Suasana hati yang meringkih kecemasan, akibat sketsa Indonesia akhir-akhir ini diwarnai berbagai ketidakberdayaan, kemerosotan dan ketimpangan. Tampilan warna-warni dinamika, masalah-masalah yang timbul sehingga membuat negara di bawah bayang-bayang pertanyaan, apakah negara sedemikian carut marut

Perkara Sambo yang nyaris kacaukan selera sebelantara negeri ini, rangkaiannya begitu dramatis menguras emosi. Dimana sang Jenderal bintang dua yang dikenal hebat, disinyalir memiliki kerajaan sendiri institusi kepolisian. Tiba-tiba dalam waktu singkat dijerat dengan Pasal terlibat pembunuhan berencana.

Peristiwa yang semacam membenarkan peribahas, kekuasaan besar ditangan (salah-guna), dapat berpeluang semakin perbesar bahaya. Sebab tak hanya Sambo sendiri yang tersandung batu, melainkan kasusnya bawa petaka bagi sederetan personil polisi lainnya satu demi satu gugur, di pecat secara tidak hormat.

Belum usai cerita Sambo yang ‘bersimbah’, ada lagi barbarisme mengendap-endap menimbulkan kecemasan karena ancam kelangsungan bangsa yang beradab. Sesaat menghilang lalu mati! Berita aktual media massa mengaitkan terbunuhnya seorang aparatur sipil negara ini, dengan issue bahwa dia mati di bakar sebelumnya menjadi saksi Korupsi yang terjadi di daerah.

Berandai saja, misal benar motifnya korban di bunuh lantaran memberikan kesaksian tindak pidana rasuah tersebut. Maka tentu saja kejadian ini menunjukkan sebuah teror yang amat merisaukan hati, menjadi manusia baik saja begitu berisko?

Bangsa tampak kerapuhannya, mencegah imbas resesi global, pemerintah memilih berkeputusan lakukan kenaikan harga BBM subsidi. Harga BBM naik yang terkesan tiba-tiba dianggap perlakuan tidak adil suprastruktur kekuasaan ini kemudian di respon dengan agenda “Sebar Protes” yang datang dari berbagi kelompok, persekutuan masyarakat serta organisasi pergerakan mahasiswa.

Mengkritik, atau protes kebijakan energi ini perlu, disertai kemudian membereskan para mafia migas yang mengakibatkan celakanya negeri ini dalam jebakan impor migas. Mafia migas yang nyaman dengan rezim energi fosil, dan enggan bertransisi pada keadilan energi hijau EBT.

Sebab bagai bom waktu bagi bangsa bukan lagi beralasan harus menepi akibat harga minyak dunia membumbung tinggi. Tetapi puluhan tahun dan hingga detik ini produksi minyak dalam negeri anjlok dikarenakan sumber daya energi fosil semakin menipis bahkan pada level kritis. Maksudnya mengapa pemerintah di awal, sebelumnya menaikan harga BBM memikirkan solusi bernas bertranformasi atau transisi energi baru terbarukan.

Namun terkait aksi unjuk rasa ‘perlawanan’ terhadap kebijakan negara sebagai sikap seolah dapat menuntaskan persoalan ini, bukan justru meringankan beban, malah menjadi beban. Bukan justru yang menguatkan sehingga suara yang terlupakan dan tidak terdengar, bergaung dan didengar yang terlihat digelar dengan anarkis dan fandalisme.

Menghargai hak demokrasi masyarakat menyampaikan aspirasi di muka umum dengan cara yang baik, damai tanpa disertai kekerasan, pengerusakan? Termasuk, mobilisasi massa tak mengandalkan saweran setali tiga uang dari bandar demonstrasi. Sebab bila saja beralasan lazim seperti yang sudah-sudah, medsos atau luring zoom tidaklah untuk menjadi corong. Maksudnya, kita dapat menolak menjadi tumbal.

Lagipula, terutama dunia menaruh perhatian lebih pada klasifikasi mahasiswa, sebagai corak intelektual yang versi sejarahwan Arnold Toynbe dan arsitek revolusi Iran Ali Syariti adalah human transformer, pengubah nasib manusia. Tugasnya sebagai Rausyan Fikr, mencerahkan masyarakat yang terpinggirkan. Paling mutakhir para intelektual jangan sampai limbung, gampang terhasut oleh provokasi-provokasi yang mengajarkan kekerasan, penuh huru-hara.

Giliran soal lain ketidakberdayaan kelembagaan negara nyaris tidak berfungsi. Data-data pribadi masyarakat di retas, rahasia negara bocor di beberkan oleh hecker Bjorka. Ketahanan siber kita lemah, bisa-bisa negara seketika runtuh, pemerintah dibuat ketar-ketir seorang broker. Bjorka menunjukan sekaligus mutu kelembagaan negara belum banyak berubah, tetap saja tertinggal dalam persaingan dengan negara-negara lain.

Semua situasi ini benar-benar mengkhawatirkan, memprihatinkan! Saya jadi bertanya-tanya, apa yang salah dengan diri kita sebenarnya? Apa yang salah dengan bangsa ini? Reformasikah? Demokrasinyakah? Atau apa? Oleh karena itu, bagi saya pribadi, sesungguhnya ada sesuatu yang selalu merisaukan hati.

Ramalan cemerlang globalisasi, pagi ini saya menemukan berita potongan flayer. Kabarnya Dubai, Uni Emirate Arab mendatangkan ‘bulan’ di tengah kota. Replika bulan tersebut akan diisi berbagai restoran, perhotelan, klub malam sampai wisata luar angkasa. Tentu saja saya tak dapat membayangkan Moon Dubai ini tidak saja sekedar berdampak meningkatkan ekonomi di Uni Emirat Arab.

Kabar menarik yang menggugah kesadaran Indonesia saat ini, selain memilih bersekutu dalam ide dan cita-cita supaya mencintai kemerdekaan, dan melawan terhadap diri sendiri. Seorang Bung Karno berani menyatakan perlawanan terhadap dunia, perlawanan terhadap diri sendiri. Karena itu ternyata adalah hal yang tersulit.

Tak menafikan banyak orang-orang pintar yang bisa saja membangun bangsa yang berkesejahteraan, makmur yang adil dan beradab. Tetapi celakanya tidak cukup kuat dan tabah untuk menjaga harkat dan martabatnya sendiri. Kebanyakan mereka tiba-tiba demoralisasi, menimbun harta kekayaan dengan jalan Korup.

Elit politik (penimbun rezeki rakyat miskin) sudah mulai saling cakar berebut kekuasaan, Elit kontra elite yang semakin membuat rakyat terpuruk. Sebab politik masih melulu hanyalah kumpulan manusia yang bersiasat muslihat tanpa ketulusan, tanpa substansial.

Politik musiman yang siap mengoyak, mencerai–beraikan keharmonisan tatanan sosial, percik-percik api retak integrasi nasional. Politik yang menyeret negeri ini tidak saja badai krisis, melainkan jauh lebih mengerikan pada catastrophe (malapetaka).

Sunggu bosan menonton teater yang menguras habis energi bangsa ini. Mengangguk lalu merunduk, sesekali teguk kopi bukan takut kesepian, hanya ini perantara cinta. Helai jarum jam tunjukkan hari berganti, toko roti jaman orba ini memang sampai larut. Tiba-tiba depan kedai tua gadis pinggiran ajari irit kata-kata, dan tentang martabat. Sungguh?! Bagai malaikat, lantas rezim warisakan apa yang menggemberikan?! Dosa yang tidak terampuni adalah ketika kita membunuh harapan, harapan menyebarkan nilai-nilai.