri tidak menuntut kita untuk menghafal. Karena apabila kita belajar dengan cara menghafal, berarti kita sendiri keliru akan metode pembelajaran yang kita gunakan. Karena pada dasarnya yang dibutuhkan adalah pemahaman konseptual atas apa yang kita pelajari.
Berkenalan dengan Strukturalisme dan Postmodernisme
Banyak orang secara sadar maupun tidak sadar menjadikan miskonsepsi ini sebagai pandangan mereka dalam memandang jurusan IPA dan IPS. Strukturalisme sendiri merupakan teori dalam aliran filsafat yang berkembang di Prancis pada pertengahan abad ke-20.
Strukturalisme sendiri adalah teori yang dikemukakan oleh Claude Levi-Strauss, Roland Gerard Barthes, Paul Michel Foucault, Jacques Lacan, dan Jacques Derrida. Kelima filsuf strukturalis ini mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang terbelenggu oleh pemikiran terstruktur dan sebuah sistem yang baik secara sadar maupun tidak disadari mempengaruhi kesadaran mereka sendiri.
Namun, dibalik itu semua ada seorang tokoh yang bernama Ferdinand de Saussure yang berjasa dalam perkembangan awal teori ini. Strukturalisme menurut pemikiran Ferdinand de Saussure ini memiliki empat gagasan dasar yaitu, Diakronis-Sinkronis, Langue-Parole, Sintagmatik-Paradigmatik (Asosiatif), dan Penanda-Petanda.
Diakronis-Sinkronis adalah sebuah penelitian menurut perkembangannya dari masa ke masa (Diakronis), dan penelitian menurut unsur-unsur yang sezaman pada masa tertentu (Sinkronis).
Langue-Parole adalah penggunaan bahasa secara umum atau pola bahasa secara publik yang telah disepakati (Langue), dan penggunaan bahasa yang dihasilkan secara Individual (Parole).
Sintagmatik-Paradigmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan yang merupakan struktur permukaan (Sintagmatik), serta hubungan antara unsur-unsur yang hadir dan tidak hadir, dan dapat saling menggantikan serta bersifat asosiatif yang merupakan struktur isi (Paradigmatik).
Penanda-Petanda adalah penanda sebagai sound image sedangkan petanda sebagai konsep atau proyeksi mental dari pemikiran yang muncul dari bunyi bahasa.
Postmodernisme adalah teori sosial yang mengkritik strukturalisme. Teori ini dikemukakan oleh beberapa tokoh, yang di antaranya adalah Jean Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan Friedrich Jameson. Meskipun masih terus berkembang hingga saat ini, harus diakui bahwa puncak perkembangan pemikiran teori sosial postmodernisme ini terjadi pada era tahun 1980-an silam.
Salah satu hal yang paling menonjol dari postmodernisme ini adalah menolak konsep metanarasi. Salah satu konsep dalam metanarasi yang dimaksud adalah materialisme. Tidak hanya itu saja, Postmodernisme juga memiliki jenis pemikiran yang unik, pemikiran tersebut dinamakan “Pemikiran Dekonstruksi”.
Pemikiran Dekonstruksi ini sendiri dikemukakan oleh tokoh yang bernama Jacques Derrida. Dalam Pemikiran Dekonstruksi ini Derrida memiliki tujuan untuk menggambarkan sekaligus mengubah cara berpikir pembacanya maupun pendengarnya.
Namun, sama sekali tidak bermaksud untuk menghancurkan (destruksi), melainkan pemikiran ini bermaksud untuk menggali lebih dalam terkait makna-makna tersembunyi dari sebuah peristiwa yang ada.
Equality between Social and Science
Pada dasarnya pola pikir manusia adalah suatu hal yang sudah terstruktur dan terbelenggu dalam sebuah sistem yang ada. Baik sadar ataupun tidaknya manusia akan suatu penstrukturan yang ada, tidak akan banyak mengubah sistem atau struktur yang sudah tercipta pada masa sebelumnya.
Fenomena dalam miskonsepsi terhadap jurusan IPA dan IPS ini bisa menjadi sebuah gambaran yang jelas bagaimana tingkah laku dalam berpikir manusia pada saat ini ini sudah terikat dalam sebuah struktur yang sudah ada pada masa sebelumnya. Miskonsepsi akan pemahaman jurusan IPA dan IPS ini sendiri sudah terbelenggu cukup lama dalam pemikiran sebagian besar masyarakat.
Mereka mempercayai bahwa jurusan IPA adalah jurusan dimana anak-anak cerdas berkumpul menjadi satu sedangkan jurusan IPS adalah kumpulan anak-anak yang pemalas, nakal, serta memiliki tingkat kecerdasan yang cenderung kurang. Mereka juga selalu membuat labelling jika ingin sukses dan menghasilkan banyak uang seorang anak harus masuk ke jurusan IPA dan menjadi seorang dokter.
Padahal dalam kenyataannya, menjadi seorang dokter bukanlah menjadi suatu tolak ukur untuk menentukan kesuksesan seseorang. Karena, pada dasarnya semua itu tergantung dari usaha dan kerja keras masing-masing individu dalam mencapai kesuksesan itu sendiri.
Kemudian, teori postmodernisme yang mengkritik teori strukturalisme. Dalam teori postmodernisme sendiri dikatakan bahwa teori ini menolak konsep metanarasi berupa materialisme.
Materialisme yang dimaksud dalam fenomena ini sendiri dapat kita contohkan dengan kebutuhan akan kepemilikan rumah yang sebenarnya memiliki tujuan sebagai tempat untuk berteduh, tetapi orang yang materialis ini menganggap bahwa kebutuhan serta kepemilikan akan rumah menjadi suatu hal yang menjadi ajang pamer dan meningkatkan status sosial mereka.
Dalam fenomena miskonsepsi dan labelling terhadap jurusan IPA dan IPS, konsep metanarasi berupa materialisme juga bisa dikaitkan. Materialisme yang dimaksud dalam fenomena ini sendiri adalah kedudukan seseorang dalam kehidupan sosial, dimana sebagian anak-anak atau orang tua yang berasal dari jurusan IPS memiliki rasa bahwa jurusan IPS merupakan jurusan yang kurang mampu untuk menunjang status sosial ataupun kedudukan sang anak dan dirinya sebagai orang tua sehingga timbulnya rasa tidak percaya diri dan rasa gengsi dalam diri mereka.
Sedangkan anak dan orang tua yang berasal dari jurusan IPA, memiliki rasa kebanggaan tersendiri karena mampu memasukkan anaknya ke jurusan IPA yang memiliki labelling bahwa jurusan IPA adalah jurusan yang bergengsi dimana anak-anak dengan tingkat kecerdasan lebih berkumpul menjadi satu.
Pada teori postmodernisme ini sendiri pola pikir yang sudah terstruktur yang salah ini harus diganti dengan “Pemikiran Dekonstruksi”, dimana kita harus mengubah pemikiran-pemikiran yang terbelenggu ini menjadi pemikiran yang lebih terbuka tanpa menghancurkan pemikiran yang ada sebelumnya, melainkan kita harus menggali makna-makna yang ada pada pemikiran dalam fenomena ini.
Untuk permulaan awal, kita bisa mulai dengan menggali makna sesungguhnya yang ada pada fenomena ini, seperti pemahaman akan ilmu pada jurusan IPA dan jurusan IPS yang sebenarnya sama-sama memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan kita.
Contohnya, seperti wabah Covid-19 yang sempat menggemparkan dunia. Dalam kasus ini, kita bisa menelaah dari sudut pandang yang ada dalam jurusan IPA dan juga IPS.
Wabah virus Covid-19 yang disebabkan oleh salah satu jenis Coronavirus jenis SARS-CoV-2 yang berkaitan dengan ilmu biologi dalam jurusan IPA dan apabila ditelaah dalam sudut pandang berbeda, wabah ini menyebabkan beberapa negara mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan juga Lockdown yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran yang berkaitan dengan ilmu ekonomi sosial yang berkaitan dengan jurusan IPS.
Setelah menggali makna yang ada, maka dapat kita ketahui bahwa kedua jurusan ini berjalan seiringan serta membutuhkan satu sama lain dalam pengaplikasiannya. Jadi, kedua ilmu ini tidak perlu lagi dibeda-bedakan. Karena, kedua ilmu ini dapat berjalan seiringan dan memiliki keunggulannya tersendiri.
Summary
Pada akhirnya, baik ilmu IPA maupun IPS tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu manakah yang lebih dan ilmu manakah yang kurang. Karena, pada dasarnya anak-anak dengan jurusan IPA dan IPS pasti memiliki kelebihan masing-masing dan itu semua akan balik lagi ke masing-masing individu dalam memahami ilmu-ilmu yang ada.
Namun, ini semua memang kembali lagi kepada bagaimana cara seseorang dalam melihat suatu hal.
Tidak hanya itu saja, hubungan kepintaran seseorang dengan jurusan apa yang ia pilih bukanlah menjadi suatu tolak ukur untuk menilai kepintaran. Karena, segala sesuatu yang ada pasti memiliki porsi dan kedudukan masing-masing dalam kehidupan kita.
Kedua ilmu ini tidak bisa kita bedakan dengan cara memberi labelling bahwa jurusan IPA lebih keren dan bergengsi dibandingkan dengan jurusan IPS yang memiliki labelling jurusan dengan anak-anak nakal yang cenderung kurang cerdas.
Pada akhirnya, kedua ilmu ini dalam kehidupan kita selalu saling membutuhkan satu sama lain dalam membedah suatu peristiwa atau kejadian yang ada. Kedua ilmu ini akan selalu membutuhkan satu sama lain dalam pengaplikasiannya dalam hidup.
Di akhir kata, kedua jurusan ini memiliki keunggulannya masing-masing. Tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang kurang. Semuanya saling membutuhkan satu sama lain. Semuanya setara dan berjalan seiringan untuk