Demokrasi sudah menjadi landasan ideologi sistem politik negara-negara di dunia. Berawal dari tradisi Yunani dan bangkit setelah Renaissance dengan munculnya pemikir-pemikir semacam Montesquieu, John Locke, dan Rosseau. Perkembangan demokrasi yang pesat di Eropa tersebut kini sudah menyebar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. 

Percobaan penerapan demokrasi di Indonesia sudah dimulai sejak kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Meski terseok-seok dengan berbagai macam dinamika, Indonesia tetap bertahan dengan sistem politik demokrasi. Mulai dari demokrasi parlementer hingga demokrasi presidensial, berbagai penolakan, pemberontakan, gelombang-gelombang protes, hingga konflik muncul silih berganti.

Berbagai dinamika tersebut mencatat salah satu gelombang terbesarnya dalam sejarah pada tahun 1998. Gelombang protes yang menuntut pembaruan sistem demokrasi tersebut berhasil menurunkan Soeharto dari tahta 32 tahun kepresidenan. 

Transisi demokrasi yang bernama reformasi itu, meski berhasil mengganti pucuk kekuasaan, tetapi perubahan substansi yang diharapkan perlu dipertanyakan kembali. Sudah 20 tahun sejak reformasi berlalu, tetapi kasus KKN, ketidakadilan hukum, maupun pelanggaran HAM masih sering kita temukan. Namun, hal yang lebih substansial untuk dipertanyakan dari semua itu adalah prinsip demokrasi.

Prinsip demokrasi Indonesia ternyata masih belum menemukan fondasinya meski sudah 20 tahun reformasi digaungkan. Akhir-akhir ini perdebatan tentang prinsip tersebut semkain meruncing seiring dengan menguatnya narasi keislaman. Dimulai dari keluarnya Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang berimplikasi pada pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tahun lalu semakin meruncingkan prinsip kebebasan demokrasi Indonesia. 

Banyak pihak mengatakan bahwa keputusan presiden mengeluarkan Perppu Np. 2 Tahun 2017 sudah tepat sebagai upaya melindungi Pancasila. Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang berpendapat bahwa keluarnya Perppu tersebut justru bersifat represif dan mencederai demokrasi itu sendiri[1].

Selain itu, kasus semisal pembubaran beberapa pengajian, demonstrasi keislaman berjilid-jilid, isu kriminilisasi ulama, hingga munculnya simbol-simbol oposisi berbaju identitas keislaman menambah rumitnya diskursus kebebasan demokrasi di Indonesia. Dilema muncul ketika dalam gerakan, simbol, dan narasi tersebut secara eksplisit maupun implisit mengancam sistem demokrasi dan dasar negara, yaitu ide khilafah dan NKRI bersyariah. Lebih sulit lagi, ide-ide semacam itu kini menyamar ke dalam simbol yang lebih subtil, yaitu gerakan #2019GantiPresiden.

Gerakan #2019GantiPresiden

#2019GantiPresiden berawal dari twit Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera. Bermula dari twit tersebut, #2019GantiPresiden meluas dan berubah menjadi bentuk gerakan oposisi. Meskipun Mardani mengklaim gerakan #2019GantiPresiden hanya sekadar gerakan sosial, bukan kampanye ataupun gerakan politik, tetapi pihak polisi dan beberapa kelompok berpandangan lain. 

Di Surabaya (26/8), gerakan #2019GantiPresiden diamankan oleh polisi, beberapa kelompok juga ikut menghadang aksi tersebut[2]. Bagi polisi, gerakan tersebut merupakan gerakan kampanye yang terlalu dini, bahkan ada juga pihak-pihak yang menganggap gerakan tersebut adalah makar dan ditunggangi oleh para pendukung ide khilafah.

Dugaan tersebut menguat ketika tersebar sebuah video yang menampilkan Mardani Ali Sera dengan Eks Jubir HTI, Ismail Yusanto yang mengatakan frasa ‘ganti sistem’ menyaut ucapan Mardani.”2019 ganti presiden”. Apalagi dalam beberapa deklarasi yang dilaksanakan diduga bendera HTI ikut berkibar di tengah massa aksi. 

Beberapa kasus tersebut yang membuat beberapa pihak menyangka adanya ide khilafah yang hidup di tengah gerakan #2019GantiPresiden tersebut, seperti GP Ansor dan Badan Intelijen Negara (BIN)[3]. Berbagai dugaan semacam itu tentu memberikan dilema tersendiri. Apakah kita harus memberikan kebebasan pada gerakan tersebut atau menganggapnya sebagai politik sektarian?

Antara Kebebasan dan Sektarian

Baechler (1995) mengemukakan sifat demokrasi adalah kontraktual, yaitu sistem kontrak yang menghubungkan kepentingan-kepentingan individual ataupun beberapa kelompok kolektif dalam satu yang garis yang tegas[4]. Proses kontrak itu terjadi melalui pertukaran-pertukaran baik ide maupun kepentingan. Namun, pertukaran tersebut harus berasal dari pihak-pihak yang bebas dan setara. 

Berdasarkan prinsip tersebut, demokrasi selayaknya memberikan kebebasan terhadap pihak manapun untuk menyuarakan aspirasinya, termasuk #2019GantiPresiden. Namun, di sisi lain, kebebasan demokrasi memunculkan resistensi yang bernama sektarianisme.

Dalam KBBI, sektarianisme diartikan sebagai 1) semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut; 2) aliran dalam politik yang antikomunikasi, reaksioner, amat emosional, tidak kritis, angkuh, dan antidialog[5]. 

Menarik dari pengertian tersebut, indikasi-indikasi yang ada pada gerakan #2019GantiPresiden, kalau benar, dapat kita sebut sebagai politik sektarian. Kasus persekusi terhadap Susi Ferawati dan anaknya di acara car free day (CFD) pada 29 April 2018 lalu merupakan salah satu indikasi bahwa fanatisme gerakan ini dapat menghilangkan perasaan saudara antarsesama bangsa. Susi juga mengatakan di tengah acara CFD tersebut, banyak peristiwa olok-olok dan persekusi bahkan terhadap ibu-ibu dan anak-anak[6]. 

Dari pemaparan tersebut, munculnya gerakan #2019GantiPresiden memang menghadirkan adanya dilema. Prinsip demokrasi memberikan kebebasan pada pihak manapun untuk menyuarakan aspirasi, tentu saja termasuk aspirasi keislaman. 

Namun, indikasi berupa rencana khilafah di dalamnya, berkibarnya bendera HTI di tengah deklarasi, persekusi dan munculnya frasa ‘ganti sistem’ menjadi sebuah ancaman terhadap dasar negara, bahkan demokrasi itu sendiri. Hal ini tentu memerlukan suatu jalan keluar, akankah kita menekan gerakan tersebut atau justru membiarkannya bersuara dengan semua indikasi sektarianismenya?

Demokrasi Teistis sebagai Solusi

Situasi yang ditimbulkan gerakan #2019GantiPresiden tentu memunculkan kekhawatiran akan perpecahan bangsa. Kuatnya narasi keislaman yang digunakan menjadi motivasi utama gerakan ini adalah suatu teka-teki, apakah narasi tersebut murni aspirasi masyarakat Islam Indonesia atau sekadar alat untuk menutupi agenda lain di dalamnya.

Narasi keislaman itu mencuat kuat sejak kasus Ahok hingga pembubaran HTI dan kriminalisasi ulama. Akhir-akhir ini, diadakan suatu ijtima ulama hingga dua jilid yang mendukung penyalonan Prabowo-Sandi sebagai capres-cawapres tandingan Jokowi. Narasi keislaman ini tampaknya menimbulkan reaksi pihak Jokowi yang berimplikasi pada ditunjuknya Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. 

Narasi keislaman tentu bukan suatu soal dalam demokrasi, tetapi menjadi masalah ketika simbol dan identitas Islam menjadi tameng untuk politik sektarianisme yang eksklusif dan mengahancurkan persaudaraan antarsesama bangsa. Apalagi kalau narasi keislaman tersebut hanya mewakili sebagian kelompok saja dari umat Islam Indonesia sehingga berpotensi memecah belah bangsa.

Dalam hal ini, konsep demokrasi teistis menjadi salah satu alternatif bagi umat Islam untuk memperjuangkan ide dan kepentingannya dengan menghindari sektarianisme.

Fatwa (2001) menyebutkan bahwa ide demokrasi teistis sudah dicetuskan melalui proses perumusan Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan legitimasi bahwa demokrasi di Indonesia mengakui adanya aspirasi agama dalam proses demokrasi[7]. Politik Sarikat Islam (SI), kembalinya NU ke khittah 26, atau gerakan Muhammadiyyah dalam membentuk institusi-intitusi pendidikan, kesehatan dan sosial dapat menjadi contoh pemanfaatan demokrasi teistis yang efektif.

Contoh pergerakan politik semacam itu sangat patut ditiru oleh para aktivis gerakan #2019GantiPresiden dalam narasi keislaman yang mereka bawa. Alih-alih menggunakan politik praktis dalam memperjuangkan aspirasi segelintir sentimen kelompok umat Islam, lebih baik aspirasi tersebut disampaikan dalam rangka pemberdayaan umat. Dengan begitu, gerakan-gerakan yang membawa simbol, identitas, dan narasi keislaman bukan lagi berorientasi pada kepentingan politik sektarian yang mengancam demokrasi, tetapi justru menjadi penguat yang mewarnai proses kontraktual demokrasi di Indonesia.

Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat dilema demokrasi yang dihadapi oleh pemerintah maupun bangsa Indonesia. Nilai kebebasan sebagai sifat utama demokrasi melahirkan ruang gerak pada politik sektarianisme yang mengancaman demokrasi itu sendiri. Indikasi semacam itu dapat kita temukan pada gerakan #2019GantiPresiden yang diindakasi ditunggangi oleh eks HTI dan ide khilafah.

Gerakan #2019GantiPresiden tentu tidak bisa begitu saja dihalau, tetapi indikasi yang ada juga tidak bisa begitu saja dihiraukan. Maka diperlukan adanya pengawasan terus-menerus akan dinamika yang terjadi. Penerapan demokrasi teistis menjadi indikator utama dalam menilai gerakan tersebut.

Selama gerakan #2019GantiPresiden hanya membawa aspirasi murni umat Islam, maka gerakan tersebut harus diberi kebebasan. Akan tetapi, jika gerakan #2019GantiPresiden mulai menunjukkan bukti adanya upaya makar dan pemberontakan atas dasar negara serta sistem demokrasi, maka gerakan tersebut harus segera dihentikan.

Daftar Pustaka

  1. Cahyu, 2017, Perppu yang Disetujui Menjadi UU Ormas Dianggap Berbahaya. https://www.liputan6.com/news/read/3155397/perppu-yang-disetujui-menjadi-uu-ormas-dianggap-berbahaya?source=search, Diakses pada 6 Oktober 2018 pukul 23:14 WIB
  2. BBC Indonesia, 2018, Gerakan ‘Ganti Presiden’ Tak Dapat Izin Polisi, Politis atau Pelanggaran Demokrasi? https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45312977 , Diakses pada 7 Oktober 2018 pukul 13.30 WIB 
  3. Tempo.co, 2018, BIN Sebut Gagasan Khilafah Hidup di Pendukung #2019GantiPresiden, https://nasional.tempo.co/read/1121621/bin-sebut-gagasan-khilafah-hidup-di-pendukung-2019gantipresiden , Diakses pada 7 Oktober 2018, pukul 13.45
  4. Jean Baechler, 1995, Democracy An Analytical Survey, Prancis: UNESCO
  5. KBBI Online, 2018, https://kbbi.web.id/sektarianisme , Diakes pada 7 Oktober 2018, pukul 14.00 WIB
  6. Sherly Puspita, 2018, Ibu Berkaos #DiaSibukKerja Ceritakan Kronologi Persekusi Saat Sumbangi Polda Metro, https://megapolitan.kompas.com/read/2018/04/30/16295951/ibu-berkaus-diasibukkerja-ceritakan-kronologi-persekusi-saat-sambangi , Diakses pada 7 Oktober 2018, pukul 15.15 WIB
  7. A. M Fatwa, 2001, Demokrasi Teistis Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Indonesia