Tidak, Anda tidak sedang membaca judul film horor. Juga, Anda tidak sedang dikelabui oleh judul umpan klik—jika Anda memang terseret ke tulisan ini. Judul sudah apa adanya. Saya hanya tak mau menambahkan tanda baca pada kata gundik.
Jadi, pada awal Desember 2019 yang lalu, santer dipercakapkan penyelundupan motor Harley-Davidson keluaran tahun 1970-an oleh eks Direktur Utama Garuda Indonesia, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara. Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir, memecat lelaki yang telah mendirikan lima anak perusahaan itu—yang salah satunya punya nama nyeleneh: Tauberes.
Kemudian, perbincangan merentang begitu tersibak bahwa perbuatan lancung Ari tak cuma tentang motor retro, tetapi juga pramugari. Afair itu mula-mula dibeberkan oleh satu akun anonim di Twitter, yang membuat hampir seantero jagat maya geger.
Obrolan itu memang telah basi. Namun, ada yang tetap menarik untuk diselisik dari pergunjingan ihwal hubungan Ari dan pramugari itu, bagi saya.
Bukan tentang si pramugari yang konon merombak wajah di luar negeri dengan uang negara. Pun, bukan soal dirinya yang dikabarkan "memanfaatkan" kebobrokan manajemen yang dibawahi oleh Ari untuk kenyamanan pribadi. Yang menarik adalah kepopuleran gundik, label yang warganet sematkan pada si pramugari.
Coba saya ingat-ingat lagi. Sebelum itu, apa saya pernah melihat gundik muncul dalam teks-teks pada platform modern, seperti media sosial? Buat saya, gundik terlalu lawas. Apa warganet sedang keranjingan kosakata "usang"? Kenapa yang lain-lain, misalnya indekos atau semaput, tak turut muncul?
Gundik pada Masa Kolonial
Saya tak mengada-ada saat mengatakan gundik terlalu lawas buat saya, bahkan terlampau rungkuh. Gundik telah jauh eksis sejak era kolonial Hindia Belanda, seperti dikisahkan oleh Historia. Saya akan sekilas memparafrasakan.
Karena di wilayah bumiputra jumlah perempuan yang berstatus sosial setara dan berasal dari satu ras begitu rendah, banyak lelaki Belanda menjadikan perempuan lokal teman hidup.
Reggie Baay, penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010), menuturkan bahwa tak jarang seorang istri direnggut dari suaminya atau seorang gadis diambil dari keluarganya: ditebus dengan uang. Perempuan-perempuan itulah yang disebut gundik.
Hidup bersama lelaki Belanda tak membuat perempuan penduduk asli bernasib lebih baik. Seorang gundik dapat diperlakukan dengan semena-mena, dicampakkan kapan saja, dilarang bersentuhan dengan anaknya, dan "dilelang" kepada lelaki Belanda lain.
Anaknya yang berdarah campuran pun dianggap bermartabat lebih tinggi daripada dirinya. Itu belum termasuk tudingan "perempuan materialistis" yang dilemparkan oleh para kolonialis. Cemoohan berbau religius, moral, dan rasial pun tak luput.
Inferioritas yang datang dari dua kondisi sekaligus, yaitu sebagai bangsa terjajah dan orang kulit cokelat, membuat perempuan-perempuan itu tak memiliki pilihan lain. Jangankan melawan ketika diboyong oleh tuan kulit putih, membantah ayah atas perintah untuk "menyerahkan diri kepada majikan" saja mereka tak kuasa.
Jadi, gundik tak sekadar mengingatkan kepada pernak-pernik lampau, tetapi lebih jauh mengingatkan kepada memori pahit. Ada pengabaian saat gundik digunakan sedemikian rupa untuk menyudutkan perempuan yang dipandang beraib seorang diri.
Bangkit, Kemudian Melejit
Jika kita berbalik kepada tempo sekarang, keadaan tak cukup berbeda. Praktik patriarkis belum putus umur; ia masih dirawat dengan baik oleh para simpatisannya. Kembalinya gundik ke banyak mulut—atau lebih tepat jari—awam adalah salah satu bukti langgengnya sikap memojokkan perempuan.
Ketenaran gundik yang sekonyong-konyong ini menimbulkan decak lidah saya. Maksud saya, dahulu saya cuma menjumpai gundik—atau saya yang kurang berpiknik?—dalam novel-novel tahun 1980-an atau kitab-kitab suci agama samawi yang berbahasa beku.
Sebelumnya pun masyarakat kiwari banyak menggunakan pelakor atau lonte untuk mengecilkan perempuan yang menjadi kekasih gelap, atau bahkan istri taksah, lelaki yang sudah menikah.
Akun Twitter awanama yang membeberkan skandal itu, saya pikir, merupakan yang pertama menyebut gundik dalam semesta pergosipan Ari dan si pramugari. Kemudian, para pengikutnya dan pengguna Twitter pada umumnya mengekor.
Sementara itu, sebagian dari mereka, saya amati, tadinya belum mafhum apa itu gundik. Menariknya lagi, begitu gundik saya tikkan pada kolom penelusuran Google, akan keluar saran pencarian seperti "gundik adalah", "gundik bahasa apa", dan "gundik kbbi".
Barangkali gundik tadinya pernah meragas ke permukaan ketika Bumi Manusia (1980) dikemas ulang oleh Hanung Bramantyo menjadi film pop yang meramaikan layar lebar arus utama. Itu tentu saja dipengaruhi oleh tokoh Nyai Ontosoroh. Namun, energi yang menempel pada gundik Bumi Manusia jelas tak negatif. Tak seperti energi pada gundik Garuda Indonesia.
Wah! Bukankah cara kerja warganet dalam bergibah begitu prima, sampai-sampai membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dilongok dan etimologi suatu kata dikorek? Eh, maaf, saya betulkan: bukankah cara kerja warganet dalam merendahkan perempuan begitu prima ...?
Kecuali saya melihat bandot juga menampakkan diri di tengah samudera cakap warganet, saya tak bakal tarik asumsi di atas. Namun, itu nyaris mustahil karena Ari yang berotoritas di paling atas itu malah kebagian sedikit sorot lampu. Paket kombo patriarki dan bias moral, yang gemar mengarak perempuan, laris sampai kini.
Jadi, apa ini berarti warganet yang permisif terhadap laku diskriminatif dibutuhkan untuk memopulerkan kata yang pernah tenggelam atau belum memasyarakat? Juga, apakah dengan begitu hanya kata berkonotasi negatif yang punya peluang? Semoga tidak.