“Guru bahasa Indonesia merupakan pondasi dasar memantik minat baca siswa dan keterampilan seni membaca. Dengan keterampilan membaca, siswa bukan hanya mampu dalam penguasaan bahasa tapi juga penguasaan literasi kritis.”
Apakah ada guru di sekolah tidak menyuruh siswanya membaca? Saya kira guru-guru selalu mendengungkan kepada siswa untuk membaca setiap saat, baik itu di lingkungan sekolah maupun di rumah. Guru mempunyai peran yang sangat urgen dalam memantik minat baca siswa.
Dari semua guru mata pelajaran, guru bahasa Indonesia punya peran paling urgen dalam hal literasi di sekolah. Urgensi tersebut adalah membangkitkan minat dan budaya membaca di kalangan siswa, hal ini merupakan tugas berat bagi pengajar dalam mencerahkan nalar anak-anak Indonesia dikarenakan budaya membaca di Indonesia dikategorikan sebagai bangsa yang tidak suka membaca.
Dari itu, untuk menatap bangsa yang cerdas di masa depan dengan generasi emas berkualitas bercorak alam pikiran kritis dan inklusif perlu persiapan yang matang dan membangun pondasi yang kuat. Pondasi tersebut berupa budaya membaca sejak dini dan guru bahasa Indonesia merupakan pondasi dasar memantik minat baca siswa.
Kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia diajarkan kepada siswa keterampilan berbahasa yang mencakup empat keterampilan, yaitu: keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan keterampilan menulis. Sama halnya dengan pelajaran bahasa Arab dan Inggris yang sama-sama mencakup empat keterampilan tersebut.
Tulisan ini fokus pada aspek keterampilan membaca yang berkenaan dengan judul di atas. Guru bahasa Indonesia merupakan pondasi dasar memantik minat baca siswa, dari itu guru mata pelajaran ini dituntut kreatif dan kaya strategi dalam menaburkan benih semangat budaya membaca.
Apa itu membaca? Apa tujuan membaca? Apa urgensi membaca bagi manusia? Apakah budaya membaca diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari? Dan Apakah kita sudah menjadi pembaca yang baik?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukkan bahwa membaca sesuatu yang sangat penting untuk diketahui secara menyeluruh dan membaca juga merupakan suatu keharusan dan perintah dalam ajaran Islam lewat wahyu pertama yang diturunkan Allah Swt, Iqra yang artinya bacalah.
Selain perintah dan keharusan bagi manusia, membaca juga mempunyai peranan sosial yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Membaca merupakan alat komunikasi yang sangat penting diperlukan dalam suatu masyarakat berbudaya (Henry Guntur Tarigan, 2005).
Manusia diberi kelebihan sebagai makhluk yang mampu berpikir dan suatu fitrah bahwa manusia mampu berpikir kritis. Untuk menuju berpikir kritis itu tentunya harus memperoleh informasi dan salah satu memperoleh informasi adalah dengan membaca, selain itu juga membaca untuk kesenangan dan sebagai pemahaman.
Bagi saya sendiri setiap jenis bacaan mempunyai tujuan masing-masing serta cara membacanya juga berbeda, misalnya membaca filsafat tidak sama dengan fiksi atau dengan membaca koran. Setiap jenis bacaan ada teknik tersendiri, dengan kata lain membaca mempunyai seni, seni membaca.
Stimulus Guru
Perlu stimulus (rangsangan) dari guru sehingga ada respons yang kuat dari siswa betapa pentingnya membaca. Mau tidak mau, guru bahasa Indonesia harus kreatif dalam keterampilan membaca. Guru harus belajar membaca dan mengajar membaca secara intensif, ini tuntutan mutlak profesi mereka” kata Henry Guntur Tarigan.
Bagi sebagian orang membaca suatu aktivitas yang membosankan, kenapa bosan? Karena ia tidak tahu manfaat dan seni membaca itu, ketika ia tahu pasti membaca sesuatu yang sangat menyenangkan. Selain menambah wawasan dan informasi, membaca juga membawa kebahagiaan dalam diri seseorang.
Saya mendapat referensi dari penulis Mortimer Adler dan Charles van Doren lewat bukunya “How to Read a Book” (1972) terjemahan bahasa Indonesia “Seni Membaca dan Memahami Beragam Jenis Bacaan” (2015). Dalam buku ini disebutkan bahwa seni membaca adalah keahlian untuk menangkap semua bentuk komunikasi sebaik mungkin.
Dalam buku ini memuat pokok-pokok penting seperti: menggali literatur dengan metode baca khusus untuk beragam jenis bacaan, strategi memilih bacaan secara tepat. Bersikap kritis terhadap ilmu pengetahuan dan cara pandang sang penulis, dengan cara meresensi buku, dan efektif memahami bacaan secara akurat.
Mortimer Adler dan Charles van Doren menyebutkan bahwa ada empat tingkat dalam membaca, yaitu:
Tingkat pertama, dinamai dengan membaca tingkat dasar atau tingkat permulaan. Orang yang sudah menguasai tingkatan ini, ia akan beralih dari buta huruf menjadi orang yang sedikitnya mulai melek huruf.
Tingkat kedua, membaca secara cepat dan sistematis, tingkat ini ditandai dengan penekanan khusus pada waktu dan memperoleh sebanyak mungkin informasi di dalam waktu tertentu. Nama lain dari tingkat ini adalah membaca sekilas atau pra-membaca. Membaca cepat adalah seni dari membaca sekilas secara sistematis.
Tingkat ketiga, membaca secara analitis. Tingkat ini membaca secara menyeluruh, lengkap, membaca dengan baik yang terbaik yang bisa dilakukan. Membaca secara analitis adalah membaca sebaik dan selengkap mungkin dalam waktu yang tidak terbatas.
Penulis buku ini menegaskan bahwa membaca secara analitis jarang diperlukan jika tujuan membaca hanya sekedar mencari informasi atau kesenangan. Tujuan membaca secara analitis adalah untuk memahami.
Tingkat tertinggi atau keempat, membaca secara sintopikal. Ini merupakan jenis membaca yang paling kompleks dan paling sistematik atau disebut juga dengan membaca secara komparatif. Membaca secara sintopikal jelas merupakan aktivitas membaca yang paling aktif dan paling memuaskan serta manfaatnya begitu besar.
Dengan mengetahui empat tingkat dalam membaca di atas, paling tidak kita bisa menjadi seorang pembaca yang baik. Bagi saya membaca itu harus dicintai dan dinikmati dengan santai sehingga buah dari bacaan bisa diperoleh pemahaman, imajinasi, dan kebahagiaan dari berbagai jenis bacaan.
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan dalam bukunya “Membaca: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa” membagi cara membaca menjadi empat bagian, yaitu: membaca nyaring, membaca dalam hati, membaca telaah isi, dan membaca telaah bahasa.
Nah, manakala guru bahasa Indonesia mampu menciptakan budaya membaca dan berhasil mempraktikkan seni membaca kepada siswanya, maka pondasi dasar itu sukses dan bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu literasi kritis.
Buku menggugah pikiran dengan judul “Filsafat Bahasa dan Pendidikan” buku ini merupakan buku pegangan bagi mahasiswa keguruan/pendidikan atau calon guru dalam merangsang logika yang berujung pada penajaman kemampuan bernalar.
Dari itu, Chaedar Alwasilah yang menulis buku ini mengatakan bahwa “Makna pendidikan bahasa jauh lebih besar daripada pengajaran bahasa. Bahasa sebagai alat berpikir, seyogianya pendidikan bahasa diniati sebagai upaya pembangunan literasi kritis yang mencakup sikap, keterampilan kritis, dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan menginterpretasi teks-teks ujaran maupun tulis.”
Semoga guru-guru kita, khususnya guru mata pelajaran bahasa Indonesia bisa membawa anak-anak Indonesia menjadi generasi yang suka membaca.