Setelah beberapa minggu tidak menulis, tangan merasa geli dengan banyaknya momen penting yang terlewatkan. Karena jarang menonton televisi, materi tulisan lebih banyak persoalan sosial kemasyarakatan di kampus, daerah, desa dan lain sebagainya.

Namun setelah beberapa minggu ini menonton televisi, sering kali mendapat sajian berita ber-episode kasus Misteri Kematian Mirna yang diduga diracun oleh Jessica teman karibnya sendiri. Menurut sangkaan penyidik Polri, kematian Mirna disebabkan oleh racun Sianida yang dituangkan oleh Jessica ke dalam kopi Mirna. 

Pendapat itu diperkuat oleh beberapa saksi ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum. Mulai dari saksi ahli Psikologi Klinis, Psikologi Forensik, Taksiologi Kimia dan lain sebagainya.

Namun Jessica tetap bersikukuh bahwa dia tidak pernah membunuh Mirna. Malah Jaksa pembelanya mengatakan sebenarnya Jessica-lah yang menolong Mirna saat dalam kondisi sekarat. Jadi tidak mungkin sangkaan Penyidik polisi yang menyebut Jessica sebagai pelaku pembunuhan.

Itu dipastikan oleh saksi ahli taksiologi kimia forensik yang dihadirkan oleh pihak Jessica bahwa sianida dengan takaran sebagaimana yang ditemukan di tubuh Mirna tidak mungkin sampai menewaskan seseorang, karena perlu diteliti juga variabel lain yang mempengaruhi kondisi tubuh seseorang.

Proses persidangan kasus Jessica berkali-kali hampir menyerupai episode Sinetron Anak Jalanan Si Boy. Tetapi Keren juga, dengan menyaksikan sidang kasus pembunuhan mirna, banyak ilmu yang saya peroleh.

Saksi ahli begitu Jelas dan detail menjelaskan pengetahuan ilmunya. Baik secara teoritis ataupun praksis. Kecuali saksi ahli yang dari Australia. Saya tidak begitu paham, karena keterbatasan pengetahuan bahasa inggris dan males menunggu translate-nya.

Semakin sering menyimak proses persidangan, semakin banyak pertanyaan dalam diri saya. Kok begitu ya, kok begini ya. Lalu saya menduga-duga, jangan-jangan begini, jangan-jangan begitu. Ah, tapi biarkanlah saja biar proses hukum yang mengakhiri episode kisahnya sesuai dengan kemauan penulis skenario dan sutradara. Sebagai penonton saya cukup menikmati sajian ilmu yang diberikan saksi ahli dan jaksa di Pengadilan.

Belum tuntas Kasus Jessica, muncul kasus baru yang lebih fenomenal dan Bombastis, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang mengaku sebagai Guru Besar Padepokan Dimas Kanjeng Sendiri. Awalnya Dimas Kanjeng ditangkap oleh Polda Jawa Timur karena Kasus Pembunuhan terhadap dua orang pengikut yang salah satunya berasal dari Kota Kita Situbondo.

Seiring berkembangnya masalah, kasus penggandaan uang juga terkuak. Konon, Dimas Kanjeng mempunyai kemampuan menggandakan uang atau mengadakan uang. Ketua Yayasan Dimas Kanjeng, Ny. Marwa Daud Ibrahim tidak mau jika Dimas Kanjeng disebut menggandakan uang, tetapi meng-ada-kan uang.

Entah memakai istilah apa, Akbar Faisal tetap tidak percaya dengan itu semua. Menurutnya, yang dilakukan oleh Dimas Kanjeng murni Penipuan. Dia punya bukti-bukti penipuan itu berupa kepingan emas palsu dan uang berlapis kertas putih milik ibu Najmiyah yang diserahkan oleh anak ibu Najmiyah kepadanya.

Mengherankan lagi, ternyata pengikut yang oleh sebagian orang disebut santri Dimas Kanjeng, masih banyak yang bertahan di Tenda dekat lokasi Padepokan Dimas Kanjeng. Dalam satu wawancara oleh awak media, pengikutnya itu meyakini bahwa yang ditangkap oleh Polisi itu bukan Dimas Kanjeng yang Asli.

Menurut mereka, Dimas kanjeng saat ini sedang berada di Mekkah. Padahal saat Dimas Kanjeng ditanyakan oleh Polisi apakah dimas kanjeng yang ditahan itu asli apa tidak, Dimas Kanjeng menjawabnya Asli. Malah tersenyum simpul saat ditanya begitu.

Beberapa hari yang lalu, Indonesia Lawyer Club (ILC) Pimpinan Karni Ilyas membahas soal Dimas Kanjeng ini. Pesertanya ada Marwa Daud Ibrahim yang saat ini menjabat Ketua Yayasan Dimas Kanjeng, Akbar Faisal anggota DPR-RI bersama dengan rekannya anggota DPR-RI juga kalau tidak salah dari Partai Demokrat, Mahfud MD pakar hukum tata negara yang juga mantan Hakim Konstitusi, K.H Hasim Muzadi mantan Ketua Umum PBNU, Azzumardi Azra seorang cendekiawan muslim, MUI Probolinggo, Pakar Komunikasi antar Dimensi dan Bapak Permadi yang mengaku sebagai penganut aliran Kejawen serta beberapa tokoh lainnya yang saya lupa nama dan profesinya.

Dalam pembahasan di ILC, setiap peserta menyampaikan pendapatnya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Rata-rata mereka mementahkan keahlian Dimas Kanjeng, Kecuali ibu Marwa Daud Ibrahim dan Bapak Permadi yang meyakini bahwa seseorang yang mempunyai sebuah ilmu tertentu ada kemungkinan bisa menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, semisal menggandakan atau mengadakan uang.

Bahkan Ibu Marwa mengatakan Dimas Kanjeng adalah Aset Bangsa yang harus dijaga. “ Jadikan Menteri Keuangan aja kali”, kata masyarakat yang diwawancarai oleh Tvone beberapa waktu yang lalu.

Dua kasus diatas sebenarnya bagian dari kritik peradaban bahwa bangsa kita sangat enjoy dengan persoalan. Mulai dari persoalan yang penting sampai persoalan yang tidak begitu penting. Mau bagaimana lagi, memang bangsa kita bangsa yang heterogen.

Tidak bisa disamaratakan penanganan masalah antara yang satu dengan yang lain. Tetapi sampai kapan itu akan berakhir? Mungkin saja tidak akan pernah berakhir jika mental dan paham yang diyakini masih menggantung atau mungkin disorientasi.

Pancasila landasan Ideologi Negara yang sering diperingati setiap tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktiannya benar-benar di Uji. Karena jika sedikit mengurai arti kesaktian sendiri sebenarnya kemampuan berbuat sesuatu yang bersifat ghaib (melampaui kodrat alam).

Dimas Kanjeng misalnya, jika benar dia mampu menggandakan atau mengadakan uang berarti dia memang seseorang yang mampu berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam, Jika boleh meminjam istilah ahli Psikologi Klinis ”Perbuatan Dimas Kanjeng itu diluar kelaziman” sehingga patut dicurigai.

Kembali lagi pada persoalan Ideologi Negara, sejatinya lebih dipertegas agar menjadi lebih rasional. Sejarah mengatakan bahwa Hari Kesaktian Pancasila bermula dari peristiwa Pembantaian 7 Jenderal oleh PKI pada tahun 1965 yang sampai saat ini belum jelas proses peradilannya karena dianggap masa lalu kelam yang tak perlu dikupas kembali.

Kemudian Peristiwa yang hampir bersamaan dengan hari Kesaktian Pancasila adalah permulaan tahun baru hijriyah yang jatuh pada tanggal 2 Oktober 2016. Beberapa hari setelahnya, Ahok memberikan kado istimewa berupa pernyataan kontroversial tentang surat Al-maidah ayat 51 yang menuai banyak kecaman dari ormas islam di Indonesia.

Setiap detik, menit, jam, hari atau setiap waktu selalu saja ada persoalan bangsa yang disajikan kepada rakyat melalui media Televisi, media sosial dan lain sebagainya. Satu sisi memang mencerdaskan karena rakyat dibuat melek terhadap persoalan yang saat ini menimpa bangsa.

Tetapi di sisi lain, rakyat menjadi bingung kepada siapa mereka akan menaruh kepercayaan dan harapan sementara orang-orang yang dianggapnya mampu, malah seringkali mengkebiri kepercayaan itu dan melenyapkan harapan.

Kegelapan itu benar-benar melanda rakyat dan bangsa ini. Rakyat kebingungan menentukan arah masa depan Kecuali bekerja hari ini untuk makan hari ini. Secarik kertas yang berisi pesan,”segera pulang sang ratu adil, rakyatmu menunggu dikehadiranmu ditengah riuh kenang yang dulu pernah datang bersama angin pagi penuh kesegaran”.