Banyak panggilan yang diberikan pada perempuan yang melahirkan kita. Ada yang memanggil dengan umi, mama, ibu, mak, dan panggilan lainnya tanpa kehilangan subtansi, sosok yang paling berjasa dalam hidup kita.
Meski ibu merupakan sosok paling berjasa dalam peradaban manusia. Meski ibu rela berkorban nyawa demi anaknya, namun ibu bukanlah sosok pamrih.
Bahkan ibu kerap kali disalahkan ketika anak bandel, ketika urusan rumah tidak sesuai dengan keinginan suami. Sosok fenomenal itu tetap ikhlas dan tersenyum ketika anaknya setengah membentak.
Entah bentakan itu karena rasa masakan yang kurang pas, atau si anak merasa ibunya terlalu mengekang. Ibu tetap akan berada di samping ketika si anak sakit fisiknya, atau saat si anak terluka hatinya.
Belakangan ini para ibu mendapat tugas baru, bukan mencuci pakaian anak atau suami. Tugas baru itu disebabkan ketidakbecusan pemerintah melayani rakyatnya. Tugas yang harusnya dilaksanakan mereka yang dibayar oleh uang para ibu.
Namun lagi dan lagi, para ibu disalahkan. Ucapan Megawati sebagai perempuan yang tidak pernah merasakan susah, perempuan yang sejak kecil serba kecukupan. Memang wajar.
Wajar karena ia seorang politisi tanpa empati. Wajar karena ia tidak pernah antri, bahkan kita juga ragu apakah ia pernah memasak. Kita sangat yakin di rumahnya minyak goreng berlebih, maklum mantan presiden dan sekarang petugas parpolnya merupakan presiden republik negeri ini.
Karena tak ingin parpolnya kehilangan suara, tak ingin petugasnya disalahkan, maka para ibu yang disalahkan. Begitulah takdir ibu di negeri ini. Yang bodoh siapa yang disalahkan malah para ibu.
Menterinya mengakui bahwa ia tak kuasa melawan mafia minyak goreng. Lalu, siapa para mafia itu. Mengapa pemerintah yang memiliki kuasa seperti lemah tak berdaya. Apakah mereka para donatur capres di masa lalu?.
Lalu pantaskah kebodohan mereka kemudian dilimpahkan kepada para ibu. Harusnya mereka malu karena membuat sosok fenomenal (Ibu) harus antri. Harusnya negara melayani para ibu, ingat mereka bertaruh nyawa saat melahirkan bayi.
Kelangkaan minyak goreng dan fenomena antrian para ibu adalah bukti kegagalan pelaksanaan UUD 1945. Kegagalan menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana amanah pasal 33 UUD 45.
Apakah para mafia lebih mampu menguasai pasar hari ini. Apakah para mafia sudah dan sedang menguasai cabang-cabang produksi yang penting. Jika ya, apakah pemerintah yang memiliki POLRI/TNI serta BIN, tidak mampu melawan mereka.
Bukankah jika pemerintah mau, BIN dengan mudah mengendus keberadaan mafia. Dan POLRI/TNI dengan mudah menangkap mereka. Kecuali mereka telah menguasai POLRI/TNI dan BIN. Semoga saja mereka (mafia) tidak menguasai istana.
Setidaknya kita berharap, jangan lagi urus menu makanan para ibu. Tugas ibu sudah sangat melelahkan, jangan salahkan mereka karena kegagalan kalian melawan mafia.
Jika memang tak mampu mensejahterakan rakyat jangan pula menyalahkan rakyat. Mundur saja, silakan menjadi rakyat biasa. Silakan mencoba antri minyak goreng. Siapa tahu Anda akan sadar bahwa menjadi rakyat itu tak semudah bayanganmu.
Ibu hanya berusaha mensejahterakan anak dan suami, mereka berusaha memahami kegagalan pemerintah. Mereka tidak marah harus antri berjam-jam, mereka memutar otak agar uang belanja cukup untuk sebulan.
Pernahkah para elit sedikit saja menggunakan empati. Apakah mereka ikhlas ketika ibunya dihina. Apakah mereka lupa bahwa ibulah yang melahirkan mereka. Ibulah yang membesarkan mereka.
Inikah balasan negeri ini untuk para ibu yang rela tersengat mentari karena ketakutan pemerintah pada mafia. Bukankah mengakui kegagalan dengan tulus lebih mulia ketimbang menyalahkan korban kegagalan kita.
Lalu di mana pancasila belakangan ini. Di mana pula mereka yang meneriakkan pancasila saat minyak goreng langka. Apakah nilai-nilai pancasila hanya dimunculkan saat memberangus organisasi yang kritis terhadap pemerintah.
Lihatlah mereka begitu sering bicara pancasila saat FPI dibubarkan. Lalu diam saat mafia beraksi, dan diam pula saat para ibu disalahkan oleh mantan presiden yang masih berkuasa. Padahal ucapan itu jelas jauh dari nilai-nilai pancasila.
Kalaupun nilai-nilai pancasila sudah tidak lagi digandrungi, sudah lenyap dari otak elit politik, setidaknya mereka mengingat perjuangan seorang ibu. Saat hamil misalnya, para ibu akan kesulitan tidur, selalu dalam posisi tidak nyaman.
Bahkan para ibu harus selektif akan makanan yang dikonsumsi. Dalam beberapa kasus, para ibu harus menahan keinginan mengkonsumsi makanan kesukaan.
Bayangkan pula bagaimana para ibu memasak dengan membawa beban tambahan. Para ibu harus melakukan aktifitas normal dengan beban yang selalu dibawa. Dan terakhir perjuangan para ibu saat melahirkan.
Kiranya sudah begitu besar jasa para ibu bagi kita, bagi negara, bangsa, dan agama. Namun ucapan Megawati menunjukkan elit kita benar-benar telah hilang sisi manusianya.
Ibu maafkan kami. Maafkan kami yang gagal memilih para pejabat yang amanah.