Kabar duka kembali datang menghampiri kita. Seorang intelektual dan cendikia ternama `dipanggil` Yang Maha Kuasa pada Kamis, 21 November 2019, sekitar pukul 00.02 WIB, di ruang ICU Rumah Sakit Umum Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Ya, dia adalah Prof. Dr. Bahtiar Effendy, seorang yang menurut Ihsan Ali Fauzi merupakan seorang sarjana dan analis sosial yang mempunyai `senjata` relatif komplet; ia tahu teksnya, dan ia mengerti konteksnya.
Penulis sendiri memiliki pengalaman tersendiri mengenai sosok almarhum. Di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, sebelum perkuliahan dimulai, ia kerap bertanya kepada para mahasiswa satu per satu, tanpa terkecuali. Ia menanyakan latar belakang serta orientasi anak didiknya.
Ia merupakan sosok dosen yang sangat komitmen dalam hal mengajar. Penguasaan beliau dalam memberikan kuliah Politik Islam dalam konteks sejarah Indonesia sangat luar biasa.
Dalam kesibukan dan keterbatasannya, karena dalam tahun-tahun terakhir beliau ngidap penyakit kanker, ia masih semangat mengajar, meski dengan suara yang sangat kecil dan serak.
Kepakaran Prof. Bahtiar dalam bidang ilmu politik tidak bisa diragukan. Ia sangat menguasai metode ilmu-ilmu sosial dan politik sehingga ia memiliki pisau analisis yang tajam dalam membaca fenomena sosiologis umat Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, ia juga memiliki komitmen yang kuat untuk mengangkat harkat dan martabat umat Islam.
Di saat umat Islam mendapat perlakuan yang tidak adil dari penguasa, ia kerap memberikan kritikan keras, meski kritikan tersebut tidak diungkap di media sosial secara umum, melainkan di ruang-ruang terbatas, seperti ruang kelas dan diskusi.
Menurut pengakuan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyan Din Syamsudin, Prof. Bahtiar adalah ilmuwan kritis, tapi bukan tipe ilmuwan yang menggebu-gebu mengkritik di ruang publik.
Sebagai seorang intelektual yang produktif, ia banyak menulis buku berkaitan dengan ilmu politik, Islam, dan negara, seperti Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (ditulis bersama Fachry Ali, 1986), Transformasi Pemikiran Islam dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998), The Nine Stars and Politics: A Study of The Nahdlatul Ulama’s Acceptance of Asas Tunggal and its Withdrawal from Politics (1988), Islam and the State: Transformation of Islam Political Ideas and Practices in Indonesia (1994), Repolitisasi Islam, Benarkah Islam Kembali Berpolitik (2000), dan Teologi Baru Politik Islam (2001).
Prof. Bahtiar Effendy juga sangat berjasa dalam pendirian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai sebuah sarana untuk dapat memberikan pengajaran mengenai metodologi yang komprehensif tentang ilmu-ilmu sosial dan politik yang selaras dengan kepentingan dan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Ia juga menjadi salah satu pelopor berdirinya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) sebagai sarana untuk mengenalkan Islam Indonesia yang inklusif, toleran, dan moderat.
“Misi politik Islam oleh Prof. Bahtiar dikerucutkan dalam proyeksi membangun Islam berperadaban. Dan berdirinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UIN Jakarta dan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) merupakan wujud konkret dari misi tersebut,” kata Kepala LP2M UIN Jakarta, Jajang Jahroni, dalam acara In Memoriam Prof. Bahtiar Effendy; Merambah Jalan Pemikiran Politik Islam di Indonesia yang diadakan oleh Fata Institute (Fins), Tangerang Selatan, Minggu (24/11).
Jajang menyebut bahwa Prof. Bahtiar memiliki obsesi yang sangat besar terhadap politik Islam. Namun demikian, perwujudan politik Islam tersebut tidak bisa dimanifestasikan dalam satu bentuk tertentu.
Pengertian politik islam sangatlah luas. “Islam tidak bisa dilepaskan dari politik –dalam pengertian politik yang seluas-luasnya. Dan juga Islam tidak bisa dijauhkan dari negara. Yang berubah dari waktu ke waktu adalah manifestasinya. Dalam konteks partai politik, PPP-lah yang memiliki akar kesejarahan dan jalan panjang dari kelanjutan cita-cita politik Islam di Indonesia.”
Sosiolog UIN Jakarta, Saifuddin Asrori, menyebut, bahwa Politik Islam juga bisa diwujudkan dalam amal saleh.
“Politik Islam harus menjelma secara nyata melalui amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari. Karena hanya dengan amal saleh, apa yang menjadi cita-cita agama Islam dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud. Kalau tidak bergerak melalui amal saleh, maka politik Islam akan habis. Mendirikan Fisip UIN Jakarta dan UIII merupakan wujud dari politik Islam atau amal saleh Prof. Bahtiar.”
Orang besar memiliki pemikiran dan cita-cita besar, serta meninggalkan warisan yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Selamat jalan, Prof Bah.