Manusia adalah makhluk yang berpikir, di mana dengan keberpikiran inilah manusia terbedakan dengan makhluk ciptaan lainnya.

Manusia sebagai ciptaan memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Dengan kata lain, manusia merupakan karya Tuhan yang paling sempurna di antara makhluk selain manusia.

Salah satu kelebihan yang tidak dimiliki selain manusia ialah akal, di mana dengan akal inilah manusia mempergunakannya untuk memahami sesuatu, baik itu berkaitan dengan keberadaannya maupun sesuatu yang berada di luar dirinya.

Filsafat sering kali dikaitkan dengan hal ini, dengan asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari kemungkinan untuk mengetahui bahkan dalam mencapai kebenaran pengetahuan. Atas dasar inilah sehingga filsafat dan manusia tidak terpisahkan yang justru menempatkan filsafat dalam kedudukan yang terbilang istimewa dalam khasanah pengetahuan manusia.

Tentu saja kalimat "manusia adalah makhluk yang berpikir" bukan satu-satunya alasan pembenar sehingga menutup kemungkinan adanya alasan-alasan yang lain. Kedudukan yang istimewa ini boleh dikatakan bahwa filsafat merupakan dasar/induk dari segala pengetahuan dan sekaligus merupakan puncak tertinggi dari capaian pengetahuan manusia dalam mencapai kebenaran pengetahuan.

Gambaran secara singkat di atas, seolah-seolah menggambarkan bahwa manusia dalam berfilsafat sama sekali tidak terjadi pertentangan-pertentangan di dalamnya. Justru sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa tidak sedikit pemikir yang mengawali filsafatnya dengan pertentangan-pertentangan, keragu-raguan bahkan menolak filsafat sama sekali.

Dari fenomena-fenomena itulah yang kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran pemikiran dalam filsafat. Hal ini menjadi menarik ketika filsafat diperhadapkan vis a vis dengan aliran-aliran pemikiran tertentu.

Dikatakan menarik karena dari seluruh aliran pemikiran hampir keseluruhannya memiliki metodologi tersendiri dalam berfilsafat bahkan memaknai filsafat. Dari metodologi yang dibangun itu, ternyata berimplikasi pada pemahamannya akan filsafat dalam kaitannya dengan bagaimana ia mengetahui, memahami sampai kemudian menyusun atau membangun kerangka teoritis.

Pertanyaan kemudian muncul ialah apa sebenarnya metodologi itu? Bagaimana bisa ia dijadikan sebagai instrumen untuk mengukur sejauh mana ketepatan benar tidaknya suatu pengetahuan? Bukankah metodologi juga merupakan hasil pemikiran manusia? Sehingga dengan memaksakan metodologi tertentu dalam memahami pengetahuan tertentu pula hanya akan berakibat pada kesalahpahaman yang berujung berakhir atas klaim-klaim kebenaran.

Dari berbagai pertanyaan yang diajukan ini sebenarnya mau memperlihatkan kepada kita, bahwa manusia yang secara kodrati dianugerahi akal untuk berpikir dan di sisi yang lain keberpikiran itu kemudian dibatasi oleh metodologi-metodologi tertentu yang juga merupakan hasil karya buatan tangan manusia. Dengan demikian, maka metodologi tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar untuk membenarkan sesuatu, karena bagaimanapun metodologi bukanlah sesuatu yang netral dan terlepas dari bias pengetahuan tertentu.

Di samping itu, hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwa perdebatan filsafat sebenarnya bukanlah perdebatan secara filosofis tetapi lebih merupakan perdebatan metodologi yang berurat berakar dalam filsafat. Hal ini kemudian mempengaruhi cara berpikir kita, yang justru menutup kreativitas kita sebagai makhluk yang berpikir.

Tentu saja pembahasan dalam tulisan ini jangan dimaknai sebagai penolakan akan eksistensi metodologi seperti Jaques Derrida menolak filsafat modern dengan konsep dekonstruksinya, tetapi lebih dimaknai sebagai penolakan akan metodologi yang dijadikan sebagai hakim dalam mengadili sesuatu. Sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa perdebatan filsafat hari ini sebenarnya bukanlah perdebatan secara filosofis tetapi lebih cenderung pada perdebatan metodologi.

Sebagai konsekuensinya, filsafat hanya merupakan takhayul yang tersistematisasi. Filsafat sebagai takhayul yang tersistematisasi ini merupakan filsafat yang dibangun di atas kerangka fondasionalisme meminjam istilah Derrida atau pemaknaan dalam tulisan ini sebagai metodologi tertutup.

Oleh karena itu, penting kiranya melihat filsafat sebagaimana filsafat yang tidak harus memaksakan bias pengetahuan awal yang justru makin memperlebar jurang ketidaksepahaman atau meminjam istilah Habermas ialah terjadi distorsi pemahaman.

Dengan adanya tendensi pengetahuan awal yang kemudian diperparah dengan sikap mempertahankan ego tanpa menerima keberagaman pemikiran dalam memaknai sesuatu, maka konsekuensinya ialah menjamurnya tirani pengetahuan yang berujung pada klaim-klaim kebenaran. Hal ini tentu sangat disayangkan, di mana manusia menjadi Tuhan-tuhan atas dirinya dengan sederet capaian prestasi metodologi di belakangnya.

Padahal kita sama-sama mafhum bahwa kebenaran hanyalah milik Tuhan dan kita sebagai manusia hanya berusaha dengan cara dan jalan yang berbeda dalam mencapai kebenaran itu. Sejatinya apa yang benar menurut manusia belum tentu benar menurut Tuhan, sebaliknya metodologi yang digunakan benar menurut kita tetapi belum tentu benar menurut yang lain.

Sehingga sebagai manusia yang berpikir, seharusnya bukan memaksakan apa yang menurut kita benar kepada orang lain, tetapi bagaimana kita mencoba untuk terbuka dan membuka ruang kesepahaman.