Berkurangnya kebebasan menandai kehidupan sipil di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Mengacu pada laporan tahunan Freedom House, bukan saja gagal beranjak dari status negara “setengah bebas”, Indonesia justru mengalami penurunan skor kebebasan sipil yang drastis, dari (4) pada 2015[1] menjadi (2) pada 2016.[2]

Survei Kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Setara Institute juga mencatat terjadinya penurunan indeks kebebasan pada 2016, khususnya dalam kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama.[3]

Sejalan dengan laporan Setara Institute, berkurangnya kebebasan tampak secara mencolok dalam konteks kebebasan berekspresi. Selain pemblokiran situs Internet yang mencapai hampir 800 ribu situs sepanjang 2016[4], pembatasan atas kebebasan berekspresi juga tampak pada maraknya pemprosesan hukum kasus “pencemaran nama baik” dan “penodaan agama”. 

Kasus “penodaan agama” bahkan ikut menjerat Basuki Tjahaja Purnama, kandidat petahana dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017.

Berkurangnya kebebasan memiliki hubungan yang kuat dengan menggejalanya fobia kebebasan (eleutherophobia). Kebebasan masih dianggap sebagai hantu yang menakutkan bukan saja oleh sebagian warga, tetapi juga aparat penyelenggara negara. 

Ketakutan ini, pada gilirannya, mendorong lahirnya berbagai reaksi dalam masyarakat yang menolak “gaya hidup bebas” dan kebijakan-kebijakan restriktif terhadap kebebasan sipil dan politik.

Fobia kebebasan berakar pada penilaian “miring” terhadap kebebasan. Kebebasan dibayangkan sebagai situasi hampa-nilai atau bahkan anti-nilai, di mana orang berperilaku “semau gue” tanpa batasan moral. Bukan saja keliru, anggapan ini juga berbahaya karena menyediakan legitimasi bagi kebangkitan otoritarianisme. 

Brutalitas Homo Homini Lupus dan Fobia Kebebasan

Alih-alih bersifat hampa-nilai atau malah anti-nilai, kebebasan justru merupakan nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya nilai kebebasan, hingga jutaan orang atau lebih dalam sejarah umat manusia rela berkorban harta dan bahkan nyawa untuk merealisasikannya. 

Tanpa kebebasan, seorang manusia tidak pernah sungguh-sungguh hidup dalam menjalani kehidupannya.

Kebebasan bersifat naluriah dalam diri manusia. Naluri ini mendorong tumbuhnya kesadaran moral tentang manusia sebagai pribadi yang berdaulat atas dirinya sendiri dan, karenanya, berhak atas kebebasan. 

Kebebasan terealiasikan jika seorang manusia memegang kendali atas dirinya-sendiri, tubuh dan seluruh karakteristik fisik mapun mental dari kehidupannya, seperti organ tubuh, keyakinan, pikiran, perasaaan, dan tindakan-tindakan yang mengekspresikan ke-diri-annya.

Naluri kebebasan bekerja pada tingkat individual maupun kolektif, memanggil manusia untuk keluar dari dominasi lingkungan eksternalnya.

Pada tingkat individual, kerja naluri kebebasan tampak pada respons seseorang untuk selalu menghindar dari—atau melakukan perlawanan terhadap—upaya-upaya pihak luar untuk mendominasi tubuh dan kehidupannya.

Tak ada satu pun individu sadar yang akan berdiam diri jika ada individu atau kelompok lain hendak memperlakukannya sebagai budak, meminta anggota tubuhnya, atau menghilangkan kehidupannya. Semua ini membuktikan bahwa setiap manusia, secara naluriah, melihat dirinya memegang kedaulatan penuh atas dirinya-sendiri.

Pada tingkat kolektif, kerja naluri kebebasan tampak pada upaya manusia membangun “dunianya” sendiri yang bebas dari dominasi alam dan, karenanya, tak lagi bersifat natural.

Dalam spirit kebebasan, manusia mengembangkan pengetahuan dan teknologi, menciptakan kebudayaan, dan mengembangkan peradaban hingga mencapai bentuk yang kita kenal sekarang ini.

Dalam skala yang lebih kecil, perjuangan bangsa-bangsa untuk merealisasikan kemerdekaan juga merupakan bentuk bekerjanya naluri kebebasan pada tingkat kolektif.

Harus diakui, sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kebebasan, bagaimanapun, dapat menimbulkan konflik ketika direalisasikan dalam konteks sosial, di mana individu-individu yang berelasi mengajukan klaim kebebasan mereka masing-masing.

Situasi semacam ini dijumpai dalam narasi Hobbesian, misalnya, yang menggambarkan relasi antara sesama-manusia sebagai homo homini lupus, serigala yang saling memangsa, dalam memperebutkan akses terhadap sumber daya yang terbatas untuk menunjang kelangsungan hidup.

Situasi kebebasan yang anarkistik inilah kiranya yang dibayangkan oleh orang-orang yang mengidap fobia kebebasan. Kebebasan, dalam imajinasi kaum eleutherophobic, berlangsung dalam kerangka “hukum rimba” yang brutal, di mana hanya individu-individu yang “diberkati” dengan keunggulan alamiah yang akan memenangkan pertarungan.

Adapun mereka yang tidak “diberkati” keunggulan harus pasrah menerima nasib, hidup di bawah dominasi orang-orang yang ditakdirkan memiliki keunggulan untuk memimpin masyarakat manusia.

Alam pikiran kaum eleutherophobic yang deterministik ini membatasi imajinasi kolektif mereka tentang kekuasaan politik. Suatu komunitas politik, sebuah negara, misalnya, hadir semata-mata sebagai konsekuensi dari “kehendak alam”, yaitu ketika orang-orang yang lebih unggul memaklumkan kekuasaan politik atas wilayah-wilayah yang mereka taklukan.

Dalam alam pikiran seperti ini, negara mengambil bentuk yang paternalistik dan otoritarian. Disebut paternalistik karena negara mengambil alih kedaulatan diri dari masing-masing orang, sehingga apa dan bagaimana nasib warga sangat bergantung pada karakteristik sosok pemegang kekuasaan.

Disebut otoritarian karena negara, sebagai satu-satunya entitas yang berdaulat, mendominasi warga dalam segala dimensi kehidupannya. Negara menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diyakini, dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh warga, bahkan termasuk hidup dan matinya.

Negara semacam ini menganggap kebebasan sebagai gagasan yang subversif dan harus dikendalikan. Mereka yang menyuarakan nilai-nilai kebebasan distigmakan sebagai binatang jalang, kaum tak bermoral yang hidup tanpa aturan, dan ancaman terhadap integrasi sosial politik.

Membatasi Negara, Membebaskan Warga  

Masalah yang terdapat pada orang-orang yang mengidap fobia kebebasan ialah mereka gagal menangkap daya kreasi dalam diri setiap manusia. Akibatnya, mereka cenderung merendahkan potensi kemanusiaan mereka sendiri, menutup kemungkinan bahwa manusia dapat merubah nasib dengan melampaui keterbatasan alamiahnya.

Mereka tidak menyadari bahwa keunggulan di antara individu-individu manusia bukanlah kodrat alamiah dan persaingan di antara individu-individu tidak identik dengan brutalitas.

Kemampuan untuk menangkap daya kreasi inilah yang dimiliki oleh individu-individu bebas. Berpijak pada keyakinan bahwa setiap orang adalah pemilik dirinya sendiri, individu-individu bebas terdorong untuk memperluas kebebasannya dengan terus-menerus mengasah daya cipta.

Keunggulan seorang manusia bukan persoalan kodrat alamiah, tetapi masalah kapasitas pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah dan menciptakan nilai tambah pada diri dan alam sekitarnya.

Alih-alih melihat kebebasan dalam kerangka persaingan “hukum rimba” yang brutal dan berujung pada dominasi dan eksploitasi oleh pihak yang lebih unggul terhadap yang kurang unggul, individu-individu bebas melihat kebebasan sebagai terbukanya ruang untuk berkreasi, berinovasi, dan bekerjasama dalam mengembangkan beragam produk barang dan jasa kebutuhan manusia yang dapat saling dipertukarkan secara sukarela.

Meski demikian, individu-individu bebas juga menyadari bahwa kebebasan, dalam kondisi kehidupan alamiah manusia, merupakan sesuatu yang rentan hilang, bahkan dalam situasi damai sekalipun. 

Hilangnya kebebasan tidak hanya bisa terjadi dalam dunia yang dipenuhi oleh “manusia serigala” seperti dibayangkan Hobbes, tetapi bahkan juga dalam dunia di mana seluruh manusia penghuninya berjiwa malaikat (homo homini angelus).

Kehidupan masyarakat manusia selalu ditandai dengan adanya perbedaan dalam ciri-ciri fisik dan mental, di mana ciri-ciri tertentu (kekuatan fisik, kecerdasan, kekayaan, dan sebagainya), melalui konstruksi sosial, dianggap lebih baik atau lebih unggul daripada ciri-ciri sebaliknya.

Dalam dunia “manusia malaikat” di mana tak satupun orang akan bertindak jahat, hierarki perbedaan dalam kondisi-kondisi manusia, bagaimanapun, mengakibatkan kehidupan orang-orang yang kurang unggul bergantung pada toleransi dan belas kasih orang-orang yang lebih unggul.

Kondisi semacam ini jelas bertentangan dengan gagasan kebebasan yang mengandaikan eksistensi individu-individu berdaulat karena memiliki otonomi atas dirinya sendiri, bukan karena belas kasih orang lain yang dapat mendegradasi harkat dan martabat seorang manusia.

Bahkan dalam “dunia malaikat” sekalipun, sebagaimana dijelaskan Karl Popper, diperlukan kekuasaan politik yang secara formal dapat memastikan tidak berkurangnya kebebasan seorang manusia, kedaulatan atas dirinya, karena kondisi manusiawi yang melekat padanya.[5]

Bahkan dalam sudut pandang yang optimistik tentang kebebasan sekalipun, kehadiran negara bersifat niscaya. Namun, karena menjadi satu-satunya otoritas yang sah untuk melakukan pemaksaan, negara sewaktu-waktu dapat terperangkap dalam otoritarianisme.

Kemungkinan ke arah otoritarianisme ini hanya dapat dicegah dengan meminimalisasi peran negara, yaitu semata-mata untuk menjamin kebebasan warga dalam berbagai aspek kehidupannya.

Kehadiran negara, dengan demikian, bukanlah untuk memberangus kebebasan demi integrasi sosial-politik seperti dibayangkan pengidap fobia kebebasan, tetapi, sebaliknya, menjamin terselenggaranya kehidupan sosial politik yang bebas demi tegaknya harkat dan martabat kemanusiaan setiap individu warga.

Ancaman Otoritarianisme

Sungguh mengejutkan bahwa imajinasi situasi kebebasan yang brutal dalam kehidupan alamiah manusia ini—yang melegitimasi kekuasaan politik paternalistik dan otoritarian khas negara-negara tribal—masih ditemukan dalam kehidupan kultural masyarakat modern.

Ketakutan pada kebebasan, nyatanya, tidak hanya terjadi di negara-negara monarki absolut yang masih tersisa, tetapi juga di negara-negara demokrasi yang mendasarkan etika politiknya pada kedaulatan dan kebebasan manusia.

Indonesia adalah negara demokrasi yang telah meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional dan mendomestifikasi instrumen-instrumen tersebut dalam perundang-undangan nasional.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia mengemban kewajiban moral untuk menjadikan kedaulatan individu-individu rakyat sebagai basis bagi segala perumusan regulasi dan kebijakan.

Adapun sebagai negara yang secara konstitusional telah mengakomodasi HAM, Indonesia berkewajiban secara hukum untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar setiap warganya.

Kewajiban moral dan hukum ini hanya dapat dipenuhi melalui pembatasan peran negara dan perluasan akses warga terhadap kebebasan, di mana sebagian besar—jika bukan seluruhnya—hak-hak dasar manusia diturunkan dari nilai kebebasan.

Fobia kebebasan yang semakin kuat gejalanya dalam kehidupan sosial politik Indonesia belakangan ini, tidak bisa tidak, berpengaruh sangat besar terhadap kapasitas dan komitmen negara dalam melindungi kebebasan dan hak-hak asasi warga secara umum.

Meningkatnya xenophobia, maraknya pemrosesan hukum kasus-kasus “penodaan agama”, dan pemblokiran situs-situs Internet yang semakin sering terjadi tak lain adalah sinyal kemunduran demokrasi dan iklim kebebasan di Indonesia.

Bukan tak mungkin, jika fobia kebebasan ini dibiarkan berlanjut dan meluas, proses demokrasi di Indonesia akan berbalik arah menuju otoritarianisme, di mana negara kian kuat menancapkan dominasinya dalam kehidupan warga.

Jika situasi ini sampai terjadi kelak, kita tak perlu heran ketika perbincangan tentang kebebasan dipersamakan sebagai permufakatan jahat dan prakarsa untuk memperluas kebebasan dipandang sebagai upaya makar yang harus dibabat—jika mungkin hingga akar-akarnya.

Catatan:

  1. Indeks Kebebasan di Indonesia, 2015 
  2. Indeks Kebebasan di Indonesia, 2016.
  3. Catatan Buruk terkait Penegakan Hak Berekspresi dan Beragama Sepanjang 2016.
  4. Hingga Desember 2016, Pemerintah Blokir Hampir 800 Ribu Situs. Pada awal Januari 2017, pemblokiran kembali dilakukan terhadap 11 situs Internet, tidak termasuk situs Qureta, yang tanpa alasan jelas tiba-tiba diblokir oleh sejumlah penyedia jasa Internet. Terkait pemblokiran Qureta, baca Luthfi Assyaukanie, “Tentang Pemblokiran Qureta dan Masalah Kebebasan Kita.
  5. Lihat Karl Popper, In Search of a Better World, (London/New York, 1992), hlm. 155-157.