Sebelum membaca tulisan ini, saya sarankan kepada sidang pembaca untuk membaca tulisan saya sebelumnya karena beberapa contoh yang sama masih akan saya gunakan di sini.

Setelah tulisan yang lalu itu, saya kemudian juga terpikir untuk mencari satu penjelasan guna menjawab rasa ingin tahu saya tentang mengapa soal-soal aritmatika mesti dikerjakan berurutan dan hierarkis dari perkalian, pembagian, pertambahan, dan pengurangan (biasa disingkat "kabataku": kali, bagi, tambah, kurang). Ya, di masa remaja, saya kerap bertanya mengapa harus begitu?

Saya sendiri hanya penyuka matematika amatir. Barangkali bapak saya di rumah adalah orang yang berjasa pertama kali membuat saya menyukai matematika. 

Selain bapak, ada dua guru matematika saya di sekolah dasar dan menengah yang membuat saya menyenangi matematika, yakni Bapak Suhyar AK, guru SD saya dan Bapak Bujang Pisesa, guru SMP saya. Ketiga orang itu adalah guru utama saya bermatematika di masa remaja dan karenanya dua tulisan serial ini saya persembahkan buat mereka. 

Selanjutnya, saat sekolah menengah atas, saya kehilangan gairah kematematikaan karena tak menemukan guru 'inspiratif' yang membuat saya menyenangi pelajaran matematika. Sebagai jalan keluarnya, saya menyalurkan energi saya pada dunia seni, terutama teater. 

Kembali ke persoalan "kabataku", pertanyaan saya, mengapa soal-soal perkalian dan pembagian mesti didahulukan ketimbang soal-soal penjumlahan dan pengurangan jika operasi-operasi itu mesti dilakukan dalam satu langkah hitungan?

Misal: 2 + 3 x 4 - 6 : 2 = ? 

Apakah jawaban yang benar adalah a.) 7; yakni dengan cara kita selesaikan soal penjumlahan, lalu perkalian, lalu pengurangan, dan kita akhiri dengan pembagian. atau ,b.) 11; yakni dengan cara kita selesaikan soal perkalian dan pembagian dahulu, baru kita lanjutkan dengan penjumlahan dan pengurangan setelahnya. 

Problem ini terus saya simpan dalam ingatan saya sampai kemudian saya memiliki waktu sedikit senggang untuk memikirkannya berlama-lama. Hal itu berkaitan pula dengan apa yang telah saya tulis sebelumnya, yakni konsep matematika sebagai sebuah abstraksi kenyataan.

Sekali Lagi: Abstraksi Kenyataan

Dalam perkalian di tulisan saya sebelumnya (sila tengok tulisan saya sebelumnya), kita bisa melihat dengan jelas bahwa 6 (kambing) dikali 3 (kandang) akan menghasilkan 18 kambing, dan bukan 18 kandang.

Penjelasan yang saya pikir memadai atas hal tersebut ternyata tidak ditentukan oleh hitungan "kambing" atau hitungan "kandang" semata. Maksud saya begini, jika soal itu dibalik menjadi 3 (kandang) dikali 6 (kambing), hasilnya tidak akan bisa menjadi 18 kandang. 

Ya, karena dalam kenyataannya, tidak ada "kandang" yang muat di dalam "kambing" (kecuali mainan atau miniatur kandang-kandangan yang kita masukkan secara paksa ke dalam lambung kambing). Sementara, sebaliknya, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kambing sangat lazim untuk dimasukkan ke dalam kandang. 

Contoh lain, juga dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kita sangat lazim mendapati "apel yang dimasukkan ke keranjang"; namun tidak lazim mendapati (atau malah tidak ada?) "keranjang yang dimasukkan ke dalam apel". Hal itu dengan mudah membuat kita memahami mengapa, misalnya dalam menghitung apel, 4 (apel) dikali 5 (keranjang) akan menghasilkan 20 apel.

Kita abstrasikan: 4 (apel) x 5 (keranjang) = 20 apel. Kita tidak bisa sewenang-wenang menukarnya menjadi: 4 (keranjang) x 5 (apel) = 20 apel (meskipun kalimat ini masuk akal dan benar, namun itu artinya kita menukar lantai-kenyataan).

Dari penjelasan itu, saya menyimpulkan bahwa "bilangan pengali" (operator) mesti mewakili sesuatu yang 'mewadahi' dari "bilangan asal" yang dikalikannya. "Kandang" umumnya lebih besar dan 'mewadahi' "kambing"; dan begitu juga "keranjang" umumnya lebih besar dan 'mewadahi' "apel". 

Dalam menghitung kambing dan apel, kita membutuhkan sejumlah kandang dan keranjang sebagai pengalinya. Sementara, sebaliknya, kita tidak bisa menghitung kandang dan keranjang dengan menggunakan kambing dan apel sebagai pengalinya (operatornya).

Ingat, penjelasan saya ini adalah penjelasan atas kenyataan sehari-hari dan saya tidak berbicara dalam abstraksi-abstraksi lain yang lebih rumit dalam matematika. 

Lebih jelas:

Kita bisa melakukan hitungan dalam kenyataan sehari-hari: 6 (kambing) x 3 (kandang) = 18 (kambing); 4 (apel) x 5 (keranjang) = 20 (apel). Sementara, dalam kenyataan sehari-hari, kita tidak akan mendapati hitungan: 3 (kandang) x 6 (kambing) = 18 (kandang); 5 (keranjang) x 4 (apel) = 20 (keranjang).

Mengapa? Karena kandang tidak muat dalam tubuh kambing, sebagaimana pula keranjang tidak muat dalam sekepal apel. Selain itu, dalam kedua perkalian itu, kita sesungguhnya sedang menghitung dan mengabstraksi "kambing" dan "apel"; dan bukan "kandang" dan "keranjang".

Oleh karenanya, pertanyaan terpenting saat kita akan melakukan operasi aritmetika dalam kehidupan nyata, kita perlu bertanya terlebih dahulu: "Kita sedang menghitung apa?" Jika sudah tahu kita akan menghitung apa, maka mulailah dari abstraksi atas benda itu dan bukan dari operatornya.

Kita ambil contoh berikutnya dalam soal pembagian dalam kehidupan nyata:
Jika saya menemukan soal 21 : 3 = ?, maka pertama kali, saya akan bertanya: bilangan 21 adalah abstraksi atas "benda" apa? Jika identifikasi benda itu sudah terjawab dan tujuan dari abstraksi itu juga sudah terpenuhi, maka kita dapat melakukan operasi pembagian dengan segera atasnya.

Sebagaimana dalam tulisan saya yang pertama kemarin, kita akan dudukkan dahulu bahwa 21 adalah bilangan asal, yakni bilangan yang mewakili realitasnya: kambing --dan karenanya disebut di awal--; sementara 3 adalah bilangan pembagi-nya (pengoperasinya, mewakili kandang, dan disebut kemudian). 

Saya ulang 'logos' (perkataan) yang telah saya gunakan sebelumnya: "Terdapat duapuluh satu ekor kambing yang akan dimasukkan ke dalam 3 buah kandang. Berapa ekor kambingkah tiap kandang itu masing-masing akan kita isi?" 

'Logos' barusan membuat persoalan menjadi jelas dan masuk akal bahwa kita sedang menghitung kambing. Seandainya kita pertukarkan 'logos' itu menjadi sebaliknya, misal, "Terdapat duapuluh satu kandang yang akan dimasukkan ke dalam 3 ekor kambing. Berapa buah kandangkah yang akan kita isikan ke masing-masing kambing itu?", maka kita akan dibuat pening olehnya. Ya, karena perkataan itu menjadi tak masuk akal dalam kenyataan.

Hal itu juga memperjelas pemahaman saya bahwa "bilangan asal" (dan disebut pertama dalam suatu operasi bilangan) bukanlah bilangan sepele yang dapat kita pertukarkan begitu saja dalam kenyataan.

Perkalian Dahulu Ketimbang Penjumlahan

Penjumlahan adalah mengoperasikan "benda nyata sejenis", sementara perkalian adalah upaya mengoperasikan "kenyataan tidak sejenis". Maksud saya begini, saat kita menjumlahkan 3 + 2, itu artinya kita sedang menambahkan  "3 kambing" dengan "2 kambing". 

Kedua bilangan itu adalah abstraksi dari "benda nyata sejenis" bernama kambing. Selain itu, kita juga sudah mengetahui bahwa kita tak akan menjumlahkan 3 kambing dengan 2 kucing untuk mendapatkan 5 kambing atau 5 kucing. 

Sementara dalam perkalian --yang berbeda dengan penjumlahan-- kita mengoperasikan "kenyataan tidak sejenis". Maksud saya, kita hanya bisa mengalikan "6 kambing" dengan "3 kandang" dan tidak akan bisa mengalikan "6 kambing" dengan "3 kambing" (operasi yang tepat dari 'logos' yang terakhir ini barangkali adalah mengawinkan dan bukan mengalikan. Hihihi...) Mengapa? Karena 'logos'-nya akan menjadi kacau.

Bagaimana mungkin kita akan mengalikan sejumlah kambing dengan kambing lain. Bukankah lebih masuk akal jika kita mengalikan kambing dengan kandang? 

Ya, karena kambing bisa dimasukkan dan dimuat dalam sebuah kandang. Jika kita paksakan mengalikan kambing dengan kambing, maka kita akan mendapati hal yang tak logis (karena 'logos'-nya berantakan): bagaimana mungkin kita bisa memasukkan atau memuat kambing ke dalam kambing lainnya? (kecuali kambing itu kanibal. Hihihi..) 

Dengan memahami itu, maka hierarki "kabataku" mendapatkan penjelasannya buat saya. Artinya, dalam sebuah deret penghitungan yang melibatkan berbagai operator, kita mesti membuat semuanya menjadi "benda sejenis" terlebih dahulu, baru setelahnya penghitungan bisa dilaksanakan. Begitulah yang terjadi dalam kenyataan.

Pembuat Soal Mesti Memahami Abstraksi

Kembali ke soal di awal tulisan ini, bagaimana kita melakukan operasi atas: 2 + 3 x 4 - 6 : 2 = ? 

Untuk menjawab soal itu, tentu hal pertama yang mesti dilakukan adalah memahami 'logos' dari abstraksi itu, yakni perkataan dari operasi yang akan kita lakukan itu. Apakah deret operasi itu bermaksud --kita andaikan-- mengatakan:

1. "Dua kambing ditambah tiga kambing; lalu hasilnya dikalikan empat kandang; kemudian dikurangkan enam kambing; kemudian dibagikan kepada dua pembeli." Atau,

2. Sisihkan dua kambing; setelah anda sisihkan dan pisahkan, nantinya anda mesti menjumlahkan dua kambing itu dengan hasil dari perkalian tiga kambing yang ada dalam empat kandang; setelah itu semua, anda baru boleh mengurangkannya dengan dengan enam kambing; sebelum kemudian membagikannya kepada dua orang saudara anda." Atau,

3. dan kemungkinan 'logos' lainnya semampu anda dapat menafsirkan dan mengandaikannya.

Sampai di sini, buat saya, pertanyaan itu dengan demikian memperlihatkan ketidakjelasannya dalam membuat abstraksi. Maksud saya, saya hendak mengatakan bahwa orang yang membuat dan mengajukan pertanyaan itu tidak cukup cerdas memberitahu kepada kita perihal apa yang sedang ingin dia hitung? Jelasnya, apa, sih, sesungguhnya yang sedang dia abstraksikan saat itu?

Jika dia tidak tahu apa yang sedang dia hitung dan abstraksikan itu, bagaimana pula kita akan bisa membantunya memberi jawaban. Bukankah, ada ujar-ujar terkenal yang mengatakan, "merumuskan pertanyaan dengan baik akan membuat kita mendapatkan separuh jawaban"?

Oleh karena itu, pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang belum cukup baik. Artinya, pertanyaan itu belum cukup mengabstraksikan sesuatu dengan gamblang kepada kita. Lantas bagaimana kita akan mengoperasikannya? Apakah soal itu memang sengaja akan menggelincirkan mereka yang menjawabnya? Jika iya, betapa jahatnya dia.

Lain halnya jika si pembuat soal itu membuatnya menjadi lebih mudah semisal:

(2 + (3 x 4)) - (6 : 2) = ?        (11)
Atau,
(2 + 3) x (4 - (6 : 2)) = ?        (5)
Atau,
((2 + 3) x 4) - (6 : 2) = ?        (17)
Atau,
dan seterusnya.

Jika itu soalnya, maka kita akan dengan cepat memahami abstraksi itu dan dengannya kita akan bisa membantu menyelesaikan hitungan si pembuat soal.

Pembuat soal atau perumus pertanyaan mestinya benar-benar memahami rumusan pertanyaan yang dibuatnya dan jawaban apa yang dikehendakinya. Ketimbang membuat pertanyaan yang kabur, akan lebih baik jika pertanyaan itu dibuat menjadi semakin jelas dan gamblang. Begitulah, pembuat soal matematika yang baik mestinya memahami pula abstraksi apa yang sedang dipertanyakannya dalam soal itu. Begitu seharusnya.

Oh, ya, jika ada orang memberikan soal semacam itu --semacam soal di awal tulisan ini-- kepada saya, dengan jujur saya akan mengatakan kepadanya: "saya tidak tahu jawabnya". Ya, jawaban "tidak tahu", buat saya, bukan hal yang tabu. Apalagi pertanyaan itu tidak cukup jelas buat saya.

Untuk apa pula saya paksakan diri saya menjawab soal yang pertanyaannya saja tidak saya pahami? Ada banyak hal di luar sana yang saya tak punya cukup pengetahuan atasnya. Saya tinggal menambahkan soal di atas itu dalam daftar ketidaktahuan saya. Segampang itu. [ptx.]