Belum lama, tengah heboh soal kasus Agnes Monica atau yang akrab disapa Agnez Mo yang mengaku tidak mempunyai darah Indonesia. Hal itu disampaikan Agnez pada menit ke-7 dalam sebuah video di YouTube ketika menjadi bintang tamu dalam program Build Series by Yahoo yang dipandu oleh Kevin Kenny.
"Sebenarnya aku tidak memiliki darah Indonesia atau apa pun itu. Aku (berdarah) Jerman, Jepang, Cina, dan aku hanya lahir di Indonesia," begitu kata Agnez.
Hal itu membuat netizen mengamuk lalu menghujat Agnez Mo dan mengecapnya tidak memiliki rasa nasionalisme setelah berkarier di negeri orang. Namun, kita tahu sendiri, walaupun sebagai minoritas, banyak orang yang ‘tak asli Indonesia’ yang dengan bangga mengharumkan nama Indonesia di dunia Internasional. Sebut saja Susi Susanti dan Cinta Laura.
Kasus ini lalu dikaitkan berbagai pihak sebagai masalah yang berkaitan dengan SARA. Bahwa ada rasa tidak senang dan terhadap nasib Agnez Mo walaupun sebagai minoritas dan lain sebagainya. Tapi sebenarnya yang jadi masalah bukanlah SARA atau kecemburuan, yang menjadi masalah adalah kemampuan literasi bangsa Indonesia.
Dari hujatan-hujatan tersebut jelas sekali bahwa para netizen yang menghujat tidak dapat membedakan makna dari darah, bangsa, dan nasionalisme. Sering kali netizen tidak membaca dengan saksama, lalu mencari sumber lain untuk memastikan, lalu berkomentar. Bahkan ada yang langsung berkomentar begitu melihat judul ataupun headline berita.
Padahal, maksud perkataan Agnez Mo tidak memiliki darah Indonesia adalah bahwa dia tidak memiliki keterkaitan secara biologis dengan keturunan langsung Indonesia. Namun, harus diperhatikan bahwa hal itu bukan berarti dia tidak mengaku bangsa Indonesia.
Kebangsaan dan keturunan adalah dua hal yang berbeda. Banyak bangsa Indonesia yang tidak mempunyai keturunan Indonesia. Hal tersebut telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 di mana Repubik Indonesia menganut ius soli dan ius sanguinis terbatas. Jadi tidak ada keharusan bahwa seseorang harus memiliki ‘darah’ Indonesia untuk menjadi warga negara Indonesia.
Bahkan, faktanya di negeri yang terdiri dari ribuan pulau ini memiliki akar DNA yang sangat beragam karena di setiap pulau memiliki leluhurnya sendiri. Belum lagi, terjadi perkawinan silang dengan pendatang dari negeri lain seperti India, Arab, Cina, dan Eropa. Tidak ada yang benar-benar pribumi di bumi pertiwi ini.
Namun hal itu gagal dipahami oleh para netizen, yang kebanyakan hanya menonton sebagian potongan video lalu mengujar seluruh kebenciannya tanpa memahami dan menelusuri keseluruhan konteks dalam video tersebut.
Tak heran Indonesia masuk dalam list negara dengan literasi terendah yang dirilis oleh UNESCO. Digambarkan juga oleh UNESCO bagaimana rendah keinginan orang Indonesia untuk membaca. Indeks membaca Indonesia hanya 0,001% yang berarti dari setiap 1000 orang, cuma satu orang yang memiliki minat membaca.
Ini merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa yang besar pula ini. Membaca adalah proses mengolah informasi yang dilakukan untuk mendapatkan dan mempelajari sebuah ilmu. Jika literasi bangsa Indonesia memburuk, maka kehancuran akan terjadi, dimulai dari pembodohan massal.
Pemerintah pun setuju
Belum lama, Kemendikbud mengeluarkan pernyataan yang menghebohkan masyarakat, yaitu penghapusan Ujian Nasional atau yang kerap disingkat UN atau EBTANAS dulunya. Namun, dihebohkan kembali dengan klarifikasi Nadiem selaku Mendikbud bahwa Ujian Nasional bukan dihapus, tetapi diganti formatnya.
Ujian Nasional direncanakan akan diganti menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang akan dilaksanakan di tengah masa belajar, bukan di akhir seperti UN.
Asesmen kompetensi sendiri dibagi dua, yaitu literasi dan numerasi. Literasi adalah kemampuan untuk mencerna isi bacaan bukan hanya membaca. Sedangkan numerasi bukan hanya tentang berhitung, tetapi kemampuan untuk mengaplikasikan konsep menghitung dalam suatu konteks yang nyata.
Pemerintah tampaknya telah sadar bahwa kemampuan literasi masyarakat Indonesia rendah. Ditambah lagi pendidikan dan sistem penilaian yang ada sekarang ini tidak efektif dalam menyeleksi maupun menilai kemampuan siswa dan kualitas pendidikan secara nasional.
Ujian Nasional yang diselenggarakan sampai sekarang ini tidaklah cukup untuk mengukur kemampuan siswa, namun sebatas menilai memori siswa. Materi yang digunakan dalam UN kebanyakan mengharuskan siswa untuk menghafal agar dapat menjawabnya. Ujian seperti ini tidak dapat mengukur kemampuan kognitif siswa, karena siswa belum tentu mengerti dengan apa yang dihapalkannya dapat lulus dengan baik.
Hasilnya, para lulusan yang setelahnya menjadi bagian dari masyarakat jadi malas bila diajak membaca karena dulunya dipaksa menghafal dan tidak merasakan manfaat dari membaca. Inilah contoh lain dampak mengerikan dari rendahnya kemampuan literasi, yaitu pembodohan massal.
Padahal kemampuan literasi adalah fondasi yang dibutuhkan oleh seseorang dalam mempelajari ilmu-ilmu yang sebagian besarnya disimpan dalam bentuk bacaan. Tidak mungkin seseorang mempelajari sesuatu bila ia tidak mengerti penjelasannya.
Hal ini harus disadari seluruh masyarakat dan pemerintah khususnya bila kita ingin menjadi negara yang besar dan maju dan keputusan kemendikbud ini menjadi langkah pertama dalam mewujudkannya.
Namun, hal ini tidak cukup. Perubahan tidak cukup hanya terjadi pada penilaian dan evaluasi, tetapi juga harus ada perubahan besar-besaran pada kurikulum yang ada saat ini.
Bila setiap warga memiliki kemampuan literasi yang tinggi, maka bukan tidak mungkin kita dapat berkontribusi dan membanggakan Indonesia dalam persaingan Internasional seperti Agnez Mo dengan kemampuan dan keahlian kita masing-masing.