Publik sedang ramai mempersoalkan kebijakan pemerintah tentang Full Day School yang dinilai akan merugikan masyarakat, khususnya peserta didik. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan menguras terlalu banyak tenaga siswa dan akan mengganggu aktivitas siswa pada sore hari untuk belajar di Madrasah Diniyah (MD).
Keberatan tersebut pernah disampaikan oleh beberapa aktivis dan praktisi pendidikan, salah satunya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Situbondo pada tanggal 11 Agustus 2017. Dalam orasinya, mereka menyampaikan beberapa poin penolakan terhadap kebijakan Full Day School, di antaranya adalah sebagai berikut :
- Peraturan tersebut tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak;
- Peraturan tersebut menunjukkan bahwa menteri pendidikan sudah lupa terhadap sejarah Indonesia;
- Melupakan Pentingnya peran sekolah keagamaan dalam membangun negeri ini ; dan
- Lahirnya peraturan tersebut tanpa melalui proses riset yang mengkomparasikan dengan sistem pendidikan sebelumnya.
Tetapi, benarkah kebijakan Full Day School akan menguras banyak energi siswa dan akan mengganggu aktivitas Madrasah Diniyah?
Sebelum pertanyaan itu terjawab, perlu dibedah sedikit Kebijakan tentang Full Day School atau istilah lain. Sebenarnya acuan utamanya adalah Permendikbud No. 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Peraturan tersebut merupakan turunan dari PP No. 19 Tahun 2017 tentang beban Guru, sebagai pengganti PP No. 74 tahun 2008.
Adapun hal yang menjadi pertimbangan peraturan tersebut adalah mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi perkembangan era Globalisasi, sehingga perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah. Karena sekolah merupakan rumah kedua setelah keluarga, maka dipandang perlu untuk lebih dioptimalkan perannya dalam membentuk karakter peserta didik.
Optimalisasi peran tersebut diterjemahkan dengan menambah jam pelajaran per harinya sekitar 1 jam 20 menit. Hari sekolah dilaksanakan selama 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu. Termasuk waktu istirahat selama ½ Jam dalam satu hari atau 2,5 jam selama 5 hari dalam 1 minggu. Lama waktu istirahat ini boleh ditambah sesuai dengan keperluan sekolah, namun jika ditambah, tidak masuk dalam perhitungan 8 Jam dalam sehari.
Hari sekolah tersebut digunakan oleh guru untuk melaksanakan beban kerjanya meliputi: merencanakan pembelajaran dan pembimbingan, melaksanakan pembelajaran dan pembimbingan, menilai hasil pembelajaran dan pembimbingan, membimbing dan melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.
Sedangkan untuk peserta didik, Hari Sekolah tersebut digunakan untuk kegiatan Intrakurikuler, Kokurikuler dan Ekstrakurikuler. Kegiatan Intrakurikuler merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk pemenuhan kurikulum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan Kokurikuler merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk penguatan/pendalaman kompetensi dasar atau indikator pada mata pelajaran sesuai dengan kurikulum, ruang lingkupnya meliputi: pengayaan mata pelajaran, kegiatan ilmiah, pembimbingan seni dan budaya atau kegiatan lain yang mampu menguatkan karakter peserta didik.
Sedangkan kegiatan Ekstrakurikuler merupakan kegiatan di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah yang tujuannya untuk mengembangakan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian peserta didik secara optimal untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan.
Dalam ektrakurikuler ini termasuk juga kegiatan krida, karya ilmiah, latihan oleh bakat/minat dan keagamaan sesuai peraturan perundang-undangan.
Publik sebenarnya tidak perlu lagi khawatir, karena energi peserta tidak akan terkuras habis di sekolah. Masih ada waktu istirahat yang cukup untuk memulihkan kembali tenaga dan pikiran.
Begitupun dengan aktivitas sore siswa, dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa ruang lingkup keagamaan meliputi Madrasah Diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi, retreat, baca tulis Al Qur’an dan kitab suci lainnya.
Artinya, pendidikan keagamaan masih dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan masing-masing sekolah. Dapat dilakukan di dalam sekolah ataupun di luar sekolah, juga bisa dilakukan dengan kerja sama antarsekolah, sekolah dengan lembaga keagamaan, maupun sekolah dengan lembaga terkait lainnya.
Kerjasama tersebut sangat mungkin dilakukan sebagaimana terobosan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Purwakarta tentang rencana penerapan Full Day School berbasis Madrasah Diniyah dan Pesantren.
Di daerah tersebut, nantinya siswa SD dan SMP akan mendapatkan pelajaran umum sampai siang hari, selanjutnya siswa akan diarahkan untuk belajar agama di Madrasah Diniyah atau pesantren pada sore harinya.
Pola belajar dalam konsep ini dirancang secara kondisional, bisa guru agama datang ke sekolah atau siswa yang datang ke Madrasah Diniyah / pesantren. Tergantung jauh dekatnya sarana pendidikan agama dari lokasi sekolah.
Mengenai daftar kehadiran siswa, di Purwakarta nantinya akan diintegrasikan antara sekolah dan Madrasah Diniyah/pesantren. Jadi siswa yang tidak masuk belajar agama di Madrasah Diniyah / pesantren, dianggap sama saja tidak masuk sekolah pada hari itu.
Penerapan Pola ini akan membuat siswa langsung mengikuti pelajaran agama setelah mendapatkan pelajaran umum di sekolah. Maka, dengan begitu, siswa tidak memiliki jedah waktu ruang untuk berkeliaran tanpa tujuan pada waktu jam sekolah.
Penguatan moralitas siswa melalui pendekatan Keagamaan oleh Madrasah Diniyah/pesantren atau lembaga agama lainnya akan lebih efektif dalam membentuk karakter Siswa. Jika langkah ini dilakukan dengan sempurna, dampaknya akan mengurangi peluang kenakalan remaja.