Tanda
Sabda adalah tanda
ada makna pada bahasa
Tuhan tengah bicara
bahwa dirimu juga tanda,
Di sela mata dan bibirmu,
aku eja ribuan tanda
Khayal ku bercumbu
Antara temu dan samudera rindu
2020
Bebal
Aku bebal, mengurai bahasai
Bibirku kaku dihujam ragu
Pikirku sembrono menginginkanmu
Jika hujan adalah puisi,
yang diturunkan langit kepada bumi
Maka kau adalah sajak,
yang diturunkan Tuhan
kepada anak-anak ingatan
Aku terlalu pongah,
untuk mendapatkanmu
Tapi kau mengabadi,
dalam ingatanku
Hingga waktu berbicara,
bagai api melahap kayu
Dia coba berkata ;
"Nanti kau temui hikayat, antara waktu dan sedu"
2020
Merah Kelati
Ingatanmu tajam,
merenangi ampas zaman
Bila jauh-jauh,
—langkah itu semu
Dua bola matamu penuh keyakinan,
menepis penuh perhatian
Dua pundakmu berbeban harapan,
dari kedua orang mulia,
bersimbah do'a, dan semesta cita-cita
Mereka tak henti-henti,
mengirim kalimat takzim
—keharibaan Tuhan
Andai ruang sunyi itu dini hari,
ingin aku, apalagi mereka,
menggetarkan 'Arasy
menghapus semua ilusi klenik
menitipkan setiap langkahmu
Agar tegap, menghadapi zaman
Agar nuranimu, memerah kelati
Membara setiap hari
Setiap waktu, ada yang sedang mendo'akanmu
dia tak pernah ragu
2020
Harapan
Kita hanya jembatan,
antara takdir dan ikhtiar
di sela-selanya ada doa,
dan juga harapan
2020
Malu
Kopi itu tumpah, di derai kalimat senyummu
Gelasnya basah, membasahi ingatan
hingga pertemuan sukar untuk mengering.
Airnya mengalir, dalam hati yang menolak pamit
Bukan ingin melipat waktu,
bukan juga ingin berjarak
Tapi kita bergelagat malu
Untuk menyebut,
—aku rindu kamu
2020
Pantai Ingatan
Kita menolak dekat, padahal hati sedang bercumbu,
aku berani agar tidak malu, sekedar untuk menyentuhmu
Malam yang diterangi cahaya harapan
dibumbui ombak yang berdegup kencang, dihempaskan angin kedamaian
Aku bertanya, masihkah memori itu kau simpan utuh-utuh?
2019
Hikayat Temu
Aku berjalan dalam keterasingan,
kenangan akan selalu
membakar dirinya sendiri
hingga kepergianmu datang
ingatanku tetap tersimpan
Pada linang matamu,
aku berenang dalam kesedihan
aku meminum ingatan
aku tenggelam pada harapan
Di kemudian hari, mungkin kita bertemu
dengan mengutuk rindu.
Rindu sudah semu,
kita temui paralel waktu
aku temui diriku
kau temui dirimu
Kita sama-sama bersedu sedan
atau malah menghapus ingatan?
Sampai menunggu waktu datang,
diriku masih bertualang
untuk terus mengelilingi hati dan pikiranmu
agar aku mendapat pengertian
Hingga kita saling mengerti,
sampai mana nadir itu berhenti
2019
Perempuan itu Bernama Ningrum
Cukup lama kita saling tahu. Namun dirimu tetap saja menganggapku angin lalu. Asal kau tahu, rasa ini tidak semu. Tapi berapi dalam sekam. Membara. Aku menunggu waktu untuk menjadi abu.
Ningrum, aku sedang mempecundangi diri. Sifat itu jungkir balik jika dibanding dengan makna namamu. Kau memiliki kesan bermarwah dengan keharumannya, dengan ketangguhannya. Mereka menganggapmu "mriyayeni" dan bermartabat.
Lalu aku? Hanyalah layu. Bau. Lelaki biasa yang tak bermartabat. Hingga aku berfikir tak pantas disandingmu. Cintaku platonis. Tak sanggup memiliki. Hanya mampu mengasihi.
Hingga aku berfikir, kasih sayang adalah sifat yang aktif. Sifat yang terus berkorban dan memberi. Apakah definisi itu bisa kau masukkan dalam arti perjuangan? Atau aku sedang pongah dengan rasaku ini? Maaf jika aku berlebihan.
Sampai kapan aku terus begini? Sampai aku jadi abu. Bayangkan itu Ningrum.
Abu adalah sisa-sisa zat yang siap untuk memanunggalkan diri dengan bumi. Menyatu. Dan kembali ke tanah. Tidak ada salahnya kan dengan tanah? Tanah beriringan dengan liku hidupmu. Mengayomi, membesarkan, menumbuhkan hingga kau indah seindahnya.
Karena kau adalah bunga, tanah itu tinggal menunggu bunga untuk dipetik. Tentu tanah tak akan memetik bunga yang mekar. Tanah hanya berperan untuk ikut memekarkan bunga itu. Biarlah aku menyatu menjadi tanah.
Menyaksikanmu tumbuh dengan baik. Dan menyaksikanmu pula dipetik saat telah cantik.
Ningrum, aku tidak bisa seperti yang kau inginkan. Tapi perlu kau ingat, aku akan memperjuangkan apa-apa yang kau butuhkan.
Aku yakin di luar sana masih ada yang lebih parah dari kasus pengalamanku mencintaimu. Mungkin sampai ajal seseorang itu tiba. Tapi aku selalu menahan diri agar tidak memaksamu.
Bunga yang baik tidak tumbuh dengan cara terpaksa. Biar dia menari di atas waktu.
Asal kau tau Ningrum, aku tak punya trah ksatria. Tapi aku belajar bagaimana cara berjuang seperti mereka. Laiknya kisah epos Arjuna yang mencintai Drupadi. Atau akhir cerita bahagia dari Laila dan Majnun. Atau lagi Romeo dan Juliet yang rela sehidup semati.
Hingga sajak ini kutulis, aku ibarat Majnun yang tergila-gila pada Laila. Yang aku nikmati bukan diksi atau bagaimana nanti sajak ini sampai di hadapanmu. Tapi yang aku nikmati bayangan senyummu. Oh, aku mabuk kepayang.
Ningrum, aku tidak berani mengklaim bahwa kau membalas rasaku. Aku tidak ingin tahu juga bahwa kau sama menyayangiku. Karena, jika aku tahu, aku akan nyaman dan mengelakkanmu. Aku tidak berjuang lagi untuk mendapatkan kasihmu.
Biarlah. Aku terus berjuang untuk serius. Jika nanti kita tak bisa bersanding. Percayalah, pasti ada yang lebih baik dan pantas untuk memetikmu. Biarlah. Biar aku menjadi tanah sampai akhir hayatku.
2020