Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Mementingkan golongan ormas, ideologi, teman seideologi, dan lain-lain. ~ Gie

Hari-hari di mana penerimaan mahasiswa baru hampir di seluruh universitas di Indonesia. Di Kota Malang sendiri, terdapat puluhan ribu mahasiswa baru dari total beberapa universitas atau sekolah tinggi, seperti UB, UIN, UM, UMM, UNISMA, POLITEKNIK, dan lainnya. Mahasiswa baru menjadi sangat menarik dibahas karena bisa dipandang dari berbagai perspektif.

Bagi pihak kampus, mahasiswa baru merupakan ladang upaya mendidik atau bahkan mencari pundi-pundi uang yang ditarik dari UKT-nya mahasiswa baru. Bagi sebagian masyarakat sekitar kampus, mahasiswa baru merupakan ladang bisnis, baik bisnis kuliner maupun bisnis kos-kosan.

Teruntuk juga bagi sebagian besar organisasi mahasiswa, mahasiswa baru merupakan ladang melakukan pengkaderan dan sekaligus pertarungan dengan organisasi lainya, baik itu organisasi ekstra seperti HMI, GMNI, KAMMI, IMM, GMKI atau organisasi intra seperti BEM, LSO, dan lain sebagainya.

Terkhusus di Universitas Brawijaya, terdapat ritual khusus ketika selesai dari ospek universitas hari pertama, yaitu pengkaderan organisasi ekstra di gerbang kampus. Sedikit informasi, organisasi ekstra di Universitas Brawijaya merupakan sebuah hal yang tabu, dan sangat tidak terbuka bagi politik kampus; saya tidak tahu jika di kampus lain.

Tapi saya tidak membahas itu, terdapat cara lain yang dilakukan oleh organisasi ‘penguasa’ ekstra untuk melakukan pengkaderan dengan memanfaatkan kekuasaan/jabatannya dengan cara-cara yang genit. Mari kita bedah itu semua.

Kata ‘genit’ sendiri terinspirasi dari salah satu tulisan kolom di Jawa Pos, yaitu Kegenitan Akademisi oleh Ahmad Saqidah (2018), yang pada intinya genit terhadap kata-kata yang memang seharusnya berbahasa Indonesia namun menggunakan bahasa selain Indonesia.

Tetapi ini berbeda, ini genitnya organisasi penguasa yang memanfaatkan jabatan untuk melakukan kaderisasi untuk golongnyanya. Jabatan di sini dapat melakukan dengan ketua pelaksana atau jabatan organ intra lainnya. Motifnya ialah memanfaatkan unsur-unsur dalam segala bentuk kegiatan ospek.

Organisasi yang berkuasa atas nama mahasiswa pada umumnya menggunakan alat kekuasaannya untuk melakukan pengkaderan golongannya secara terselebung dalam kegiatan ospek. Dengan cara-cara yang genit, seperti memasukkan unsur organisasi dalam tugas ospek, jargon-jargon, klaim-klaim media sosial, atau dengan simbol dan warna-warna.

Di mana di dalamnya diusahakan dimasukkan unsur golongannya yang memiliki keuasaan tersebut. Tujuannya adalah mengenalkan mahasiswa baru terhadap organisasi ekstranya. Cara-cara demikian tentunya tidak etis. Organisasi penguasa tentunya memiliki tanggung jawab penuh untuk seluruh mahasiswa dan dekanat pada umumnya, bukan untuk golongannya sendiri.

Saya sendiri mendapatkan pengalaman aneh, yaitu ketika jargon-jargon ospek dikumandangkan oleh panitia ospek yang mengenalkan organisasi ekstra dengan jargon khusus golongannya, sebut saja “YAKUSA”. Di lain fakultas, terdapat tugas ospek yang mencontohkan dengan kata-kata ‘YAKUSA’. Trik-trik demikian sungguh sangat bodoh. Kasihan sekali mahasiswa baru.

Tidak hanya itu, simbol-simbol dan warna-warna juga turut mendapatkan giliran. Seperti baju panitia, atau nametag mahasiswa baru, atau bahkan logo ospek. Sebagai contoh, terdapat organisasi ekstra yang identik dengan warna putih, lalu menggunakan semua unsur-unsur warna putih tersebut untuk memperkenalkan organisasinya.

Kita mengenalnya dengan politik identitas. Tapi apakah ini yang dinamakan politik identitas? Saya rasa bukan, kecuali memang menggunakan identitas kiri—dengan pro pekerja universitas. Atau kanan—yang memedulikan kebebasan di kampus. Tapi yang ini hanya berkutat kepada simbol dan jargon-jargon.

Lalu tujuannya apa? Memang penting dalam sebuah organisasi untuk melakukan kaderisasi. Tetapi nyatanya, terdapat tujuan-tujuan pragmatis untuk melakukan pengkaderan, untuk melanggengkan jabatan. Mahasiswa baru seperti ini hanya menjadi pemuas-pemuas senior yang haus jabatan. Ujungnya adalah peminjaman KTM untuk memilih seniornya.

Bahkan, terdapat beberapa organisasi ekstra yang memiliki hubungan khusus dengan partai politik, dan ujungnya mendoktrin mahasiswa baru tadi untuk memilih partai politiknya. Sangat disayangkan.

Dampaknya apa? Bagi mahasiswa baru yang baru datang dengan idealisme tinggi, dia akan tertipu dengan doktrin, dan nantinya hanya mementingkan golongnyanya sendiri. Yang lebih parah menjadi ekstremis atau garis keras. Dan ujungnya menjadi senior di atas tadi. Begitulah roda kehidupan mahasiswa yang haus akan jabatan.

Seharusnya mahasiswa menjadi pemangku utama kepentingan semua mahasiswa, dan itu sudah menjadi tugas yang berkuasa atas nama mahasiswa, bukan mementingkan golongan sendiri. Organisasi-organisasi yang seperti itu tidak layak berkuasa.

Meminjam perkataan Gie, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, ideologi, teman seideologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah mengengah. Mereka akan jadi korban-korban baru ditipu oleh tokoh mahasiswa semacam tadi.”

Akhir kata, saya sebagai mahasiswa memimpikan dunia mahasiswa bergerak tanpa mendahulukan golongan-golongannya, memperbaiki keadaan masyarakat tanpa harus membawa golongan-golonganya. Biarlah organisasi hanya menjadi pemicu gerakan. Tidak pelu menjadi alat pemuas.