Salah satu tokoh besar dalam filsafat di era modern adalah Rene Descartes. Descartes terkenal dengan diktum filosofisnya yang berbunyi ‘aku berpikir maka aku ada’. Dengan diktum tersebut muncullah formulasi individu yang rasional,   berpikir objektif, dan tanpa dipengaruhi oleh kondisi sejarah yang melingkupinya.

Kesadaran individu yang dibangun melalui fondasi filsafat Descartes merupakan formulasi yang bertahan hingga abad ke-20. Formulasi tersebut  kemudian melahirkan istilah subjektivitas. Subjektivitas dalam arti manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas dan menjadi ukuran segala sesuatu (Hardiman, 2019, p. 3).

Lain halnya dengan situasi manusia pada abad pertengahan yang mengenali dirinya sebagai ras, keluarga, tradisi, dan otoritas. Oleh karena itu, sejauh subjektivitas dihadapkan dengan tradisi dan otoritas, salah satu hal yang implisit terkandung dalam pengertian subjektivitas adalah kritik. Kritik dalam arti bahwa rasio tidak hanya menjadi pusat pengetahuan, melainkan menjadi kemampuan untuk membebaskan individu dari prasangka otoritas dan tradisi.

Subjektivitas dan kritik dalam penjelasan sebelumnya sering kali diberi label sebagai subjek modern. Subjek dalam arti rumusan abstrak terkait manusia ideal di era modern. Di sisi lain, sudah umum diketahui bahwa sejarah terus berkembang hingga tiba pada era yang disebut postmodernisme.

Perubahan dari modernisme ke postmodernisme dibarengi juga dengan perubahan formulasi pada apa yang disebut sebagai subjek. Lebih jauh, tak sedikit yang menganggap bahwa subjek di era postmodernisme sudah tidak ada. Hal ini terjadi akibat kondisi yang terjadi di era postmodernisme itu sendiri. 

Pertanyaan yang kemudian menjadi topik inti dalam tulisan ini adalah, masih adakah rumusan subjek di era postmodern? Jika ya, seperti apa formulasinya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini akan meminjam pemikiran salah satu tokoh hermeneutika yaitu Hans George Gadamer.

Tulisan ini akan dimulai dengan membahas secara singkat pemikiran Gadamer dan menjelaskan pengertian serta situasi postmodernisme. Dilanjutkan dengan mencoba menarik kaitan antara pemikiran Gadamer dan situasi postmodernisme. Dan diakhiri dengan merumuskan subjek di era postmodern.

Pemikiran Hans Georg Gadamer

Pemahaman atau memahami sesuatu menurut Gadamer bukan sekedar fenomena kognitif. Memahami sesuatu merupakan hal mendasar bagi manusia dan termasuk aktivitas yang selalu berkaitan erat manusia.

Menurut Gadamer, dalam setiap upaya pemahaman sudah selalu ada apa yang disebut sebagai pra-struktur pemahaman. Pra-struktur ini bahkan menjadi syarat untuk memahami sesuatu. Pra-struktur pemahaman terdiri dari Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgrif.

Vorhabe berati bahwa ketika memahami sesuatu, kita dipengaruhi oleh latar belakang tradisi yang telah dimiliki sebelumnya. Unsur kedua yaitu Vorsicht, berati bahwa setiap upaya memahami atau menafsirkan selalu dituntun oleh cara pandang tertentu. Dengan demikian, dalam setiap tindak memahami selalu berkaitan dengan apa yang telah dilihat sebelumnya.

Vorgrif artinya pemahaman kita akan sesuatu sering kali berangkat dari konsep-konsep tertentu yang menjadi kerangka awal. Ketiga unsur tersebut merupakan syarat pemahaman. Ketiga unsur itu juga tidak statis, yang terjadi justru perubahan terus menerus.

Dalam pemikiran Gadamer, dikenal istilah ‘sejarah pengaruh’. Pada intinya istilah tersebut ingin menekankan bahwa setiap orang selalu berada dalam situasi kesejarahan tertentu. Setiap orang tidak lepas dari apa yang disebut sebagai logika zaman, kondisi sosial-budaya, politik, ekonomi, dll.

Konsep terakhir dari Gadamer yang akan dibahas adalah apa yang disebut peleburan antar horizon. Horizon di sini bisa diartikan sebagai suatu sudut pandang yang dipengaruhi oleh tradisi, kesejarahan dan situasi sosial-budaya tertentu. Peleburan bukan berarti saling meniadakan, melainkan sebuah interseksi antara horizon-horizon, perluasan horizon dan produksi makna.

Postmodernisme

Postmodernisme sebagai sebuah istilah filsafat secara umum merujuk pada refleksi kritis pada paradigma-paradigma modern. Postmodernisme identik dengan segala sikap kritis terhadap atas segala pengetahuan yang bertendensi universal, mentotalisasi, dan fondasionalis. Sikap kritis yang juga mengimplikasikan kondisi relativisme dan pluralisme.

Relativisme dalam arti tidak ada nilai yang bersifat universal, segala nilai tergantung pada situasi, tergantung kebudayaan, kesepakatan. Akibatnya, nilai-nilai seperti kebenaran, kebebasan, atau bahkan apa yang disebut “realitas” itu sendiri sebetulnya sekedar konstruksi bahasa, kebudayaan, kesepakatan dan sejenisnya (Abidin, 2018, p. 80).

Keadaan pluralisme sebetulnya merupakan efek atas dari penolakan terhadap pengetahuan atau narasi-narasi besar yang bersifat universal. Sulit atau bahkan tidak mungkin untuk menemukan paradigma tunggal di era postmodernisme yang mengatasi segala bentuk keragaman budaya dan nilai-nilai.

Subjek Postmodern

Ketika berbicara subjek dan kondisi postmodernisme, terdapat dua posisi yang saling bertentangan. Posisi pertama disebut sebagai posisi yang menolak subjek. Penolakan tersebut didasarkan pada alasan bahwa sebenarnya individu sekedar efek dari konstruksi sosial-budaya

Posisi kedua menolak subjek namun dalam pengertian konsep subjek modern sebagai pusat dunia (Piliang, 2020, p. 323). Pada posisi kedua inilah pembahasan kali ini mengambil tempat. Dengan demikian pertanyaan di awal tentang masih adakah rumusan subjek di era postmodern sudah terjawab. Jawabannya ada sejauh bukan konsep subjek modern yang terpusat.

Gadamer berpendapat bahwa setiap manusia tidak pernah lepas dari pra-struktur pemahaman, kondisi kesejarahan, tradisi, dan logika zaman. Pendapat Gadamer tersebut seharusnya bisa menjauhkan kita dari sikap merasa paling benar. Karena toh, setiap manusia memiliki pemahaman yang berbeda-berbeda akibat pengaruh tradisi, pra-struktur pemahaman, dan kondisi kesejarahan yang berbeda-beda pula.

Setelah terbebas dari sikap merasa paling benar, akan timbullah apa yang disebut sebagai homo pluralis (manusia plural). Homo pluralis adalah manusia yang memberikan penghargaan terhadap keragaman atau kemajemukan. Manusia yang terbuka terhadap perbedaan nilai dan keyakinan (Piliang, 2020, p. 332).

Di hadapan perbedaan kebudayaan, nilai, dan keyakinan tadi, homo pluralis tidak sekedar pasif dan tidak sekedar menjadi efek konstruksi kebudayaan dan nilai yang beragam.  Manusia plural juga terlibat aktif melakukan aktivitas dialogis.

Karenanya, manusia di era postmodern disebut juga sebagai manusia dialogis (homo dialogus). Manusia dialogis adalah manusia yang memandang manusia lain sebagai sebagai partner dialog. Manusia dialogis adalah manusia yang mengutamakan pemahaman terhadap yang lain (Piliang, 2020, p. 333).

Pemikiran Gadamer tentang peleburan antar horizon memiliki relevansi jika dikaitkan dengan sikap dialogis. Perbedaan tradisi dan latar belakang kesejarahan seseorang menjadi lahan terjadinya peleburan antar horizon. Peleburan horizon menjadikan horizon seseorang semakin meluas, kaya dan terjadi proses produksi makna.

Perluasan horizon dan produksi makna ini pada akhirnya bisa menjadi bahan untuk melakukan upaya revisi dan rekonstruksi dirinya terus menerus. Dengan demikian, kita akan terhindar dari diri yang statis dan tertutup sebagaimana yang dibayangkan subjek modern.

Referensi

Abidin, H. Y. (2018). Filsafat Postmodern. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hardiman, F. B. (2019). Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietszche. Yogyakarta: PT Kanisius.

Piliang, Y. A. (2020). Dunia Yang Dilipat. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.