Suatu waktu, saya teringat sebuah diskusi rutin setiap malam rabu dengan tema kajian filsafat ilmu. Kala itu, di lantai dua di daerah jantung Kabupaten Malang, tepatnya di Kepanjen sebuah lingkar kajian yang menjadi rutinitas pembelajar di lembaga pesantren luhur Bayt al-Hikam Sekolah Tinggi Filsafat (STF) al- Faraby, yang diampu oleh Kyai Ach. Dzofir Zuhri dan Kak Rusdy yang menjadi lurah pesantren sekitar tahun 2013-14an.
Saya teringat salah satu gagasan teman yang turut serta dalam kajian tersebut, “kalau filsafat ilmu memiliki makna sebagai gagasan yang memuat proses-proses penemuan, bagaimana jika frame filsafat ilmu itu dibalik menjadi “Ilmu Filsafat” apakah makna dan gagasannya akan berubah?”
Tentu hal ini menjadi awal dari respon atas tema kajian filsafat ilmu, dalam hal ini pembahasannya adalah tentang epistimologi. Pernyataan itu tentu spekulatif, tetapi memang begitu adanya, karena kemungkinan-kemungkinan itu pasti ada, apalagi kalau meyakini sebuah keniscayaan.
Bahwa dalam ruang filsafat yang menjadi induk dari segala pengetahuan itu memiliki tiga pendekatan, pendekatan epstimologis, aksiologis dan ontologis. Oleh sebab itu, untuk menuju ruang pemahaman akan “filsafat” agaknya perlu intim sekali dengan pendekatan tersebut, di samping kesediaan hati dan fikiran untuk lebih legowo serta mampu menempatkan diri.
Mengapa demikian? Karena hal ini tentu akan berkaitan dengan ruang spiritualitas kita. Apalagi jika pendekatan dalam belajar filsafat sudah memakai dalil halal dan haram. Bisa runyam dan babak belur dalam mempelajarinya, ibarat kata cinta yang terpaksa pasti hanya akan dipenuhi dengan kesakitan dan kesakitan.
Dalam diskusi ruting saat itu, saya adalah orang yang paling banyak diam, di samping saya telat belajar filsafat, saya juga memang semrawut dalam konsep pembelajaran, khususnya terkait bidang apa yang harus saya pelajari. Saya lemah dalam penataan dan penentuannya. Sehingga saya memilih menjadi pendengar saja.
Tetapi saya benar-benar terbuka hati dan pikiran saya, saat kyai Dzofir mengatakan bahwa pengetahuan itu ibarat pisau yang tajam, jadi tergantung pemakainya, jika digunakan memotong sayuran, buah dan daging maka sasarang pisau itu dan fungsinya jelas memiliki manfaat. Tetapi jika digunakan untuk membunuh atau memotong tangan orang tentu lain hal. Oleh sebab itu, belajar ya belajar saja, tidak perlu terlilit oleh dinamika halal dan haram.
Sama halnya dengan memandang angka 9 atau 6 dari sudut yang berbeda. Jika yang melihatnya dari kepalanya, maka ia akan menyimpulkan bahwa itu angka Sembilan, lain hal dengan yang melihat pada ekornya, ia akan mempertahankan argumentasinya sampai berdarah-berdarah bahwa angka itu adalah angka enam.
Semakin kesini, saya merasakan bahwa manfaat belajar adalah kedewasaan dan penempatan diri. Hal ini berkaitan dengan etika, di mana ketika kita tidak tahu atas pembahasan tertentu, bahkan nyambung saja tidak, maka kita lebih baik banyak mendengar dan memahaminya terlebih dahulu, dan sebaliknya, jika kita mengerti, walaupun itu sedikit, dan nyambung terhadap pembahasan itu, ya monggo-monggo mawon untuk berargumentasi.
Dalam konteks ini, saya ingin sumbang rembug terkait dinamika sarjana muslim, cendekiawan muslim, yang baru-baru ini sedang asyik dan kritis dalam perdebatan-perdebatan keilmuan. Di mana untuk menuju kebenaran kolektif perlu adanya peramuan, perakitan, bongkar pasang pengetahuan baik yang empiris maupun yang mutlaq adanya, sehingga menemukan titik kebenaran kolektif.
Jatuh bangun dan dinamika yang riuh renyah, bahkan terkadang pahit juga, bahkan mlempem juga, itu wajar dan akan indah pada waktunya. Perjumpaan-perjumpaan akan klaim kebenaran adalah dinamika yang wajar dan sadar, saya yakin ini digerakkan oleh Tuhan dan dibarengi oleh kanjeng Nabi Saw. point of viewnya bukan pada siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi mendudukan dan sikap legowo atas hasil diskusi itu yang lebih utama.
Baca Juga: Novel Religi Pembangun Jiwa
Kalau meminjam isilah dari Jujun S. Suriasumantri untuk menemukan kebenaran maka dapat dibedakan menjadi dua jenis, pertama upaya menemukan kebenaran itu dari gerak dan semangat manusianya, kedua adalah menerima kebenaran yang disodorkan berupa wahyu, atau juga sunnah.
Dengan kata lain, proses untuk menuju pada kebenaran ini perlu pendayagunaan intelektual mausia yang sudah melekat sejak lahir, serta keterbukaan hati atas kebenaran yang dimaksud, entah nanti hasilnya bujuk’i atau kita terlalu kepincut sehingga pemahaman akan kebenaran ya wis ngunu anane, begitu adanya.
Lain hal ketika respon menuju kebenaran ini diterima dengan kelapangan dan keterbukaan, jauh lebih ayem dan benar yang dikatakan dalam filsafat, lebih bijaksana. Sayangnya, masih ada klaim-klaim kebenaran yang visinya adalah mempertahankan kenyamanan, setatus sosial, bahkan kegantengan atau kecantikan.
Padahal implikasi yang dibutuhkan masyarakat luas baik yang awam atau tidak, di samping keberpihakan juga keterbukaan. Pendek kata, kalau gagasan itu salah, ya harus legowo mengakui kesalahan, atau sebaliknya, jika kebenaran yang dibawa dan diargumentasikan itu disetujui maka santai saja, biasa-biasa saja, karena prinsip wa jadilhum bil ma’ruf agaknya demikian. Tapi, mau bagaimana lagi, kejujuran intelektual itu mahal harganya, apalagi kalau kaitannya dengan eksistensi.
Dalam filosofi jawa kita kenal sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji,ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, trimah mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih, langgeng tan ana susah tan ana bungah, anteng mantheng sugeng jeneng. Filosof Nusantara Sosrokartono dalam hal ini ingin menyampaikan bahwa apapun itu, bagaimanapun kondisi itu maka bersikaplah baik dan konsisten. Sebagai arif tidak perlu mendiskreditkan, mengkerdilkan dan menyudutkan.
Kalau mereka yang meyakini bahwa argumentasinya benar bahkan enggan untuk menanggapi kritik dan saran, biarkan saja, karena tugas mengingatkan sudah gugur. Kita tidak tahu dampak apa jika ia atau siapapun saja lalu banting setir menuju saran atau menerima kritik kebenaran kolektif yang kita tawarkan. Karena kita tidak bisa mengontrol sesuatu yang ada di luar kita.
Namun sebaliknya, jika ada penerimaan atas kritik dan saran dari ruang kebenaran kolektif, maka bukan lantas si pemberi kritik tadi menang. Karena bisa jadi memang yang dikritik belum utuh epistimologisnya, atau sebaliknya. Karena mempelajari sesuatu itu harus sampai ujung, bukan di tengah-tengan lalu ejakulasi.
Disadari atau tidak, Tuhan menguji manusia dengan nikmat dan juga sakit. Nikmat berupa kecerdasan dan kecakapan, sakit berupa tertutupnya hati dan sempinya jiwa. Berangkat dari apa yang dikatakan Plato bahwa “bersikaplah baik, karena bisa jadi semua orang yang anda temui sedang berjuang dalam pertempuran yang sulit.”
Maka beruntunglah bagi anda yang dibekali dengan pemikiran dan cakrawala yang luas, sehingga mampu menuju kebenaran kolektif, paling tidak mendekati sumber kebenaran. Begitu juga bagi anda yang sedang berjuang dalam kondisi yang sulit, semoga dimudahkan, karena bertahan itu perlu energi yang luar biasa besar.
Merujuk pada ingatan kondisi diskusi delapan tahun lalu itu, saya sadar bahwa belajar apapun perlu totalitas tanpa batas, sampai mentok, sampai ujung, karena untuk menemukan kebenaran perlu menjumpai keruwetan-keruwetan, kadang juga keblasuk, seperti kata pepatah berakit-rakit dahulu, berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.[]