Kicauan burung telah menyambut pagiku. Mentari, pun malu-malu menampakkan wajahnya kepada dunia.
Tak kalah dengan si jalu ayamku yang berteriak dengan kerasnya, bak alarm di pagi hari. Julia laila, itulah nama lengkapku, orang-orang akrab memanggilku julia.
Kepribadianku memang aneh, cewek kok memelihara ayam? Itulah pertanyaan yang sangat bosan kudengar.
Teman, tetangga, kakakku sampai tukang sayur keliling mengejekku dengan pertanyaan yang sama, apalagi ibu-ibu rumpi yang melewatiku, pasti ketawa. Rasanya pengen ketimpuk mereka pakai batu biar benjol sekalian itu kepala.
Sri mursini itulah ibuku, sang mantan bunga desa di Yogyakarta. pesonanya mengalahkan Luna May, jalannya penuh perasaan ala Miss Indonesia, hingga seribu pria tergila-gila padanya. Sidatnya yang egois dengan semua hal tentang kehidupanku, mengatur dan mengatur, dia pengen aku jadi gadis yang kalem layakanya putri keraton.
Jarum jam menunjukkan pukul 06.30 pagi, inilah kebiasaanku, berangkat sekolah selalu meper. Ku cium tangan ibuku dan pamitan kepadanya. “jaga sikapmu sebagai gadis yang terhormat” seru ibu menatapku, aku pun mengangguk dan segera mengendarai motor bututku
Di Yogyakarta tempatku menuntut ilmu. Aku teringat janjiku menemui pak Narto. Aku segera berlarian mencarinya. “Lihat Pak Narto, Bu?” tanyaku pada salah satu guru, “pak Narto di sana jul.” Tunjuknya ke arah kantor guru.
“Assalamualaikum, Pak Narto”
“Waalaikumsalam. Eh kamu Jul, sini duduk dulu! Gini Jul, alat musik yang ada di ruang musik tiga tahun belakangan tak ada yang megang. Bapak punya kabar kalau kamu pinter bermusik!” terangnya.
“Maksud Bapak?” tanyaku penasaran.
“Kamu mau kan menghidupkan kembali alat musik itu? Tanya pak Narto.” Bapak bercanda ya? Haha”sahutku tertawa pelan.”
Dalam hatiku berbisik cewek seberandal aku memainkan gambang yang entah aku bisa apa tidak. Selama ini yang aku mainin Drum dan Gitar, pak Narto benar-benar gokil.
Julia.... seru pak Nar mengagetkan. “eh iya pak?” kok bengong, sanggup kan Jul?
Wheeesshhh sanggup lah pak, itung-itung melestarikan alat musik tradisional bangsa Indonesia , ujarku menyakinkan, padahaal hatiku berkata tak mampu, tapi tak apalah, optimis. Aku pun tersenyum dan meninggalkannya sembari mengucapkan salam.
Teet..teeet...teeeett...bel istirahat berbunyi, gemuruh ribuan tapak kaki bak gempa bumi. Seperti biasa aku, Doni, Joe,Ita, dan Doel selalu nongkrong di kantin sekolah.
Gays tadi aku di suruh pak Narto memainkan alat musik yang lama tidak di mainkan, aku bingung mu ngajak siapa, kalian mau kan? Ucapku.
Apa pak Narto gak salah nyuruh kamu bro? Yang gue tau, alat musik yang di ruang musik kan sejenis Angklung dan Gambang gitu, emang kamu bisa? Ledek Doel. “iya, kamu yakin bisa?” sahut ita. Ita, sahabat tercantikku dari ratusan sahabatku bodinya begitu langsing dengan rambut panjang terurai rapi, berkulit putih, tinggi semampai, anak orang kaya lagi. Suka iri aku melihatnya.
“Kalau latihan terus tidak ada kata tidk mungkin!” seru Joe. Setiap pulang sekolah, kami selalu latihan hingga adzan ashar berkumandang. Aku megang gambang. Ita vokal, Doni seruling, Joe dan Doel megang angklung.
Tujuh belas Agustus sebentar lagi, grup musik kami “Gema Indonesia” mendapat undangan untuk memeriahkan hari ulang tahun Republik Indonesia yang ke 76 di alun-alun Yogyakarta. ketika kami latihan, tiba-tiba Ita yang benar dong kalau nyanyi! Bentak Doni kepada Ita.
“Maaf temen-temen, aku nggak konsen” terang Ita.
Kami pun mengulang dan mengulang lagi, hasilya sama, gak ada bagusnya. Seketika itu Ita keluar ruangan sambil mengusap-usap kedua pipinya. “Ita...a tunggu! Panggilku dengan keras tapi tak ada tanda-tanda dia kembali.
Pagi harinya,ku buka suart beramplop putih yang di berikan kepadaku dari mang Ali penjaga gerbang sekolah.
****
Assalamualaikum wr.wb
Pertama-tama aku minta maaf kalau ada salah sama kalian, terutama kamu, Julia. Kalian baik kan? Aku disini baik kok. Sebenarnya, kemarin aku nggak konsen karena aku mau pindah ke Jakarta. pernah kenal sama kalian begitu amat menenyangkan. Apalagi kamu Julia, gadis tomboy yang setia menemaniku di kala suka maupun duka. Teriamakasihkalian telah meghiburku selama ini, aku juga mendoakan meskipun selama ini, aku juga mendoakan meskipun tanpa aku, semoga gema Indonesia selaalu menggema di telinga dunia.
Wassalamualaikum wr.wb
Sahabat mu
Ita Karnia
****
Tak sengaja aku menitikkan air mata, ketika itu membaca surat dari Ita. Ku peluk surat itu, tiba-tiba dari belakang ku “wooy, surat dari siapa Jul?” tanya Dul mengagetkanku.
“Kamu nangis ya? Sahut Joe.”
Aku berlari dan menjatuhkan surat itu. Aku berlari dan duduk di abangku sekolah. “kamu nangis gara-gara Ita sudah tak disini lagi?” tanya pak Narto menghampiriku tiba-tiba. “julia nggak nangis kok!” “tangan bohong”
Aku pun memeluk pak Narto yang berusia 52 tahun itu. “gimana gema Indonesia ? kurang seminggu tampil”. Tapi Ita tak ada pak! seruku sembari mengusap linangan air mata.
Pagi ini, pagi yang kelabu. Entah apa! Aku segera berangkat ke alun-alun Yogyakarta tapi kumpul di sekolah dulu. “ ehhhh...ehhh...kenapa kaliancengar-cengir gitu? Tanyaku ke temen-temen. Lihat dong di belakangmu!”
“Ita? Sontak ku kaget dan memeluknya erat-erat. “ketek loe bau” canda Ita”. “kok kamu bisa kesini ta?” “kan kita tampil nanti” sahutku.
Di detik-detikacara mulai, kita berdia bersama. Inilah dia gema Indonesia dari Yogyakarta, “ujar MC acara tujuh belasan itu”.
Alunan angklung, gambang dan seruling menghiasi suara emas Ita, sorak sorai penonton memeriahkan tampilan kami, alat musik tradisional Indonesia kian lama kian pudar. Siapa lagi kalau bukan kita generasi muda yang melestarikan budaya bangsa? Siapa lagi?