Berbicara tentang manusia kita akan memiliki cara pandang yang berbeda, antara kita dan peristiwa yang telah larut menjadi kelam. Melalui daya pikir yang selalu cacat dengan mudah kita temukan istilah latin yaitu homo, yang berarti manusia.
Dalam kisah juga kita menemukan istilah economicus turunan langsung dari kata yunani oikonomikos. Yang pernah dipakai oleh Xenophon hidup sekitar 430 SM.
Kata oikonomikos yang berarti tata pengelola ladang atau aturan rumah tangga, dalam artian orang-orang zaman itu memiliki mata pencarian mengelola ladang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan polis.
Alkisah, oikonomikos atau pengelola ladang untuk kebutuhan bersama pun berubah dari istilah maupun maknanya dengan seiring berganti zaman yang menjadi Homo economicus atau makhluk ekonomi yang hanya mengejar kepentingan diri.
Lalu demikian, dari manakah istilah itu berasal? Melalui cerminan masa kelam, para pemburu pun menemukan jejak awal dari pengertian homo economicus dari seorang pemikir inggris di paru pertama abad ke-19, yang bernama Jonh Stuart Mill. Itu rupanya jejak awal pemahaman homo economicus.
Mill menulis yang dikutip oleh Herry Priyono dalam kajianya tentang Homo economicus (2017) tulisan Mill dalam Essays on Some Unsettled Questions of Political Economy (Mill 1844). Ia memberikan pandang tentang ekonomi politik sebagai ilmu:
“..ekonomi politik.. tidak mengkaji seluruh kuadrat manusia yang dimonifikasi oleh tata sosial, tidak juga membahas seluruh perilaku manusia dalam masyarakat. Ia berurusan dengan manusia semata-mata hanya sejauh ia makhluk yang berhasrat memiliki harta dan mampu menilai manjurnya sarana yang satu dibanding sarana lain dalam mengejar tujuan itu, yakni pengejaran hasrat atas kekayaan”.
Akan tetapi, Mill hanya melanjutkan tongkat estafet yang dibawa oleh Adam Smith salah satu toko ekonom termasyhur di Skotlandia yang berpengaruhnya hingga penjuru dunia.
Karya besarnya biasa disingkat The Wealth of Nations (1776). Dalam jejak Smith urusan kemakmuran, ia mencoba memberikan tekanan pentingnya perdagangan bebas untuk menghasilkan dinamika akumulasi kekayaan.
Dalam nilai tukar, Smith terlalu jujur dalam memandang manusia. Kalimatnya yang termasyhur: “bukan kebaikan hati si pemotong daging, minuman atau tukang roti, kita memperoleh makanan kita, tapi dari rasa cinta diri atas kepentingan diri mereka sendiri’’ (Smith 1776:15).
Itulah para penjelajah yang doyan akan pengetahuan untuk meneliti diri mereka sendiri, namun perjalanan dari jejak kisah kita belum usai, perdebatan panjang tentang makhluk ekonomi masih menjadi kisah kelam, untuk awal kita memahami manusia ekonomi abad 21. maka, ini hanya menjadi cerita singkat kita untuk bermuara pada hakikat Homo economicus.
Berikut ini beberapa hal yang dibahas untuk menjawab jejak tangka laku manusia ekonomi yang belum usai hingga hari ini. Namun saya bukan seorang psikolog atau pun antropog, melainkan seorang ekonom yang candu. Untuk itu saya tidak akan menyimpulkan, baca dan cermati untuk disimpulkan sendiri.
SELF-INTERST
Awal mula munculnya kepentingan diri sendiri sudah terlihat ketika hadirnya Adam Smith dan Jonh Stuart Mill yang merumuskan kegemilangan pandangannya. Akan tetapi, mencuat ketika H. Heinrich Gossen mengemukakan pandangannya tentang sarana pengukuran hasrat dengan memahami relasi antara subjek dan objek.
Pandangan Gossen secara antropologis filosofis, mengasumsikan manusia yang dibahas ilmu ekonomi sebagai agensi yang bertujuan memaksimalkan kenikmatannya. Inilah rasionalitas manusia ekonomi yang mempertimbangkan sesuatu untuk mengoptimalkan kepuasan.
Melalui jalan ini, kepentingan diri untuk kepuasan harus mempertimbangkan aspek rasional sebagai manusia ekonomi. Ramuan Gossen begitu memabukan, karena menilai manusia akan puas ketika mengoptimalkan kepuasan dengan pertimbangan rasional.
Karena manusia yang dilihat ilmu ekonomi digerakan dalam kerangka kepentingan diri dibanding naluri yang lain, menurut Herry Puryono manusia ekonomi ini mendekati arti selfish atau egois karena kepentingn yang bepusat pada diri.
Maka ketika manusia mulai memasuki era post-modernisme pertimbangan rasionalitas bukan menjadi utama untuk memaksimalkan kepuasan, justru sebuah era di mana keinginan dan kebutuhan menjadi sesuatu yang tidak jelas dan makin sulit dibedakan dengan yang lain, karena ia dikendalikan oleh hasratnya sendiri.
Seperti halnya dikatakan seorang psikolog Gordon Allport bahwa Setiap manusia memiliki kepribadian yang unik secara psikologis, namun justru ia dikendalikan oleh egonya sendiri.
THE SOCIAL LOGIC OF CONSUMPTION
Ketika manusia mengira bahwa ia telah keluar dari gua yang gelap dengan terbitnya modernitas, mala justru ia di mangsa oleh dunia yang ia ciptakan sendiri.
Para pemburu yang doyan melahirkan gagasan pun berlomba untuk menjawab manusia modernitas yang mulai usang.
Akan tetapi, mala semakin terpuruk ketika makhluk bernama post-modernisme lahir, yang menciptakan kecepatan informasi melalui teknologi, dan melahirkan realitas yang semakin palsu.
Hal tersebut, memberi jalan pada kapitalisme dengan sistem yang membujuk manusia untuk menjadi Homo economicus, dimulai dari pecahnya perang dingin antara kapitalisme dan sosialisme.
Kapitalisme pun memenangkan pertarungan melalui wacana, terjinaklah manusia modern yang membentuk kepribadian manusia yang doyan mengkonsumsi, karena terorganisasi di seputar konsumsi dibanding produksi. karakter mengerikan dari manusia ekonomi yang tak terpuaskan.
Berbeda dengan masyarakat tradisional yang cenderung mengkonsumsi sesuatu didorong atas kebutuhan dan kelangsungan hidup. Kata Bagong Suryanto, manusia era kapitalisme mengkonsumsi sesuatu umumnya di dorong faktor irasional, karena kebutuhan yang didasari gengsi dan bukan kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup.
Tak seperti pandangan Adam Smith, yang umumnya mengkonsumsi sesuatu atas dasar pertimbangan serba rasional. Berbeda dengan jejak Jeand P. Baudrillard, perilaku konsumen dibentuk atas dasar perkembangan masyarakat industri maju, yang berbeda pada zaman Smith dan Gossen.
Di mata Baudrillard, logika sosial konsumsi tidak akan terfokus pada pemanfaatan nilai guna barang dan jasa oleh individu, namun fokus pada manipulasi sejumlah penanda sosial.
Pergeseran atas penghambaan terhadap hasrat menjadi dominan pada pribadi manusia industri maju. Pergeseran logika konsumsi, dari logika kebutuhan menuju logika hasrat. Dalam artian, orang tidak lagi mengkonsumsi nilai guna produk, akan tetapi nilai tandanya.
Manusia tidak lagi mengendalikan ekonomi, akan tetapi, ekonomi yang mengendalikan manusia.
LIFE STYLE
Dengan perkembangan zaman yang semakin maju, perilaku dan gaya hidup manusia semakin berubah, karena manusia lebih mementingkan gaya hidup dibanding apa yang di sekitarnya.
Ia akan merasa minder ketika tampil di dunia sosial yang serba mewah, rasa dilema sosial menghantui kehidupan pribadinya untuk mengikuti tuntunan zaman, maka ia mengejar kepuasan atas gaya hidup tersebut.
Gaya hidup berbeda dengan cara hidup. Cara hidup memiliki ciri-ciri seperti, norma, ritual dan pola-pola tatanan sosial. Gaya hidup mencerminkan apa yang dikenakan seseorang, apa yang ia konsumsi dan bagaimana ia bersikap dan berperilaku di hadapan orang lain.
Gaya hidup dibangun di atas kekuatan kapital untuk memperluas pangsa pasar, memanipulasi manusia dengan membangun hasrat yang agresif dalam mengkonsumsi untuk mencapai kepuasan tanpa akhir.
Secara psikis, gaya hidup berupaya untuk membangun hasrat tetap eksis. Di sini, ada suatu perilaku konsumsi yang merupakan imbas post-modern, di mana orang dalam kondisi selalu dahaga. Suatu pola cerdik yang dibangun oleh produsen melalui pencitraan.
Hal pula dinarasikan oleh Bagong Suryanto, citra kemudian menjadi bahasa komunikasi sosial yang romantik dan menciptakan kecemburuan sosial.
Lahirlah perbedaan sosial menurut kelas, status dan selera. Citra menjinakan manusia secara halus untuk membangunkan hasrat dalam diri manusia.
Maka gaya hidup dan perilaku konsumen ibarat ladang yang menjadi habitat subur bagi perkembangan kapitalisme.
HOMO ECONOMICUS
Manusia memiliki potensi baik dan buruk, dapat membedakan benar dan salah. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk rasional yang bertindak sesuai kesadarannya. Ia memilik kemampuan untuk mensosialisasikan diri di hadapan publik karena ia juga makhluk sosial. Maka dengan kemampuan rasional dan bersosial juga ia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan.
Sedangkan ekonomi bagian dari ilmu sosial yang corak kajiannya pada produksi, distribusi dan konsumsi. Tergantung bagaimana manusia mengalokasikan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan secara umum. Sudah kita bahas sebelumnya, bagaimana ekonomi menjadi dasar dari peradaban manusia untuk hidup.
Akan tetapi, akhir-akhir ini ekonomi dikonsepsikan sebagai pencapaian kebutuhan pribadi, jauh dari kebutuhan secara bersama. Lahirlah dilema manusia karena sebagian kaya dan lainnya miskin, sebagian kenyang dan lainnya lapar.
Hasrat saling memangsa demi masa depan yang abstrak. Artinya manusia dikendalikan oleh ekonomi, manusia yang kita kenal rasional dan bersosial, kini terisolasi dan berperilaku individual.
Lalu apa hakikat dari manusia ekonomi dan bagaimana ciri-cirinya?, ciri-ciri dari manusia ekonomi adalah mementingkan dirinya sendiri tanpa pertimbangan rasional, dan hakikat manusia ekonomi sendiri hanya bertujuan memenuhi hasratnya tanpa batas. Ia tak pernah puas bagai binatang buas.