Beberapa tahun yang lalu, saya menemukan buku yang tergeletak di sebuah rak buku di perpustakaan salah satu kampus yang ada di Yogyakarta berjudul “Djaminan Sosial”. Saat itu, saya adalah mahasiswa yang lebih sering terpaksa datang ke perpus alih-alih ke coffe shop karena jujur saya mahasiswa dengan kantong pas-pasan. Singkat kata, karena saya pikir buku ini berhubungan dengan tesis yang sedang saya kerjakan, dan akhirnya saya (dengan terpaksa) membaca buku ini.
Buku ini tidak tebal, bahkan tergolong tipis. Sampul buku dan kertasnya telah usang. Belum lagi jika kita tidak tahan dengan bau kertas tua(atau mungkin karena buku ini sedikit berdebu), kita akan terbatuk-batuk.
Sedikit kilas balik tentang buku “Djaminan sosial”. Buku yang sedikit berdebu ini berisi beberapa ide mengenai negara kesejahteraan dan sekaligus bagaimana menerapkan ide negara kesejahteraan di Indonesia yang baru merdeka melalui beberapa regulasi terkait jaminan kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah Indonesia masa awal kemerdekaan. Salah satu regulasi yang dibahas di buku tersebut misalnya mengenai regulasi pemberian sokongan penganggur.
Sokongan penganggur? Apa maksudnya? Untuk siapakah sokongan penganggur ini diberikan? Hah?! Untuk orang yang menganggur? Kok enak benar ya jadi rakyat Indonesia. Nganggur aja disokong negara lo gaes. Inilah sekelumit pertanyaan yang buru-buru muncul ketika saya membaca buku tersebut.
Karena ke-kepo-an saya, dan diniati untuk menjadikan tema ini sebagai tema tesis, sayapun kemudian melakukan pelacakan arsip dan surat kabar yang terbit antara tahun 1945-1950-an. Beberapa surat kabar dan majalah yang terbit selama tahun 1945-1950-an memberikan gambaran bahwa kondisi masyarakat Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Dan saya menemukan, di salah satu rubrik di koran Kedaulatan Rakyat tahun 1950-an, sering muncul statistic penganggur. Pertanyaan saya, “Kalau tidak ada masalah pengangguran, mengapa sering kali muncul statistik penganggur? Apa yang terjadi pada tahun-tahun awal kemerdekaan? Apakah masalah pengangguran adalah salah satu masalah penting dalam masyarakat yang baru merdeka?” Saya bertanya-tanya dalam hati namun tetap tidak mengetahui apakah jawabannya.
Kemudian saya menemukan Majalah Minggu Pagi yang juga terbit tahun 1950-an. Di majalah itu, terdapat sebuah rubrik yang berjudul “Suka-Duka”. Rubrik ini memuat cerita-cerita keseharian masyarakat Yogyakarta. Sebagian besar ceritanya berisi mengenai kepedihan yang dialami oleh rakyat jelata, terutama sekali terkait bagaimana rakyat ini bertahan hidup di awal kemerdekaan.
Salah satunya menceritakan kesulitan hidup seorang penganggur yang berusaha mencari pekerjaan. Hati saya merasa getir ketika saya menemukan sebuah narasi mengenai seorang perempuan lebih tepatnya seorang janda yang ditinggal mati perang suaminya, perempuan ini mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan dalam kondisi hamil. Ya Tuhan…rasanya ngeri sekali.
Mungkin cerita janda ini adalah satu dari sekian banyak cerita kepedihan mengenai bagaimana susahnya orang mencari pekerjaan pada tahun awal kemerdekaan. Saya tidak bisa membayangkan jika hidup dalam kondisi chaos paska perang. Entah bagaimana rasanya ya. Hidup dalam sebuah kondisi yang sebenarnya merupakan cita-cita bersama, namun kita mungkin tidak pernah mendapatkan kue kemerdekaan dalam porsi yang sama pula.
Kita selalu mengira bahwa merdeka itu artinya kemenangan, kebebasan, dan gegap gempita penuh kegembiraan. Padahal, ternyata, merdeka juga bisa berarti sebuah kengerian yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Lalu, bagaimana dengan sokongan pengangguran? Apakah kehidupan penganggur pada saat itu dibantu oleh pemerintah? Yups, sokongan pengangguran memang ada pada masa itu. Dan sesuai dengan regulasi yang ada dalam buku “Djaminan sosial” dan juga didukung dengan sumber lain seperti laporan surat kabar, besaran sokongan penganggur untuk masing-masing kota dan daerah itu berbeda-beda. Barangkali kalau istilah di masa sekarang ada biaya kemahalan yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah yang lainnya.
Selain sokongan pengangguran, ternyata dari arsip dan juga dari “Madjalah Tindjauan Perburuhan” pemerintah Indonesia di tahun-tahun itu juga menyelenggarakan beberapa pelatihan-pelatihan kerja yang tersebar di kota-kota besar Indonesia seperti Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan beberapa daerah lainnya.
Sayangnya, pemberian sokongan penganggur tidak berlangsung lama. Sokongan pengangguran ini mulai dihentikan sejak akhir tahun 1950-an. Pemberhentian ini dilakukan setidaknya dengan dua alasan. Alasan yang pertama, memang pemerintah merasa tidak sanggup lagi membayar sokongan pengangguran dengan kondisi ekonomi negara yang sedang tidak bagus. Ya kita tahu bersama di tahun 1950-an kondisi politik kita tidak stabil. Kondisi yang tidak stabil ini berimbas pada kondisi ekonomi yang turut morat-marit.
Alasan yang kedua, pemerintah merasa bahwa pemberian sokongan pengangguran kepada penganggur justru dapat menimbulkan perasaan malas. Alih-alih berusaha keras untuk mencari pekerjaan beberapa orang justru lebih suka berharap mendapatkan sokongan pengangguran.
Nah begitulah, akhirnya di akhir tahun 1950-an kita tidak lagi mendengar adanya sokongan pengangguran.
***
Idealisme kadang-kadang berbenturan dengan realita. Ide membentuk semacam negara kesejahteraan berbenturan dengan realita bahwa pada tahun 1950-an Indonesia mengalami instabilitas politik yang ternyata berdampak pada penghentian pemberian sokongan pengangguran kepada para penganggur.
Niat pemerintah melalui pemberian sokongan pengangguran sebenarnya baik. Pemberian sokongan pengangguran bisa diartikan bagaimana usaha pemerintah Indonesia ingin melakukan redistribusi kesejahteraan kepada rakyatnya. Redistribusi ini, dalam masa-masa awal kemerdekaan penting dilakukan karena barangkali hal ini bisa meningkatkan citra pemerintahan Indonesia yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemerintah kolonial.
Ide mengenai pemberian sokongan pengangguran bisa dikatakan telah mati sejak akhir tahun 1950-an, namun seolah dibangkitkan kembali dengan program kartu pra kerja yang beberapa waktu lalu dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi. Pertanyaannya adalah setelah beberapa waktu berjalan apakah program kartu pra kerja ini hanyalah semacam lagu lama dengan aransemen ulang? atau memang program ini merupakan evolusi yang lebih baik dari program di masa lalu?
Kita membentuk bangsa bersama-sama dalam sebuah sumpah yang kita sebut sebagai sumpah pemuda tahun 1928. Hingga akhirnya terjadinya proklamasi yang melegitimasi kemerdekaan kita. Dalam kondisi yang merdeka, sudah pasti kita ingin bersama-sama hidup sebagai warga negara yang sama-sama sejahtera.
Dirgahayu Indonesia. Semoga cita-cita untuk hidup dalam kondisi makmur sejahtera bukanlah sekadar ilusi belaka.