Sebelas tahun yang lalu, tepat di Jalan Gejayan atau yang kini bernama Jalan Affandi, mahasiswa melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Gejayan merupakan penghubung berbagai kampus utama yang ada di Yogyakarta. 

Ada tiga perguruan tinggi besar yang langsung terkait atau berlokasi di sekitar ruas jalan ini: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Sanata Dharma, serta Universitas Atma Jaya.

Jalan Gejayan juga dapat diakses dengan mudah oleh beberapa kampus, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Kristen Duta Wacana, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran”.

Gejayan menjadi salah satu tempat bersejarah runtuhnya Orde Baru. Namun, sebelum tahun 1998, demonstrasi juga kerap terjadi, seperti pada tahun 1965 dan 1966. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66. Pemuda dan mahasiswa terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru dan menggulingkan rezim Orde Lama. 

Selanjutnya, gerakan mahasiswa tahun 1974. Kala itu, mahasiswa melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktik kekuasaan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto; dan terakhir, jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Mengulang kembali sejarah, mahasiswa menyebut bahwa reformasi telah dikorupsi. Bertepatan dengan pelemparan isu reformasi dikorupsi, tagar #GejayanMemanggil digaungkan di jagat Twitter. 

Pada Senin 23 September 2019 pagi, tagar itu menjelma ribuan mahasiswa yang menggelar aksi demonstrasi menyuarakan keresahan atas undang-undang yang dibuat oleh badan legislasi DPR serta pemerintah. Mereka kemudian merampungkan dalam tujuh (7) tuntutan penting seperti ini:

1. Mendesak penundaan dan pembahasan ulang pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.

2. Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

3. Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Indonesia.

4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja.

5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.

6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Tagar #GejayanMemanggil berhasil memanggil banyak mahasiswa di kota besar yang ada di Indonesia, seperti Padang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Tanjung Pinang, Samarinda, Balikpapan, Malang, Jombang, Yogyakarta, Purwokerto, Denpasar, dan Bali.

Mahasiswa Riau bukan tak peduli. "Kami bernapas saja sulit," jawab seorang mahasiswa UR yang dijumpai di depan Kampus Bina Widya Universitas Riau ketika ditanyakan mengenai aksi tuntutan mahasiswa di banyak tempat.

Setelah mahasiswa Riau melakukan demonstrasi, pada 17 September yang lalu di depan gedung Polda Riau bertajuk Gerakan17S yang melibatkan aliansi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa ) Universitas Riau (UR), Universitas Islam Riau (UIR), Universitas Abbdurab, dan Politeknik Chaltex Riau serta ikatan mahasiswa lainnya, demo berakhir ricuh. 

Tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan pendemo di depan gedung DPR, Mahasiswa Riau juga tidak dapat berkomunikasi kepada Kapolda, dan dibubarkan dengan gas air mata. 

Setelah kejadian Gerakan17S, sekitar 13 (tiga belas) mahasiswa luka-luka. Konfirmasi pihak kepolisian juga ada yang terluka. Namun setelah beberapa korban yang jatuh pun tidak menghasilkan apa-apa, bencana asap makin meraja rela.

#GejayanMemanggil Riau? persoalan menuntut Gubernur Riau untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Riau dan Universitas Riau (UR) memilih untuk bersurat. 

Rektor UR meminta maaf kepada Kapolda Riau atas aksi Gerakan17S yang berakhir ricuh. Begitu juga dengan Rektor UIN Suska yang kemudian memilih untuk mengevaluasi mahasiswa yang ikut dalam aksi demo. Namun, seperti UGM, Universitas Sanata Darma, Universitas Atma Jaya, juga memilih untuk tidak ikut terlibat dalam demonstrasi.

Mahasiswa Riau serta akademisi belum banyak berbicara pasal rancangan peraturan ngawur yang buru-buru disahkan oleh DPR seperti revisi UU KPK, pengesahan RUU lainnya, ataupun RKUHP. Mengingat Riau merupakan salah satu daerah darurat korupsi, mengingat kepala daerah yang bolak-balik menggunakan rompi orange. 

Selain menuntut pasal ngawur, #GejayanMemanggil juga menuntut hal petinggi yang bertanggung jawab merusak lingkungan, dan Riau merupakan objek tuntutan, sebagaimana bencana asap yang diangkat menjadi bencana nasional. 

Namun Rektor Universitas yang ada di Riau menganggap bukan demonstrasi yang seharusnya dilakukan mahasiswa, melainkan istirahat. Hal ini ditandai dengan keluarnya surat edaran Rektor yang meliburkan mahasiswa. 

Dalam keadaan libur, kami mahasiswa hanya bisa mengamati lewat media tentang perjuangan teman mahasiswa. Untungnya pemerintah ahli dalam meminta maaf. Ketika hujan buatan dilancarkan, maka kata maaf dilontarkan; tak apa kalau terjadi lagi kebakaran. 

Konspirasi penguasa, pemerintah, uang, maaf, dan asap mungkin akan terus terjadi. Entah jenis pemerintahan yang seperti apa yang menjamin oksigen secara gratis di tanah yang katanya kaya.

Mahasiswa Riau masih sibuk mencari oksigen. Pemerintah sibuk cari alasan. Petinggi masih nyaman cari keuntungan. Demonstrasi, masih relevankah? Demo yang berujung maaf? Demo yang memakan korban? Demo yang haram? Konspirasi elite menuntun doa rakyat.