Iklim adalah metode statistika cuaca. Ia menghitung rata-rata cuaca dalam satu kurun waktu yang panjang dan lingkup daerah yang luas.
Sejauh ini, studi tentang cuaca dan iklim sangatlah luas. Karena itu, untuk mempermudah, para peneliti biasa mengklasifikasikan iklim berdasarkan intensitas jumlah sinar matahari pada suatu daerah: tropis, subtropis, sedang, dan dingin.
Nah, kira-kira, jika dilihat dari sudut pandang iklim dan kondisi geografis lingkungan, agama itu pertama kali muncul dari tempat apa? Daerah beriklim tropis, subtropis, sedang, atau kutub? Daerah hutan lebat? Bercurah hujan tinggi? Pegunungan? Pantai?
Ataukah agama muncul secara berbarengan di semua daerah yang iklim dan geografisnya berbeda-beda?
Apakah kemunculan dan dinamika suatu agama juga mungkin dipengaruhi kondisi iklim dan geografis lingkungan suatu tempat? Bisakah iklim dan geografis lingkungan menjadi metode sains untuk melacak asal-usul dan dinamika agama?
Mari ambil contoh agama Islam, misalnya. Islam 'disempurnakan' Nabi Muhammad dari daerah geografis berdataran rendah, gersang, dan beriklim tropis. Lantas, mengapa harus muncul dari tempat seperti itu? Apakah itu suatu kebetulan? Apa agama Islam tak cocok untuk daerah beriklim dingin ekstrem (kutub), misalnya?
Faktanya, penganut agama Islam terbanyak, sebagian besar, berada di daerah yang didominasi iklim tropis dan subtropis. Lima negara teratas berpenduduk muslim terbanyak adalah Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria (Pew Research, 2010).
Coba tengok ke ujung bumi belahan utara. Di kepulauan Svalbard (Norwegia) dan Greenland (Denmark) yang dominan beriklim dingin, agama Islam menjadi agama minoritas. Mayoritas penduduk di sana beragama Kristen Protestan.
Di ujung bumi belahan selatan yang beriklim sedang, tepatnya di kota Ushuaia (Argentina), mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik dan Protestan. Belahan dunia selatan lainnya, Selandia Baru, mayoritas penduduknya pun beragama Kristen.
Apakah fakta-fakta itu merupakan fenomena kebetulan? Mengapa di negara beriklim sedang-dingin, agama Islam menjadi minoritas? Sebaliknya, mengapa agama Hindu atau Buddhisme tak mendominasi tanah Arab yang beriklim tropis?
Begitu juga, mengapa agama Yahudi tak berkembang di dunia timur (Jepang dan Cina)? Mengapa Buddhisme yang berasal dari daratan India malah kini penganutnya lebih banyak di Jepang dan Cina?
Kok Buddhisme tak berkembang di Somalia saja? Padahal, secara geografis, perbedaan jarak dari India ke Somalia, Cina dan Jepang, tidak jauh-jauh amat. Apakah Buddhisme tak cocok di tanah dan iklim Afrika?
Fakta-fakta itu jelas menjadi sebuah teka-teki. Sejauh ini, saya masih belum menemukan penjelasan yang rasional dan terbatasnya wawasan.
Tetapi, saya yakin, semua itu bukan fenomena kebetulan semata. Di samping faktor dinamika sejarah, politik, dan kebudayaan, iklim serta kondisi geografis lingkungan mungkin juga memengaruhi.
Namun, sebelum jauh berkaitan dengan agama, memang apa sih buktinya kalau iklim dan kondisi geografis lingkungan sangat memengaruhi kehidupan manusia (Homo sapiens) secara umum?
Jared Diamond dalam bukunya Guns, Germs and Steel (1997) mengurai dengan apik bagaimana iklim dan kondisi geografis lingkungan punya konsekuensi signifikan bagi kehidupan manusia, mulai dari kebudayaan, ekonomi, mata pencaharian, teknologi, hingga politik.
Ia mengambil contoh kasus penyebaran bangsa Polinesia (Maori dan Moriori) di Selandia Baru dan Kepulauan Chatham yang berada sekitar 800 km ke timur Selandia Baru.
Pada Desember 1835, suku Maori dari Pulau Utara Selandia Baru menaklukan suku Moriori. Suku Moriori bermukim sebagai pemburu-pegumpul di Kepulauan Chatham. Kemudian, suku Maori datang dengan keunggulan membawa kapal, senjata bedil, pentungan, serta massa yang terorganisasi.
Sebaliknya, suku Moriori tak punya keunggulan itu. Mereka kalah telak dan Kepulauan Chatham pun dikuasai suku Maori.
Padahal, jika didorong jauh ke belakang sekitar 1000 SM, keduanya berasal dari satu suku bangsa yang sama: Polinesia.
Lantas, mengapa suku Maori bisa menaklukan suku Moriori? Sekilas bisa dijawab sederhana: karena kebudayaan suku Maori lebih maju dan berteknologi.
Tetapi, apa yang menyebabkan suku Maori dari Pulau Utara Selandia Baru itu lebih maju dari suku Moriori di Kepulauan Chatham? Sebaliknya, mengapa kemajuan itu justru bukan dimulai dari suku Moriori?
Suku Maori modern merupakan keturunan petani Polinesia yang tiba di Selandia Baru, sekitar 1000 SM. Lalu, sebagian orang Maori hijrah mendiami Kepulauan Chatham dan berkembang menjadi suku Moriori.
Di Kepulauan Chatham, orang Moriori hidup sebagai pemburu-pengumpul. Walaupun tadinya tiba sebagai petani, tetapi iklim dan kondisi geografis di Kepulauan Chatham tak memungkinkan mereka untuk mengembangkan pertanian.
Pola hidup berbeda dari segi pertanian dan pemburu-pengumpul inilah yang menjadi sebab dasar suku Maori di Pulau Utara Selandia Baru lebih maju dibandingkan suku Moriori di Kepulauan Chatham.
Iklim di Pulau Utara Selandia Baru lebih hangat dibandingkan Kepulauan Chatham yang agak menjauh dari garis khatulistiwa. Akibatnya, suku Maori bisa membudidayakan tanaman untuk mengembangkan pertanian.
Secara garis besar, munculnya pertanian memungkinkan adanya sumber dan simpanan makanan yang pasti. Surplus makanan sebagai sumber energi mengakibatkan pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Hal itu membuat suku Maori mengembangkan sistem politik yang kompleks. Perkembangan itu menjadi peluang besar untuk membangun kekuatan militer dan persenjataan.
Sebaliknya, hal serupa tak terjadi pada suku Moriori. Karena iklim di Kepulauan Chatham lebih dingin, mereka hidup sebagai pemburu-pengumpul dengan sumber makanan tak pasti. Pola hidup yang berpindah-pindah tak memungkinkan mereka membangun sistem politik yang kuat dan terorganisasi. Akibatnya, kekuatan militer mereka pun hanya seperlunya saja.
Singkat kata, contoh kasus di atas menjadi bukti terang: iklim dan kondisi geografis lingkungan punya pengaruh krusial bagi kehidupan manusia.
Jika iklim serta kondisi geografis bisa memengaruhi hidup manusia dan agama adalah bagian hidup manusia, maka iklim serta kondisi geografis pun sangat mungkin memengaruhi kemunculan dan dinamika agama.
Tetapi, bagaimana pengaruh yang mungkin? Secara langsung atau tidak langsung?
Gagasan
Kita bisa menduga, iklim dan kondisi geografis lingkungan tidak memengaruhi kemunculan dan dinamika suatu agama secara langsung, melainkan keduanya mungkin berpengaruh secara tidak langsung lewat perantara manusia (Homo Sapiens). Lebih tepatnya, melalui gagasan.
Mengapa gagasan? Sebab, kemunculan agama barangkali sejalan dengan atau setelah terjadi Revolusi Kognitif pada manusia (Homo Sapiens) sekitar 70.000-30.000 tahun lalu. Seperti yang diduga oleh Yuval Harari dalam bukunya, Sapiens: a Brief History of Humankind (2011).
Tak hanya Harari, dengan pendekatan yang berbeda, Karen Armstrong juga punya kesimpulan serupa. Bahwa entitas spiritual semacam Tuhan dan agama adalah produk gagasan manusia. Dan, gagasan tentang Tuhan dan agama berevolusi dalam rentang sejarah peradaban manusia, seperti yang diuraikan secara apik dalam bukunya, History of God (1990).
Dengan demikian, tak bisa dimungkiri jika agama itu bergandengan erat dengan gagasan atau pemikiran.
Terlepas dari agama apa pun yang pertama kali muncul dan dianut, kita bisa sepakat jika manusia (Homo Sapiens) mengenal agama ketika struktur otaknya telah berevolusi secara memadai dan mampu membuat gagasan.
Jika iklim dan kondisi geografis lingkungan bisa berefek seperti pada contoh uraian dari Jared Diamond, apakah ia juga bisa memengaruhi seseorang dalam membentuk gagasan? Gagasan tentang agama, khususnya? Jelas, kemungkinannya sangat besar.
Bagaimana tidak? Gagasan merupakan produk dari organ otak. Otak adalah miliaran sel saraf yang jalin-menjalin kompleks membentuk jaringan. Secara biologis, sifat dasar dari sel saraf sangatlah sensitif.
Gagasan, bagi David Hume, adalah kumpulan kesan-kesan. Kesan itu muncul ketika reseptor sel saraf menerima banyak stimulus dari dunia luar.
Menariknya, konsep dasar mengenai gagasan dari Hume itu juga ditemukan dalam tulisan Nietzsche. Dalam teksnya berjudul Kebenaran dan Kebohongan dalam Makna Ekstra-Moral, ia menulis:
Saat berbicara tentang pepohonan, warna-warna, tentang salju dan bunga, kita percaya memiliki pengetahuan tentang hal-hal dalam dirinya sendiri. Padahal, yang kita miliki hanyalah metafor-metafor dari hal-hal tersebut, dan metafor-metafor tersebut sama sekali tidak berkorespondensi dengan entitas-entitas asali. […] hal dalam dirinya sendiri (chose en soi) ditangkap pertama-tama sebagai rangsangan saraf, lalu menjadi imaji (gambar, representasi), dan akhirnya menjadi suara yang diartikulasikan.
Konsep imaji (gambar, representasi) dalam pandangan Nietzsche sama halnya dengan gagasan dalam pandangan Hume.
Nah, sebagai entitas biologis (organisme), tak bisa dimungkiri jika rangsangan alam berupa iklim dan kondisi geografis lingkungan sangat memengaruhi reseptor saraf yang sangat sensitif itu. Artinya, iklim geografis dan kondisi lingkungan berpeluang besar memengaruhi seseorang dalam membentuk sebuah gagasan, imaji, atau pemikiran.
Tetapi, tunggu dulu, itu kan baru secara logika saja. Apa bukti riilnya? Apa buktinya kalau otak manusia sangat sensitif? Apa buktinya iklim memengaruhi jaringan saraf di otak?
Gampang saja, kita cukup bisa membuktikannya dari 'suhu'. Suhu adalah salah satu unsur iklim. Tak hanya iklim, tubuh manusia juga punya suhu. Konsekuensinya, otak pun tentu juga punya suhu.
Eugene Kiyatkin MD, PhD, peneliti Neurosains dari Universitas Baltimore, mengatakan jika jaringan otak manusia sangat sensitif dengan suhu, terutama suhu panas. Karena otak bagian dari tubuh, maka suhu otak berhubungan dengan suhu tubuh.
Layaknya tubuh, otak juga punya rentang suhu normal, yakni <39° dan >33°. Jika suhu otak kurang atau lebih dari itu, maka akan terjadi perubahan struktur, bentuk, hingga rusaknya fungsi otak. Istilah medisnya, yaitu Brain Hypothermia dan Brain Hyperthermia.
Terlepas dari itu, kita telah melihat bukti nyata secara neurosains-biologis bahwa sel saraf manusia sangatlah sensitif. Namun, apa dampak nyata yang bisa kita lihat langsung? Di sini, bidang psikologi sangat membantu.
Dalam penelitiannya, Craig Anderson (2001) dan Simister & Cooper (2005) menemukan bahwa suhu yang tinggi cenderung meningkatkan agresivitas seseorang. Mereka menganggap dimensi emosional kita sangat mudah terstimulus oleh suhu tinggi. Akibatnya, suhu tinggi juga dapat mengganggu kemampuan berpikir jernih yang kita miliki.
Bahkan, dalam penelitian yang lain, suhu tinggi cenderung dapat meningkatkan risiko bunuh diri (Lee et.al; 2006).
Temuan dari penelitian-penelitian di atas juga berkorelasi dengan beberapa penelitian lainnya. Baru-baru ini, sejumlah peneliti dari University of California dan Princenton University bahkan mengungkap bahwa perilaku kekerasan manusia sangat terkait dengan perubahan iklim.
Mereka menemukan perubahan kecil dalam suhu atau curah hujan menunjukkan peningkatan 4 persen dalam kemungkinan kekerasan dan kejahatan, seperti pembunuhan, penyerangan, pemerkosaan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Lalu, peningkatan 14 persen dalam kemungkinan kekerasan antarkelompok, seperti kerusuhan, kekerasan etnis, dan perang saudara.
Lalu?
Mari kita kembali ke pertanyaan paling utama tulisan ini: apakah kemunculan suatu agama berkaitan erat dengan iklim serta kondisi geografis lingkungan? Apakah iklim dan kondisi geografis lingkungan bisa memengaruhi gagasan manusia tentang agama?
Dengan melihat betapa luar biasanya dampak iklim dan kondisi geografis lingkungan terhadap manusia sebagai entitas biologis yang berevolusi, maka jawabannya adalah: ya. Jika agama adalah produk gagasan manusia, dan gagasan adalah hasil sampingan dari otak sebagai entitas biologis yang berevolusi, maka jawabannya adalah: ya.
Terkait penjelasan di mana kemunculan awal dan mengapa distribusi pandangan agama-agama bisa beraneka ragam terkait kondisi iklim serta geografis lingkungan, mungkin harus diadakan penelitian lebih mendalam lagi.
Dari bukti beberapa penelitian di bidang neurosains dan bio-psikologi yang saling berkorelasi positif, tampak bahwa gagasan dan bahkan perilaku kita bisa ditentukan oleh kondisi iklim dan lingkungan sekitar.
Kini, seluruh dunia tengah gelisah pada perubahan iklim ekstrem akibat ulah manusia yang makin mengkhawatirkan. Akankah pandangan dan sikap kita terhadap agama juga akan berubah ekstrem? Ataukah sebaliknya, agama justru menjadi solusi bagi masalah ini?