Sebagai alumni Jurusan Aqidah-Filsafat saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa masa kuliah di sana adalah periode paling berkesan dalam hidup saya. Setidaknya itu berdasarkan pengalaman pribadi saya dan kedudukan filsafat itu sendiri dalam struktur pengetahuan manusia.

Pertama, filsafat memberikan kenikmatan tersendiri bagi akal dan jiwa, mengingat saya bukanlah seorang yang punya banyak talenta. Karena itulah saya terdorong untuk menggunakan kemampuan berpikir dalam beraktivitas sehari-hari selagi masih mampu.

Kedua, filsafat merupakan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan manusia. Ilustrasi sederhananya: setiap gerak manusia selalu diawali dengan berpikir. Seseorang yang kelaparan lalu pergi ke warung makan dan membeli makanan di sana adalah orang yang pikirannya memiliki konsep tentang hubungan antara rasa lapar, uang (ekonomi), nutrisi dan rasa kenyang.

Bersama-sama dengan naluri, pikiran manusialah yang menggerakkannya untuk berangkat ke warung dan berbelanja. Tak heran jika para filsuf muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina menyatakan Allah menciptakan alam semesta dengan berpikir.

Jurusan Aqidah-Filsafat – selanjutnya disebut AF – menyajikan pengetahuan yang memberi kenikmatan semacam itu. Kenikmatan itu pula yang membuat saya menikmati setiap kuliah dan diskusi di Jurusan AF. Namun demikian, bila kita lebarkan sudut pandang kita, mahasiswa AF terlihat sama saja dengan mahasiswa di jurusan-jurusan atau bahkan fakultas-fakultas lain.

Mahasiswa AF juga mempelajari tafsir al-Quran, Hadis dan ilmu-ilmu keislaman lainnya, sebagaimana mahasiswa Syari’ah, misalnya, juga belajar Teologi dan Filsafat. Mahasiswa AF juga sedikit mempelajari Fisika dan Matematika, sebagaimana mahasiswa MIPA juga belajar Filsafat Ilmu dan logika.

Oleh sebab itulah mahasiswa AF harus mencari hakikat dirinya untuk membedakan diri dari mahasiswa jurusan dan fakultas lain. Di sini, upaya pengenalan diri berdasarkan perbedaan dengan yang lain (ta’rif bi al-hadd) sama pentingnya dengan pengenalan berdasarkan gambaran yang khas dari sesuatu (ta’rif bi al-rasm).

Hakikat mahasiswa AF bernasib sama dengan filsafat yang menjadi kajiannya. Kita telah mengetahui bahwa isitilah “filsafat” berasal dari kata Yunani philos (cinta) dan sophos (kebijaksanaan). Sampai di sini filsafat dapat dimaknai suatu aktivitas yang tujuan akhirnya adalah mencapai kebijaksanaan.

Masalahnya kebijaksanaan ada di mana-mana. Ia ada dalam setiap ilmu pengetahuan. Keseimbangan antara ukuran tinggi dan berat badan tertentu adalah kebijaksanaan dalam Biologi. Pemasukan uang yang seimbang dengan pengeluarannya adalah kebijaksanaan dalam ilmu Ekonomi. Ketertiban dan kesetaraan antar kelas sosial adalah kebijaksanaan dalam ilmu Sosial-Politik.

Anda tidak perlu belajar filsafat hanya untuk menjadi seorang yang bijaksana. Bahkan hanya dengan membaca buku-buku atau ikut seminar-seminar motivasi anda sudah bisa menjadi bijaksana. Atau, anda sudah akan merasa bijak setelah menemukan kutipan kata-kata bijak dan membagikannya di akun media sosial anda.

Apabila kebijaksanakan dapat ditemukan di mana-mana, maka apa yang membedakan kebijaksanaan filsafat dengan kebijaksanaan di luar filsafat? Saya kira perbedaannya terletak pada pertanyaan filsafat.

Dalam Biologi orang akan mempertanyakan bagaimana struktur tubuh manusia dan bagaimana proporsi tubuh manusia yang ideal. Dalam ilmu Ekonomi dipertanyakan bagaimana manusia menjalani kehidupan ekonomi yang baik. Dalam ilmu Sosial-Politik orang bertanya bagaimana seharusnya manusia mencapai hubungan antar sesama yang harmonis.

Nah, di antara semuanya itu, filsafat justru akan mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah manusia itu? Ini juga berlaku pada objek-objek bahasan filsafat lainnya, seperti “apakah kebaikan itu?”, “apakah keindahan itu?”, “apa itu keadilan?”, “apa itu kesetaraan?” dan lain sebagainya.

Jika pertanyaan-pertanyaan di atas dirasa belum cukup mendasar, filsafat akan menggali lebih dalam lagi: adakah manusia itu? apakah “ada” itu? bagaimana sesuatu dapat dikata “ada”? bagaimana manusia mengetahui bahwa sesuatu “ada”? Membingungkan, bukan? Tapi percayalah, saat merenungkan pertanyaan-pertanyaan tersebut ada kenikmatan menyertai anda.

Begitulah apa yang dilakukan para filsuf sejak zaman dulu hingga sekarang. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan paling mendasar daripada pertanyaan-pertanyaan dasar lainnya. Itulah yang akan mengantar mereka pada kebijaksanaan sebenarnya.

Hal ini menjadi pelajaran buat kita. Untuk mencapai kebijaksanaan bukanlah dengan menemukan jawaban yang benar, melainkan mengajukan pertanyaan yang tepat.

Bila pertanyaanlah yang membedakan filsafat dengan pengetahuan lain, maka itu pula yang membedakan mahasiswa AF – dan mahasiswa filsafat pada umumnya – dengan mahasiswa lain. Mahasiswa AF akan selalu mempertanyakan segala sesuatu dan mencoba menemukan struktur dasar dari segala sesuatu itu.

Karena selalu mengajukan pertanyaan mendasar mengenai objek apapun, ia tidak lagi menjadikan filsafat sekedar sebagai kajian akademik. Baginya filsafat merupakan jalan hidup dan ia menempuhnya dengan kecintaan akan kebijaksanaan, sekalipun karena hal itu ia berada dalam kesunyian. Mahasiswa AF tak hanya belajar filsafat, tapi hidup berfilsafat.

Inilah yang membedakannya dengan mahasiswa lain. Filsafat memang dipelajari di hampir semua jurusan di Perguruan Tinggi. Sebagai induk segala ilmu, filsafat menjadi mata kuliah umum yang disajikan di semester-semester awal. Tapi ia hanya dipelajari sebagai pelengkap bagi ilmu jurusan. Itu sama halnya seperti mahasiswa Pendidikan Fisika belajar Fisika, atau mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam belajar Ilmu Komunikasi.

Adapun bagi mahasiswa AF, filsafat bukan hanya sekedar ilmu jurusannya, melainkan jalan hidup dan elemen yang membentuk identitasnya. Ia adalah filsafat dan filsafat adalah dirinya. Hari-harinya dihiasi oleh aktivitas berfikir reflektif dan setiap pikiran dan perilakunya didasari oleh kebijaksanaan filsafat. Mahasiswa AF dan filsafat ibarat seorang muslim dan ilmu Tajwid. Ia mempelajari Tajwid dan kemudian membaca al-Quran dengan bertajwid.

Karena kesehariannya diliputi oleh refleksi-refleksi filosofis terhadap objek apapun, mahasiswa Aqidah-Filsafat juga mempertanyakan aqidahnya: apakah aqidah atau keyakinan agama yang selama ini ia pegang sudah benar? Apakah aqidahnya benar-benar sesuatu yang ia yakini ataukah bentukan budaya karena ia lahir dari keluarga yang meyakininya?

Semangat untuk mempertanyakan kembali aqidah sebenarnya terkandung dalam al-Quran. Dalam surah al-Bayyinah ayat 5, Allah mengkritik kalangan Ahl al-Kitab karena tidak ikhlas dalam beragama atau beragama karena motif tertentu. Pembaca al-Quran yang reflektif akan memaknai bahwa kritik tersebut juga ditujukan kepada dirinya sendiri.

Selain itu, dalam surah al-Baqarah ayat 260 al-Quran menceritakan Nabi Ibrahim yang mempertanyakan bagaimana Allah membangkitkan orang mati. Allah bertanya: “apakah kamu tidak percaya?” Ibrahim menjawab: “bukan begitu, duhai Tuhan. Aku bertanya agar hatiku tenang.” Inilah adegan dalam kitab suci yang sungguh dahsyat maknanya.

Demikianlah hakikat mahasiswa Aqidah-Filsafat. Orang yang hidup berfilsafat ibarat orang yang tersesat lalu mencari jalan pulang, sedangkan yang tidak mengambil jalan filsafat seperti orang yang tersesat tapi ia berasyik-masyuk dengan kesesatannya.[]

Tulisan ini adalah materi yang saya sampaikan sebagai pembicara dalam forum orientasi mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari Banjarmasin, 25 September 2021.