Sastra secara beragam dapat dianggap sebagai wilayah kritik yang istimewa atau sebagai seperangkat konvensi arbitrer yang dipelajari untuk dibaca sebagai sastra. Ia memiliki kawasan teritorial khusus dalam kontestasi pewacanaan.
Dengan hak istimewa yang dimiliki sastra untuk tidak memiliki referensi dalam penulisannya, sastra menjadi karya yang arogan dan angkuh untuk memberikan justifikasi atas suatu hal. Kesewenang-wenangan sastra dalam menanggapi isu merupakan bukti konkrit adanya keleluasaan dalam menyampaikan pernyataan.
Meski arogansi pernyataan sering dilakukan dalam karya sastra, ia tidak dapat dipandang berdiri sendiri atas pernyataan tersebut. Adalah suatu keniscayaan bahwa karya sastra tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, melainkan diciptakan oleh pengarangnya. Pengarang (karya) sastra memiliki bias pengetahuan yang menguasai dirinya secara tidak sadar.
Hal ini menimbulkan keterpengaruhan yang disebabkan kekuasaan secara ideologis menjangkit para penulis karya sastra. Dengan demikian, penulisan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan pengarangnya yang melatarbelakangi terciptanya karya tersebut.
Meski demikian, studi pemaknaan sastra berawal dari penggunaan struktur diskursus yang sebelumnya dipakai untuk studi agama, yakni melalui konstruksi kanon serta terfokus pada masalah moralitas dan nilai. Penggunaan Sastra untuk menujukkan pesan implisit menyebabkan kekokohan studi tersebut, meskipun kata Foucault tidak dapat dilepaskan dari keterpengaruhannya terhadap genealogi ilmu pengetahuan.
Karya sastra mampu memapankan budaya dengan peranti-peranti pendukung yang mengokohkan keberadaan budaya tersebut. Dengan adanya media sosial yang kian masif, pengokohan (dan penjungkirbalikkan) semakin terlihat dalam wacana-wacana publik melalui derasnya informasi yang beredar.
Selain fungsi sastra sebagai sarana pemapanan makna budaya nasional, ia juga digunakan sebagai alat untuk mempertentangkan pelbagai norma budaya yang dianut. Dalam sejarah dunia, karya sastra memiliki peran sebagai penyalur aspirasi rakyat dengan liku-liku yang rancu sehingga susah untuk dideteksi oleh rezim yang berkuasa.
Norma-norma yang dilanggar oleh penguasa (baik penguasa ekonomi, penguasa sosial, maupun penguasa kebudayaan) menjadikan degradasi nilai yang menyebabkan tergerusnya moralitas yang dipandang mapan selama ini.
Kajian sastra dapat dilekatkan dengan diskursus yang dipahami sebagai praktik-praktik pembentuk objek ucapan, bukan sebagai kelompok tanda atau barisan teks. Pelepasan diskursus dari penyempitan ruang lingkupnya memiliki konsukuensi pada independensi definisi terhadap dirinya sendiri.
Dalam pengertian tersebut, diskursus merupakan sesuatu yang menghasilkan suatu yang lain (suatu ucapan, konsep, atau pengaruh) dan ia bukanlah sesuatu yang muncul dari dan di dalam dirinya, serta dapat dianalisis secara terpisah. Diskursus menjadi kajian menarik lantaran meletakkan paradigma berpikir kembali pada asal pengetahuan tersebut sebagai hal yang fundamental.
Dalam buku Diskursus: Sebuah Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial karya Sara Mills dijelaskan perbedaan diskursus dengan teks, sistem bahasa, sejarah, dan ideologi yang menjadi pangkal berpikir secara sistematik. Permulaan tentang identifikasi makna menjadi tindakan krusial dalam pemahaman yang holistik.
Pasalnya, terjadi kekacauan epistemic jika tidak ditanamkan pemahaman definitif yang dapat mengakibatkan kekacauan ontologis dari suatu pembahasan. Penyesuaian definisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan (pengetahuan) yang diperoleh manusia sendiri.
Kekuasaan adalah elemen kunci dalam mendiskusikan diskursus. Keberadaan kekuasaan tersebar ke seluruh hubungan sosial. Dampak dari adanya kekuasaan adalah terwujudnya pelbagai kemungkinan bentuk dan perilaku, namun juga membatasi keduanya secara bersamaan.
Semua perilaku yang dilakukan akan berdasarkan kuasa (pengetahuan) sehingga penguasaan diri dari yang lain menjadi corak utama kajian diskursus.
Kekuasaan bertumpang tindih pada pengetahuan. Semua pengetahuan yang dimiliki umat manusia merupakan hasil atau pengaruh dari perjuangan kekuasaan. Contohnya, apa yang dipelajari di sekolah dan kampus adalah hasil perjuangan dari pelbagai peristiwa yang dilakukan oleh para pejuang pendidikan dalam merumuskan kurikulum berdasarkan standarisasi umum.
Adalah suatu kebajikan mengantar pembaca pada grand design topik yang dibahas dalam buku. Sara Mills mengantarkan pembaca pada dialektika pengertian diskursus yang menjadi pangkal pemahaman dalam kajian diskursus.
Dengan pembedaan istilah diskursus, ideologi, sejarah, dan sistem bahasa, Sara Mills berusaha menggarisbawahi bahwa diskursus merupakan unit analisis yang mendalam dalam menelisik genealogi pengetahuan dari hal tertentu. Tokoh yang sangat berpengaruh dalam diskursus teoretis (salah satunya) adalah Michael Foucault (bab 1).
Terdapat pertentangan dalam penggunaan diskursus oleh Foucault dengan penggunaan istilah ideologi secara umum. Karena pemikiran Marxis merupakan kekuatan reaktif yang sangat penting dalam perkembangan gagasan diskursus Foucault, maka dalam pemikiran diskursus Sara Mills berusaha memetakan sejarah perbedaan makna dan pemaknaannya (bab 2).
Selain itu, Sara Mills berusaha menganalisis struktur yang menjadi unsur pembentuk diskursus dengan mengacu pada ketersusunan diskursus dari serangkaian regulasi tak tertulis (bab 3).
Kaidah penyusunan diskursus tidak harus disusun oleh seseorang atau sekelompok orang, dan tidak harus dibuat demi kepentingan kelompok tertentu meskipun kaidah tersebut dapat dipakai untuk memenuhi suatu kepentingan tertentu.
Kemudian, pembincangan tentang modifikasi yang dilakukan terhadap definisi diskursus oleh para teoretis feminis dan teoretis diskursus kolonial serta poskolonial (bab 4 dan 5). Penjelasan yang dikemukakan terkait manfaat term diskursus untuk menganalisis teks berupaya menguak problem identitas dan pengakuan terhadap ‘yang lain’ dalam memotret keberagaman identitas.
Beberapa karya linguistik yang memfokuskan perhatian pada term diskursus melingkupi pembahasan para analis diskursus awal, linguis kritis, dan psikolog sosial yang terpengaruh oleh Foucault (bab 6). Perbedaan mencolok dalam paradigma berpikir menjadi ciri utama atas pengaruh Foucault dalam memandang struktur bahasa.
Secara keseluruhan, buku Diskursus: Sebuah Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial karya Sara Mills memfokuskan pelbagai keterbatasan dan kesulitan teoretis yang melingkupi istilah diskursus dan penulis mengusulkan solusi mengatasi kesulitan tersebut sehingga dapat dipergunakan sebagai titik tolak bagi peneliti teoretis kemudian.