Penggunaan hukum pidana untuk menjerat para pelaku kejahatan adalah metode yang tergolong kuno, se-kuno peradaban manusia itu sendiri. tak terkecuali ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di dalamnya.

Penulis yakin dan sepakat, bahwa tujuan dari dipositifkannya hukum yang hidup di masyarakat itu ialah untuk menjamin perlindungan terhadap tiap-tiap hak. ingin berperilaku sebebas-bebasnya itu adalah murni sifat manusia, akan tetapi manusia juga harus memperhatikan kepentingan orang lain dan ketertiban umum.

Van Apeldoorn dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum” menyebutkan, jika tujuan hukum itu ialah untuk menertibkan perilaku masyarakat dan Ketika sudah tertib masyarakat akan hidup dengan damai (vrede), maka berbuat jahat adalah pelanggaran terhadap semangat perdamaian tersebut (vredebreuk), sehingga penjahat harus dikeluarkan dari kategori perlindungan hukum, karena sikap batin dan perbuatannya yang tidak damai (vredeloos).

Hal tersebut juga memiliki kaitan erat dengan penerapan pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa “pidana mati” adalah puncak dari segala bentuk pemidanaan dan menjadi jurus paling mutakhir untuk memberikan efek jera. tidak hanya terhadap pelaku kejahatan, tetapi juga menjadi pengingat kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan yang sama.

Putusan pengadilan tinggi Bandung terhadap kasus Herry Wirawan yang dijatuhi pidana mati menjadi refleksi tersendiri bagi kita semua, masyarakat menganggap bahwa upaya hukum banding yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut adalah tindakan yang tepat, dan putusan tersebut setimpal dengan kejahatan yang dilakukan.

Tentu putusan tersebut menimbulkan pro/kontra, khususnya oleh para aktivis HAM yang beranggapan bahwa hidup dan/atau mati itu murni urusan tuhan. akan menjadi citra buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia, manakala dalam prosesnya aparat penegak hukum lebih fokus terhadap pemidanaan pelaku dan mengabaikan kepentingan dan pemulihan korban.

Kerugian yang dialami oleh korban baik itu kerugian secara Fisik, Psikologis/Psikososial, dan kerugian ekonomi tentu tak kalah penting untuk mendapat perlindungan dan pemenuhan khusus oleh negara, serta orang-orang terdekat korban. bahkan dalam RUU TPKS pelaku kekerasan seksual wajib hukumnya memberikan restitusi kepada korbannya.

Oleh karena itu, kiranya penting bagi aparat penegak hukum untuk memperhatikan Asas Proporsionalitas dalam menangani suatu perkara pidana. bahwa Langkah-langkah yang diambil harus berjalan beriringan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Tidak Mampu Memberikan Efek Jera

Kembali melihat kasus Herry Wirawan, merujuk pada infografis yang dirilis oleh Komnas Perempuan dalam catatan tahunan. pada tahun 2019 setidaknya terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. dan setiap tahunnya kasus kekerasan terhadap perempuan semakin bertambah.

Hal tersebut menjadi penanda bahwa ancaman pidana mati tidak menjadi pertimbangan penting yang pada akhirnya mampu membatalkan niat seseorang untuk melakukan kejahatan. tentu hal ini tidak hanya terjadi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.

Kita bisa belajar dari kasus kejahatan terorisme yang menjatuhkan pidana mati terhadap Amrozi, apakah dari penjatuhan pidana mati tersebut kasus teroris maupun penyebaran paham radikal berkurang. ataupun dalam kasus narkotika yang menjatuhkan pidana mati terhadap Freddy Budiman, pasca Freddy dieksekusi mati, apakah peredaran barang haram tersebut menjadi menurun.

Faktanya, dalam upaya memberantas kejahatan atau beberapa kasus besar yang tergolong ektra ordinary crime, tidak selesai hanya dengan mengidentifikasi unsur mens rea dan actus reus saja. jauh dari itu semua, harus terdapat instrument yang kokoh mulai dari masyarakat, aparat, dan hukum itu sendiri.

Pentingnya Pemulihan Korban

Hal inilah yang seharusnya menjadi sorotan utama, kita tidak dapat membayangkan bagaimana trauma yang diderita oleh para korban, ataupun orang-orang terdekatnya seperti keluarga, saudara, dan kerabatnya. penulis yakin para korban tersebut akan termarginalkan, ataupun bagaimana nanti ketika anak hasil pemerkosaan tersebut sudah besar.

Jika dilihat dari sudut pandang korban, dilakukannya pemulihan psikosial/psikologis, serta menjamin pemenuhan kompensasi dan restitusi terhadap korban menjadi hal yang lebih penting dari pada sekedar menjatuhkan pidana seberat-beratnya terhadap pelaku kejahatan tersebut. ataupun jika melihat dari sisi pelaku, bagaimana nanti nasib keluarganya. mereka tidak ikut serta melakukan tindak pidana, tapi merasakan dampaknya juga.

Penulis memberikan pandangan tersebut karena dari perspektif kriminologi dan viktimologi dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. presipitation theory berpendapat bahwa kejahatan terjadi tidak lepas dari keikutsertaan korban yang memicu terjadinya tindak pidana tersebut, akan tetapi hal itu pula tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku kejahatan.

Melanggar Prinsip Perlindungan HAM

Secara normatif, sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UU 39/1999 Tentang HAM bahwa hak untuk hidup tergolong ke dalam hak non-derogable right yang dalam pemenuhannya tidak dapat dikurangi, oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

“siapapun” yang dimaksud di sini adalah negara dengan aparat pemerintahannya, maupun masyarakat sipil. sedangkan yang dimaksud “dalam keadaan apapun” termasuk di dalamnya dalam kondisi darurat, keadaan perang, ataupun sengketa senjata.

Penulis sepakat bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan, apapun bentuknya, tidak patut dibela. akan tetapi dalam prosesnya, ada hal-hal yang jauh lebih penting sekedar menjatuhkan pidana seberat-beratnya kepada pelaku, yakni pemulihan terhadap korban.