Tak jarang kita mendengar bahwa untuk dapat beradaptasi dengan zaman sekarang, kita diwajibkan untuk open minded. Apa sih yang dimaksud dengan open minded? Open minded adalah berasal dari Bahasa Inggris yang artinya berpikiran terbuka.

Menurut John Lembie, open minded adalah orang yang bisa menerima atau menampung lebih dari satu pendapat . Orang yang open minded terbuka pada pendapat orang lain yang berbeda dengannya. Namun, bukan berarti mengambil pendapat tersebut untuk dijadikan jalan berpikirnya ke depan nanti.

Pendapat yang berbeda tersebut bisa bernilai benar atau salah, itulah tugas orang yang open minded untuk mencari kebenarannya sehingga ia dapat memperoleh informasi baru.

Sedangkan orang yang close minded atau berpikiran tertutup akan langsung menolak mentah-mentah pendapat orang lain yang berbeda dengannya, tanpa mau repot-repot memikirkan kebenaran pendapat tersebut.

Dari pengertian tersebut, menjadi orang yang open minded adalah sesuatu yang baik dan harus diterapkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Karena kita tidak bisa mendapatkan ilmu baru jika kita tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Sayangnya, sekarang ini banyak sekali penyalahgunaan kata open minded. Orang- orang yang menolak pendapat lain yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai kebenaran yang ada bisa disebut sebagai orang yang tidak open minded.

Seperti dalam contoh kasus LGBT. Dalam agama Islam, Al-Qur’an telah jelas menceritakan azab yang ditimpakan kepada kaum Sodom karena didalamnya terdapat banyak pasangan lawan jenis dan sering terjadi perzinaan.

Hal tersebut mengartikan bahwa perbuatan LGBT tidak dibenarkan oleh Tuhan orang yang beragama Islam. Hal tersebut harusnya menjadi salah satu indeks yang dapat menentukan kebenaran suatu pendapat.

Namun, tak jarang orang-orang -terutama yang beragama Islam- yang mengatakan bahwa LGBT itu haram disebut sebagai kaum yang tidak open minded. Pertanyaannya adalah, ‘Apakah orang yang menerima LGBT tersebut adalah orang yang open minded?’.

Tentu tidak, bagi orang yang menganut Islam, orang orang yang menerima LGBT tersebut hanya mengikuti hawa nafsu saja. Tidak bisa disebut dengan open minded, karena telah bertentangan dengan nilai kebenaran yang ada.

Dari sini, kita menyadari adanya kesalahan pemahaman tentang open minded yang digunakan oleh orang-orang tersebut. Hal tersebut dapat mengakibatkan generasi-generasi muda yang lemah akan ilmu mudah dipengaruhi oleh pendapat-pendapat yang menyesatkan,

Artinya, untuk menjadi seseorang berpikiran terbuka, terlebih dulu kita harus memilliki nilai-nilai kebenaran yang bisa menyaring pendapat orang lain. Apalagi dengan adanya tsunami informasi yang terjadi karena pengaruh globalisasi ini, kita harus lebih berhati-hati dalam menyikapi seluruh pendapat yang timbul.

Karenanya menjadi orang yang open minded berarti harus menjadi orang yang educated atau berpendidikan. Itu adalah syarat yang harus dilalui. Orang yang belum berpendidikan biasanya hanya mengikut pendapat pada figur yang dianggap benar.

Namun, lagi-lagi pemahaman tentang educated juga banyak disalah pahami oleh orang-orang zaman sekarang. Seperti apakah orang-orang yang bisa disebut dengan educated?

Tentu pada umumnya adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan, apalagi orang-orang yang berkuliah. Hal tersebut benar. Orang tersebut merupakan orang-orang yang berpendidikan. Namun, ternyata bukan di situ poinnya.

Poin yang harus kita ambil dari orang-orang yang educated adalah karakternya. Seperti yang di tulis oleh Christopher Philips dalam bukunya yang berjudul ‘Six Question of Socrates’, karakter orang yang berpendidikan diantaranya adalah :

Peka terhadap lingkungan psikologis, fisik, moral dan budaya tempat mereka berada, menunjukan rasa hormat dan kepedulian setiap saat.

Memiliki pemahaman yang jelas tentang nilai, keinginan, dan preferensinya sendiri tanpa memaksakannya kepada orang lain.

Memahami keterhubungan segala sesuatu di dunia, dan bahkan di alam semesta, dan dengan demikian bertindak secara bertanggung jawab dalam segala hal yang mereka lakukan- slogan ‘berpikir secara global, bertindak secara lokal’ berlaku disini.

Dari beberapa poin yang saya ambil tersebut, orang yang dapat disebut educated adalah mereka yang memiliki karakter tersebut. Karena ilmu yang tinggi tidak akan ada artinya jika karakternya tidak selaras dengan ilmu yang didapatkan.

Saya akan mengambil contoh kasus influencer berlabel educated dan open minded yang beberapa hari lalu menjadi trend di twitter atas komentarnya terhadap Qatar yang tidak memperbolehkan LGBT masuk ke dalam tempat mereka.

Dalam pendapatnya tersebut, dia mengecap bahwa Qatar adalah negara yang homophopic, tanpa mau melihat kebudayaan dan yang ada di Qatar. Influencer di sini telah melanggar poin ke-1 karakter orang educated di atas.

Kebudayaan dan peraturan Jerman yang sudah diwarnai dengan LGBT memang menjadi tempat tinggalnya, namun sebagai orang yang berpendidikan seharusnya dia peka terhadap kebudayaan dan peraturan di Qatar yang diwarnai dengan Islam, yang jelas-jelas menentang gerakan tersebut.

Dia juga terkesan memaksakan pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap orang yang tidak setuju dengan pendapatnya sebagai orang dengan penyakit stunting.

Dari kasus tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa orang dengan pendidikan tinggi belum tentu memiliki karakter educated. Dan orang yang tidak memiliki karakter tersebut tidak dapat disebut sebagai open minded.

Open minded itu boleh ya sob. Tapi jangan sampai menyalahartikan open minded tersebut sebagai tameng atas close minded kita. Hal tersebut dapat berakibat rusaknya citra orang-orang open minded seperti yang terjadi sekarang ini.