Setelah sebelumnya saya menulis di Qureta dengan judul“ Harus Kaya”, kesempatan sekarang ini saya ingin menulis “ Harus Beretika. Zaman now, sebagian besar perilaku para politisi dan pejabat publik, tidak terkecuali penegak hukum jauh dari etika politik demokrasi. Etika politik saat ini dampaknya dalam kehidupan masyarakat menjadi persoalan serius. Segalanya sudah terpengaruh dengan kepentingan individu, kelompok sedangkan kepentingan bersama hanya menjadi nomor terakhir.
Aspirasi rakyat untuk terbebas dari belenggu penderitaan dan kemiskinan tidak tercermin dalam perilaku politik, birokrasi bahkan hukum seperti peribahasa “ Jauh panggang dari api” alias tindakan yang tidak sesuai dengan maksudnya atau tidak seperti yang diharapkan. Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial cuma khayalan belaka.
Mungkin banyak pejabat dan elite politik alergi Pancasila. Pancasila bukan unuk dihafal secara teori saja, namun praktek nyata juga harus sama. Idealnya pejabat menjadi teladan terkait penghayatan serta pengamalan Pancasila yang baik dan benar. Pancasila menjadi bagian dalam setiap orang Indonesia. Mungkin benar anggapan peradaban politik saat ini menjadi terkesan rendah dan kumuh, meski dalam kenyataannya setelah keberadaan reformasi semenjak tahun 1998, proses politik di negara ini disebut-sebut menuju demokrasi yang kuat, bahkan dipuji oleh dunia internasional.
Proses demokrasi ketika berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, dan wawasan yang picik menjadi banyak dusta, ditambah kepentingan pragmatisme elite politik. Politik bukan bertujuan untuk kemakmuran dan keadilan seluruh rakyat, namun hanya untuk kelompok atau orang-orang tertentu saja.
Pasal dalam Undang-undang yang pro terhadap orang miskin tidak lagi menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan. Menurut Badan Pusat Statistik pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin yang berarti penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,83 persen), berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan September 2017 yaitu sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen). Menurun namun jumlahnya masih tinggi.
Kantong-kantong kemiskinan masih harus menjadi fokus utama pemerintah. Kenyataannya kemiskinan semakin akut, karena adanya perusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pemerintah melalui Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro berkomitmen penurunan menjadi prioritas.Pemerintahan era Jokowi memiliki banyak program yang diklaim berhasil menurunkan seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai yang rencanya menjadi Kartu Sembako Murah, lalu Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.
Dalam buku “ Muazin Bangsa dari Makkah Darat “ yang merupakan Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, beliau menyindir keberadaan politik biaya tinggi (hig cost politics) dan politik uang (money politics) telah menjadi sumber masalah besar. Bayangkan saja untuk bertarung menjadi kontestan kepala pemerintahan, anggota dewan perwakilan rakyat tingkat manapun, praktik-praktik politik uang banyak terjadi.
Praktik ini bukannya melahirkan calon pemimpin yang mampu memperjuangkan asprasi masyarakat seperti digariskan oleh etika demokrasi. Para politisi ini sudah dapat dipastikan memiliki tujuan mengembalikan “ investasi” yang telah mereka keluarkan. Sumber pengembalian kenyataannya tidak cukup jika berasl dari sumber-sumber yang legal, contohnya gaji dan tunjangan.
Semua hal perilaku para pejabat dan politisi jelas bermuara pada pembusukan peradaban. Terkait contoh, sudah tidak diragukan, hampir setiap hari berbagai media memberitakan kejahatan-kejahatan mereka. Beberapa hari yang lalu saja, Juru Bicara Kepresidenan, Johan Budi Sp mengatakan Presiden Joko WIdodo sudah memanggil menteri-menteri yang diduga terlibat kasus korupsi. Pernyataan Juru Bicara Kepresidenan menyusul tiga menteri yang terseret kasus dugaan korupsi.
Mungkin benar, ada anggapan ada banyak drama-drama yang terjadi. Drama atau rekayasa terjadi mulai desa, hingga perkotaan. Mengutip peribahasa Arab “ Mahma tubaththin tuzhirhu al-ayyam “ yang berarti apapun yang engkau sembunyikan, sejarah pasti membongkarnya. Drama-drama itu bisa saja terus bergulir dan tidak jarang bahkan kasusnya terkadang hanya jalan ditempat, namun seiring waktu berjalan kebenaran pasti akan terungkap.
Etika politik sering dimengerti sebagai “ the ethics of political society”, sedangkan etika sosial adalah “ the ethics of civil society”, namun yang harus digaris bawahi adalah tujuan atau cita-cita yang menyangkut kemanusaiaan yang adil dan beradab harus mampu diwujudkan.
Ada pepatah mereka yang tidak mengenal sejarah akan dipaksa untuk mengulanginya. Lingkup nasional maupun global ada banyak kesalahan historis yang pernah terjadi dan jangan mengulanginya kembali. Alasan ini penting untuk menegakkan etika politik demokrasi, moralitas public yang menjadi dasar untuk tata politik demokrasi, perilaku politisi dan birokrat yang baik dan benar.
Baru saja kita melewati penyelenggaraan Pemilu dan ada banyak kasus politik uang yang terjadi. Butuh energi dan kesungguhan hati untuk memperbaiki hal-hal yang terlanjur biasa, Seharusnya istilah membiasakan yang benar menjadi semangat untuk setiap orang bukan membenarkan yang biasa. Perbincangan terkait politik uang yang terjadi disekitar menjadi hal yang lumrah, dan etika bukan menjadi utama namun hanya menjadi slogan semata.
Berharap pemimpin atau wakil rakyat yang baik seharusnya bukan seperti peribahasa “ Pungguk merindukan bula” alias mengharapkan sesuatu yang mustahil dapat dicapai.