Tujuan merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas pisahkan dari suatu negara. Dalam konteks indonesia, tujuannya dapat kita lihat pada alinea ke-4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang bunyinya adalah sebagai berikut:

"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." 

Point "mencerdaskan kehidupan bangsa" mengindikasikan betapa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa. Hal ini dapat kita lihat ketika bom atom meluluh lantahkan Hiroshima dan Nagashaki, pertanyaan yang keluar dari mulut sang kaisar bukanlah berapa jumlah tentara yang meninggal atau masih hidup, tank, pesawat tempur, kapal perang yang ada atau berapa kerugian negara Jepang pada saat itu, melainkan yang ditanyakan adalah: “berapa jumlah guru yang masih hidup” (Solihin, 2015: 59). 

Masih mengenai pentingnya pendidikan, disampaikan oleh The International Commission for Education Development dari Unesco bahwa jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan bangsanya, maka harus dimulai dengan pendidikan, sebab pendidikan adalah kunci. Tanpa memegang kunci ini maka segala upaya pembangunan akan sia-sia.

Kata pendidikan sendiri ditelusuri secara semantik berasal dari akar kata Education (bahasa Inggris), berasal dari dua kata dalam bahasa latin, yaitu, pertama, educere yang berarti "melatih‟ atau "membawa keluar dari‟. Kedua, educare yang berarti "melatih‟ atau "memelihara‟ (Winch dan Ginglle dalam Kusrin, 2015: 191).

Makna tersebut menunjukkan bahwa pendidikan adalah proses mengubah manusia menjadi lebih baik dari sebelumnya, sederhananya pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Hanya saja hemat penulis anggapan tersebut terlalu melangit, karena di bumi tak sepenuhnya demikian. Ketidakmerataan pendidikan-lah alasanya.

Jika di lacak lebih jauh, ketidakmerataan pendidikan ini disebabkan karena biaya pendidikan yang mahal sehingga hanya bisa diakses oleh orang kaya semata. Adapun mahalnya biaya pendidikan disebabkan karena pendidikan kita bercorak liberal yang kemudian menjadi landasan kapitalisme dan merambat ke ranah pendidikan sehingga melahirkan kapitalisme pendidikan.

Liberalisasi Pendidikan

kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.

Liberalisme berakar pada cita-cita individualisme Barat. Menurut cita-cita ini gambaran manusia ideal adalah manusia rasional-liberal. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep manusia rasional-liberal’ seperti: Pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual. Kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga, adalah ‘individualis’ yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistik.

Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, seorang Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity).

Pada mulanya liberalisme merupakan dasar ekonomi klasik yang  dipelopori Adam Smith. Sistem ekonomi klasik tersebut mempunyai kaitannya dengan “kebebasan (proses) alami” yang dipahami oleh sementara tokoh-tokoh ekonomi sebagai ekonomi liberal klasik. Konsep kebijakan dari ekonomi liberal ialah sistem ekonomi bergerak ke arah pasar bebas.

Liberalisme juga merupakan prinsip dasar neokolonialisme, yang tidak hanya berlaku dalam domain ekonomi, melainkan sudah menjalar ke ranah pendidikan. Ideologi pendidikan liberal berpangkal pada konsep modernisasi di Barat. Salah satu faktor modernisasi adalah pengakuan sepenuhnya terhadap kebebasan individu. Selain kebebasan individu, modernisasi juga mengedepankan kebebasan kuasa akal manusia (rasionalis). 

Uraian di atas menunjukkan bahwa ideologi liberalisme berpijak pada tiga keyakinan: pertama, Kebebasan individu (personal liberty). Kedua, pemilikan pribadi (private property). Ketiga, inisiatif individu serta usaha swasta (private interprise). Ketiga hal inilah yang kemudian menjadi landasan ideologi kapitalisme.

Di Indonesia sendiri, pendidikan tidak hanya berwajah liberal tapi juga kapitalistik, bahkan sejak era penjajahan, intervensi ke ranah pendidikan dilakukan pemerintahan Hindia Belanda dengan mendirikan dan menjalankan sekolah-sekolah Belanda yang liberal. Hal itulah yang menyebabkan pendidikan bercorak liberal-kapitalistik.

Kapitalisme Dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik

"Kapitalisme" sebagai suatu kata rasanya sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Kata capital sebenarnya diambil dari kata caput yang berarti kepala. Arti ini menjadi jelas jika digunakan dalam istilah “pendapatan per kapita” yang berarti “pendapatan per kepala.”

Dewasa ini kata "capital" diterjemahkan sebagai modal, patut diketahui bahwa hal ini berawal dari sejarah Romawi Kuno. Bagi penduduk Romawi Kuno, kekayaan diukur dengan seberapa banyak caput (kepala) hewan ternak yang ia miliki. Semakin banyak caput yang dimiliki, maka dianggap semakin kaya. Mereka kemudian mengumpulkan sebanyak-banyaknya caput sebagai modal untuk mewujudkan kesejahteraan. Itulah sebabnya, kata capital diterjemahkan sebagai “modal” (Samrin, 2015: 133).

Seperti liberalisme yang telah merambah ke pendidikan, kapitalisme pun demikian dengan corak nama yang tidak asing lagi yaitu kapitalisme pendidikan. Sebuah istilah yang sudah banyak digunakan dan bermuara pada pemahaman bahwa pendidikan tidak lebih dari sekedar sarana mencari uang. 

Ekspansi sistem kapitalisme ke dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah kondisi bertautnya logika pendidikan dan logika kapitalis. Pendidikan kemudian menjelma menjadi mesin kapitalis, yaitu mesin untuk mencari keuntungan.

Dunia pendidikan yang sejatinya dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan sebagai nilai dasar dalam pencarian pengetahuan. Kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai refleksi keberpihakan pada hegemoni kapitalis. 

Pendidikan sebagai wahana pencarian pengetahuan dan kebenaran, sekarang bergeser menjadi wahana pencarian keuntungan (profit). Pergeseran makna ini menciptakan sebuah relasi baru pengetahuan yang tidak saja berupa relasi kekuasaan dengan pengetahuan, akan tetapi juga relasi pengetahuan dengan keuntungan.

Bentuk hegemoni kapitalisme kepada dunia pendidikan dapat dilihat dari proses industrialisasi pendidikan. Proses industrialisasi pendidikan dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu: 1). pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. 2). sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri kapitalis.

Secara sederhana ke-dua hal itu bisa kita lihat dalam bentuk konkretnya yaitu: otonomi kampus dan kurikulum yang mendukung industrialisasi. Tetapi pada kesempatan ini penulis tidak akan menjabarkan tentang kurikulum yang mendukung industrialisasi, artinya yang ingin dijabarkan hanyalah point pertama, yaitu: otonomi kampus.

Otonomi Kampus dan Dampaknya Terhadap Mahasiswa

Liberalisasi yang merambat ke sektor pendidikan merupakan konsekuensi dari pemerintah yang hingga saat ini terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mekanisme pasar bebas yang dipaksakan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak tahun 1994.

Didalam WTO telah menyetujui GATS (General Agreement on Trade in Services), untuk tingkatan pendidikan yang akan diliberalisasi terdiri dari Primary Education Services, Higher Education Services, Adult Education, Other Educations Services. Kesepakatan konvensi WTO dan GATS tersebut diratifikasi pada tahun 2001.

Hal ini yang kemudian berdampak pada pendidikan di Indonesia, terkhususnya ditingkatan universitas yang tentunya akan ikut serta menjalankan kebijakan liberalisasi disektor pendidikan sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Keikutsertaan Indonesia dalam WTO mau tidak mau harus ikut dalam mekanisme didalamnya, termasuk membiarkan pendidikan sebagai salah satu sektor yang harus diliberalkan.

Upaya liberalisasi secara regulasi dapat kita lihat dari adanya UU No. 61 Tahun 1999, yang substansinya berdampak pada hilangnya tanggung jawab negara dalam pendidikan. Dari sinilah sehingga muncul istilah "Otonomi Kampus", artinya kampus secara mandiri haruslah dapat mengelola pendidikan sendiri.

Kemudian UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga ikut mengakibatkan pendidikan jatuh ketangan swasta atau privatisasi kampus. Tak hanya itu, adanya perpres no. 76 tahun 2007 tentang kriteria dan persyaratan penyusunan bidang usaha tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal dan perpres no. 77 tahun 2007 yang telah diganti dengan perpres no. 111 tahun 2007, yang selanjutnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan terbitnya perpres no 36 tahun 2010.

Perpres tersebut tidak lain sebagai turunan dari UU Penanaman Modal Asing (PMA), UU no. 25 tahun 2007 yang juga menegaskan praktik kapitalisasi pendidikan, dimana pendidikan dinyatakan sebagai salah satu sektor terbuka yang dapat ditanami modal lewat perizinan khusus. Sehingga pendidikan menjadi tempat untuk mencari keuntungan dan menjadi area bisnis para pemodal.

Ketika pendidikan diliberalkan maka muncullah privatisasi pendidikan dimana segala kebijakan, pengelolaan dan hak dalam kepengurusan administrasi pendidikan diberikan sepenuhnya kepada pihak penyelenggara pendidikan atau otonom. Kemudian institusi pendidikan (pendidikan tinggi) akan berlomba- lomba untuk mengumpulkan dana dengan membuat usaha mandiri dan mencari dana talangan kepada para pemodal untuk membiayai pendidikan.

Selain daripada regulasi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula regulasi yang jika ditelisik termaktub praktik kapitalisme didalamnya. Regulasi yang dimaksud adalah UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Hanya saja Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, memutuskan UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Walaupun begitu, hal itu tidak bisa menepis praktik kapitalisme dalam dunia pendidikan. hadirnya PP no. 66 tahun 2010 sebagai penganti dari UU no. 9 tahun 2009 tentang Badan Layanan Umum (BLU) merupakan paket kebijakan yang melegalkan praktik komersialisasi pendidikan. Sehingga meskipun UU BHP di batalkan, biaya pendidikan pun tetap semakin mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat miskin. Begitu juga fasilitas kampus yang dipakai mahasiswa untuk perkuliahan. Itu semua terjadi akibat dari pelepasan tanggungjawab pemerintah terhadap dunia pendidikan, termasuk dalam soal pendanaannya.

Adanya komersialisasi pendidikan terlihat jelas dengan adanya kebijakan dari kampus untuk menaikan biaya pendidikan seperti hadirnya kebijakan BPKP (biaya peningkatan kualitas pendidikan) pada tahun 2011 dan adanya kebijakan UKT (Uang Kuliah Tunggal) pada tahun 2013. Kebijakan tersebut mengharuskan seorang mahasiswa untuk membayar lebih mahal agar bisa mengeyam pendidikan dibangku kuliah.

Hal itulah yang menjadi sebab mengapa terjadi kesenjangan dalam pendidikan, kenapa pendidikan sangat sulit di akses oleh orang miskin, dan berbagai masalah lainnya. Semua itu terjadi karena corak pendidikan kita yang liberal, yang memungkinkan masuknya kapitalisme dan merambat ke ranah pendidikan sehingga melahirkan kapitalisme pendidikan. 

Tidak hanya itu, dengan adanya kapitalisme pendidikan yang menjadikan kampus sebagai lahan garapan, juga berakibat kepada sifat apatis dari mahasiswa. Hal itu disampaikan oleh Ahmad Fahmi dalam Taufik dan Affandi (2014) bahwa akibat terjadinya komersialisasi pendidikan, maka mahasiswa cenderung apatis, tidak mau tahu terhadap persoalan lingkungan sosialnya, bahkan juga terhadap persoalan kampusnya sendiri. Mahasiswa sekarang cenderung pragmatis dalam arti dia mengenyam pendidikan hanya untuk cepat lulus dan cepat kerja, begitu juga sebagai dampak dari kapitalisasi pendidikan mahasiswa menjadi hedonisme, hanya senang mencari hiburan, misalnya nongkrong yang tidak produktif, pergi ke mall, ini semua akibat dari praktik komersialisasi pendidikan yang juga di amini oleh kampus.

Referensi:

1. Solihin, Muhammad (2015). Kapitalisme Pendidikan (Analisis Dampaknya Terhadap Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa). Nur El-Islam, 2 (2), 56-73.

2. Kusrin, Hasanudin Arinta (2015). Liberalisasi Pemikiran Dalam Pendidikan. Jurnal Tawazun, 8 (2), 183-199.

3. Taufik, Moh, M Arif, Affandi (2014). Resistensi Gerakan Mahasiswa Terhadap Kapitalisasi Pendidikan. Paradigma, 2 (3), 1-13.

4. Samrin (2015). Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik. Shautut Tarbiyah, 33 (21), 130-146.

5. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, 31 maret 2010.