Pekerjaan seorang penulis adalah mengasingkan kertas. Pedulinya  hanya pada bagaimana menuang pikirannya. Bila semua telah tertuang, peduli pada kertas sebatas apakah penerbit siap membukukan.

Kesepakatan dua berkepentingan ini tampak pada rak tokoh buku. Keberhasilan keduanya bila seorang pengunjung keluar dengan karya sang penulis.

Kini hasil kerja penulis bernasibkan pada pembaca. Pekerjaan para pembaca adalah sibuk melihat lukisan sang penulis. Pedulinya memusat pada cara memahaminya. Jika ia memahaminya, mengabarkan pada yang lain bukanlah tugas mudah, sebab memahami bukanlah perkara paham atau tidak, tapi lebih pada kesanggupan diri untuk menyapaikan.

Mungkin kita mengingat perkataan Wiji Tukul: "Apa guna banyak baca buku, bila mulut terus kau bungkam”. Mulut bukanlah hanya persoalan nasi yang terkunyah, bukan pula kecerdikan suatu tutur, juga bukan sebatas pelahiran kata puitis.

Ada hal yang lebih dasariah dari semua hal itu. Pada benakku, ia ibarat sebuah mendung, sebagai kabar dari hujan untuk kering agar mekar. Kemekaran adalah sebuah tujuan. Semuanya akan tumbuh seimbang di antara dingin dan panas yang bernama musim semi, agar angin dan anak-anak bangsa dapat bermain di semua antara yang ada.

Angin bukan hanya tentang “aku terhempas pada pipimu”, tapi juga tentang kabar baik dari langit. Berkatnya adalah sejuk. Ibarat seorang penulis menerima kabar sejuk, bahwa karyanya gandrung untuk di baca. Juga suatu momen untuk mengukir senyum seorang anak, yang di mana angin berhasil menerbangkan pesawat kertasnya

Seorang penulis di gantung oleh dua hal: karya atau untuk isi gudang. Mungkin bagi para penulis, khawatir akan hal itu juga tak menghilangkan sama sekali kecemasan. Dari penanya, dan kertas yang melengking minta ditubuhi, sang penulis bertarung gigih melawan cemas.

Karya suatu tulisan adalah suara dari diri yang menolak kesendirian. Dari buku itu, orang-orang akan melihat suatu kehidupan tertentu, yang darinya hikmah dapat pula di petik. Ini lah ketaksendirian yang di pahami para penulis.

Mungkin kita perlu bertanya pula pada Wiji Tukul, apa guna dia berucap itu? Cara yang paling asik yang didramakan oleh Wiji Tukul adalah siap melawan barisan anak-cucu fasisme. Itu lah “guna” bagi beliau yang batinku pahami. Keberaniannya tak kalah mewah dari tumpukan barang-barang antik pada sebuah gudang. Gudang bukan tempat barang rongsokan, tapi tempat untuk marapikan kenangan masa lalu. Keantikannya adalah menjaga ingatan masa silam.

Cara paling tepat memahami para penulis adalah dengan membiarkannya terus menulis. Biarkan saja dia sibuk melawan kecemasannya sendiri. Beri dia silahkan untuk menerka kehidupan, apakah alurnya begini atau begitu. Persilahkan saja dia memainkan pikirannya untuk menarasikan kehidupan ini.

Dengan menulis pada sebuah kertas, penulis memahami selarik kalimat: memahami pabrik kertas hanyalah dengan mencorat-coret kertas itu!

Bila coretannya sudah menumpuk sekian banyak, lalu menjadi sebuah buku yang siap saji di tokoh buku. Selebihnya, biarkan pasar yang bertindak lebih jauh.

Kita mungkin juga mengingat perkataan dari Pak. Pram “seorang yang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Apa yang kini tersisa bagi kita pada kata-kata yang sudah kelewatan bijak ini? Seakan-akan Pak. Pram tak paham bahwa pikiran dan perbuatan selalu saja kurang selaras. Mungkin itu keresahan penulis kawakan ini, bahwa ketaksanggupannya lagi melihat rakus manusia, maka ia hadir seolah sebagai mulut dari Tuhan.

Alam pikiran beliau yang dituangkan pada Bumi Manusia, harus kita akui bahwa beliau sudah berada pada makam pelampauan waktu. Dia ada pada kedisiniannya, merabah yang di belakang, untuk sebuah catatan bagi masa depan. Kita yang di sini memikirkan masa depan dengan cara terjebak pada masa silam. Beliau dengan segenap tumpukan kertas di meja kerjanya, kini menjadi barang antik dalam gudang.

Bung Karno, dengan suaranya yang merekakkan langit berucap: jangan sekali-kali melupakan sejarah! Beliau sadar dengan apa yang dia ucapkan, tapi beliau hanya sadar pada apa yang sudah terang pada matanya. Sadarnya yang berlanjut adalah bagaimana menyampaikannya. Bagi para pendengar, itu adalah apa yang dia dengar. Tapi tidak sebagaimana dia ingin dengarkan.

Coba kita bandingkan dengan seorang penjual jalan kote. Dia berteriak: jalannnnn koteeee. Yang mendengarkan tahu bahwa ada penjual jalan kote, tapi baginya tidak cukup hanya untuk mendengar lalu pilihan adalah membeli. Ada sadar yang paling dasar untuk di sadari.

Bukan sekedar lapar lantas kita membeli. Bukan pula suatu perasaan simpatik belaka. Yang paling dasar yakni karena semua manusia sudah selalu mengemis untuk berinteraksi. Hal itu terjadi secara natural. Pengemisan ini adalah penolakan secara gigih akan kesendirian. Dasar interaksi kita adalah ketakinginan akan sendiri. Itulah yang saya maksud sebagai natural. Tangis bayi ketika telah dilahirkan mencerminkan hal itu.

Bila seseorang tak menyadari hal tersebut, maka segala rangsangan dari luar hanya di sanggupi tidak sebagaimana dia inginkan. Apa yang saya maksud ‘sebagaimana dia inginkan’ adalah kesadaran otentik atau kesadaran akan diri sendiri. kita sadar bahwa kita yang memiliki kesadaran. Dengan begitu, menjauh dari sikap manut-manut dimungkinkan.

Maka tindakan bung Karno untuk menggerakkan massa agar berjuang bersama-sama adalah doktrin emansipasi. Yakni, membentuk perasaan yang sama bahwa kita kini di jajah. Bayangkan saja bila doktrin emansipasi itu tidak dilakukan. Dari hal itu pula, kesadaran akan diri juga mampu menampak.

Doktrin itu tak lain adalah pengajaran. Dan pengajaran tak lain adalah bagaimana membentuk kebiasaan. Pembiasaan akan suatu ajaran adalah penginternalisasian eksternal. Dengan kata lain membentuk kepribadiaan, yang usahanya baik oleh diri sendiri atau orang lain.

Tapi perlu untuk kita sadari bahwa doktrinal tidaklah selalu penuh, sebab subjektifitas manusia tetap hidup sekalipun dalam keadaan doktrinal. Sebagaimana perkataan Sartre: orang-orang selalu melihat sebagaimana dia ingin di lihat. Kata dammerzustand juga menjelaskan hal tersebut.

Di dalam Hermenutik Dilthey, sebagaimana yang dijelaskan F. Budi Hardiman dalam bukunya Kritik Ideologi, ada yang di sebut Lebenbezug. Ini diartikan sebagai relasi kehidupan. Relasi kehidupan adalah hubunganku dengan dunia luar sejauh dunia luar meresapi dunia dalamku.

Memahami sesuatu di luar diri kita, bukan sekedar aku paham atau tidak. Tapi, bilamana preferensi diriku ini juga tampak pada sesuatu di luar diriku, maka memahami hal tersebut dimungkinkan.

Dengan begitu, pengajaran tidak semata-mata kita pahami sebagai berhasilnya taktik dari agen, tapi subjek yang di tuju oleh agen memang menginginkan pengajaran tersebut. Makanya kita memahaminya dalam terang intersebujektif dan bukan subjektif.

Bung Karno, Pramoedya, dan Wiji Tukul adalah tiga pendekar yang sibuk di nukil oleh para penulis kritis. Namanya tetap diharumkan pada lembaran-lembaran kertas. Tapi wanginya hanya tiba pada siapa saja yang tersentuh oleh perjuangannya.

Yang satu sibuk mengusir para penjajah, yang duanya lagi sibuk dan asik mengkritik agar massa sadar dengan suatu roman dan puisi. Ketiganya adalah bapak bagi haluan kritik. Narasi-narasi tentangnya atau yang sempat beliau tuliskan di babat habis oleh orang-orang yang tak kalah ingin sibuk.

Orang-orang yang tak kalah sibuknya ini, merawat kertas-kertas beliau agar masih tetap berbicara pada saat ini. Di tangannya, kertas masa silam, menjadi primado masa kini. Pabrik kertas seharusnya menyantuni orang-orang ini, karena dengannya, mesin tetap dinyalakan oleh kaum buruh.  Mungkin, dan hanya tentang mungkin, pabrik kertas akan senada dengan hal ini.

Kecerdikan pegiat literasi adalah dengan mengadakan penghargaan bagi para penulis. Kecerdikan pabrik kertas adalah kesenangan pada mesin yang tetap berjalan. Keduanya memiliki kepentingan sendiri dan kepuasan. Rasa manusiawinya adalah dengan menyediakan ruang bagi orang-orang untuk dihargai dan di kenang.

Sebuah kuliah di Komunitas Salihara yang mana pewarta adalah bapak F. Budi Hardiman. Pak. Budi menyinggung tentang Leo Tolstoy yang berbicara tentang dammerzustand di dalam bukunya Peace and War. Dammerzustand diartikannya sebagai temaram kesadaran.

Apa yang di maksud dengan temaram kesadaran adalah kita yang menyadari suatu fenomena tidak selalu penuh. Dengan kata lain, rasio kita itu tidak terang juga tidak gelap, tapi temaram. Ingat, hidup ini bukan hanya tentang yang masuk akal, tapi terkadang ketakmasukakalan menyeruak tak henti-henti sebagai realitas kehidupan.

Dengan rasio yang tidak terang tapi hanya temaram, para pustakawan mengambil sikap yang bijak, yakni mengasingkan kertas-kertas dalam sebuah gudang yang bernama perpustakaan. Pustakawan adalah para pelestari kesadaran. Lakunya ibarat seorang ibu. Merawat, menyapih, menuntun agar sang buah hati kelak berguna pada hati yang lain.

Sintesis dari kertas, industri kertas, penulis dan pustakawan adalah perpustakaan.