Pendidikan kini tengah memasuki revolusi digital di mana sistem pembelajaran bisa terhubung dengan media berbasis digital. Anak-anak mulai berhadapan dengan digitalisasi kehidupan yang makin menuntut mereka untuk terampil dalam bidang teknologi.
Pada Januari 2012, perusahaan gawai ternama, Apple, melaporkan kurang lebih 1,5 miliar iPad terjual yang digunakan untuk institusi pendidikan di seluruh dunia.
Para praktisi pendidikan di negara-negara maju mulai meyakini bahwa media digital tak hanya berfungsi sebagai media audiovisual semata.
Siswa dapat belajar secara individu dengan pilihan aplikasi yang disajikan. Guru lebih mudah memonitor perkembangan belajar siswa melalui pembelajaran e-learning yang terintegrasi dengan sistem sekolah.
Finlandia, negara yang selalu dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, pun mulai melakukan revisi kurikulum di mana sistem pengajaran mulai merambah ke media digital.
Tampaknya media digital yang selalu menyajikan rangkaian feature yang inovatif tersebut akan menggerus penggunaan media cetak yang sebelumnya menjadi “tokoh utama” dari media pembelajaran di sekolah.
Mengetik akan menjadi aktivitas sehari-hari yang digunakan siswa untuk mencatat materi, mengerjakan tugas, dan juga menulis jurnal harian.
Sampai saat itu, kita mulai berpikir, kapankah terakhir kali anak-anak kita menulis? Apakah suatu saat nanti menulis tak lagi menjadi media yang digunakan anak-anak untuk belajar?
Mengetik dan menulis tentunya memainkan proses kognitif yang berbeda. Pada tulisan tangan, sebagian besar proses mental digunakan untuk fokus kepada konten yang ingin ditulis, sedangkan perhatian visual dan proses jemari bergerak saling beriringan.
Sebaliknya, proses mengetik lebih banyak terfokus pada perhatian visual di mana penulis lebih banyak menyaksikan tulisan di layar dibandingkan koordinasi jemari tangan saat menulis.
Oleh sebab itu, dibandingkan mengetik, menulis lebih merepresentasikan pesan si penulis dan lebih mengontrol koordinasi jemari tangan untuk menghindari kesalahan dalam penulisan.
Masih ingatkah bagaimana proses kita mempelajari huruf alfabet? Pola yang kita gariskan di atas kertas dengan garis tekanan yang mendalam selalu menjadi pengalaman pertama saat kita belajar menulis.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh jurnal Trends in Neuroscience and Education, menemukan bahwa anak-anak yang menulis dengan tangan mampu mengingat kosakata yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang mengetik di atas layar.
Jika memang media digital akan menjadi primadona sekolah pada zamannya, maka patut disayangkan jika siswa benar-benar tidak merasakan sensasi menulis.
Beberapa waktu yang lalu, suatu komunitas yang saya ikuti mengadakan kegiatan bersama anak-anak sekolah untuk bergabung dalam forum sahabat pena. Di sini mereka diperkenalkan dengan kegiatan surat-menyurat untuk berinteraksi kepada teman yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Tidak hanya itu, dengan menulis surat, anak makin terlatih membuat baris kata demi kata dan merangkainya dalam sebuah kalimat. Mulai dari menanyakan kabar, hobi, atau sekadar menceritakan kegiatan mereka sehari-hari.
Kegiatan surat-menyurat tampaknya sudah ditinggalkan banyak orang di era digital seperti saat ini. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, seorang penulis ternama, Anne Frank, pernah menghabiskan masa hidupnya untuk menulis surat ke sahabat penanya.
Pada April 2018, korespondensi Anne Frank dan sahabat penanya, Juanita Wagner, dipamerkan di museum Danville Stadion, Amerika Serikat. Bukti korespondensi ini menjadi sejarah akan peristiwa pertumpahan darah terbesar akibat keganasan Nazi yang memakan jutaan korban manusia, salah satunya adalah Anne Frank.
Membangun interaksi sosial melalui surat-menyurat tidak hanya bertukar sapa melalui media yang berbeda. Menuliskan pengalaman yang emosional kepada rekan, bahkan hanya sekadar mencoret, dapat dijadikan terapi untuk menurunkan gejala depresi dan gangguan kecemasan.
Dalam domain perkembangan psikologis, kemampuan motorik halus merupakan domain yang tidak bisa terlewati dan akan menjadi peristiwa penting dalam kehidupan anak. Oleh sebab itu, menulis dapat bermanfaat untuk menstimulasi kemampuan motorik halus anak.
Tekanan dan kualitas garis yang dihasilkan saat menulis merupakan ekspresi dari emosi yang dituangkan di atas kertas. Itulah mengapa goresan tangan mampu menyiratkan kepribadian dan karakter seseorang yang tidak akan bisa ditemukan pada proses mengetik.
Walau bagaimanapun, menulis adalah media belajar anak untuk mengenal awal kehidupan dan fondasi untuk belajar membaca.
Di sisi lain, paparan layar media digital yang berlebih tidak baik untuk perkembangan mental anak. Jika dibiarkan menggunakan gawai terlalu lama, hal ini dapat menyebabkan keterlambatan kognitif yang menyebabkan tumbuh-kembang anak menjadi terhambat.
Meskipun hidup di era digital banyak menuntut kita menghabiskan waktu di depan layar, menulis hadir untuk menjadi peredam: meredamkan efek radiasi yang berlebihan pada anak dan juga meredamkan kemungkinan terjadinya gangguan mental yang banyak dialami anak di era modern seperti saat ini.
Menulis memang tidak lagi menjadi primadona. Namun ia tetap berguna meski acap kali orang banyak melalaikan sisi kecil dari manfaatnya.
Menulislah. Ia tidak pernah terlekang oleh masa.