Dalam kisah Malin Kundang diceritakan seorang ibu yang didurhakai oleh anaknya. Betapa malangnya nasib sang ibu, karena kepentingan sang anak kepada kekasihnya, ia  lalu dicampakkan. Sang ibu menjadi sosok yang terbuang. Sebuah kutukan pun menjadi balasan yang setimpal bagi sang anak durhaka.

Kisah tersebut bisa kita jadikan sebuah analogi untuk menggambarkan perjalanan filsafat di era Barat modern. Dalam sejarahnya, filsafat dikenal sebagai mother of science. Paling tidak ada dua alasan mengapa filsafat disebut sebagai ibu ilmu pengetahuan.

Pertama, secara umum diakui bahwa munculnya bermacam jenis ilmu pengetahuan bermula dari perenungan-perenungan filosofis yang dirintis oleh para pemikir Yunani kuno sekitar lima ratus tahun tahun sebelum masehi. Kedua, cakupan bahasan filsafat yang begitu luas, baik yang bersifat empiris maupun nonempiris.

Para pemikir terdahulu membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis berkenaan dengan bidang pengetahuan yang meliputi fisika (kosmologi, menerologi, botani, dan zoologi), matematika (aritmatika, geometri, perbintangan, dan musik), dan teologi (metafisika dan pembahasan Tuhan). Sedangkan filsafat praktis berkenaan dengan perilaku manusia yang meliputi akhlak, ilmu keluarga dan politik.

Hal ini berarti seluruh bidang pengetahuan dinaungi dan dibahas dalam sebuah kerangka umum filsafat. Ia menggunakan metode rasional dan mengandalkan silogisme sebagai alat pengetahuan. Pergerakan pemikirannya pun berawal dari proposisi umum ke proposisi khusus (deduksi).

Bahkan metode induksi pun harus berlandasankan pada kebenaran-kebenaran umum yang merupakan bagian dari metode deduksi. Filsafatlah yang bertanggung jawab untuk menemukan kebenaran hakiki dalam seluruh bidang pengetahuan manusia.

Pengetahuan metafisik menempati posisi yang sejajar dengan pengetahuan fisik (empiris). Bahkan menurut filosof Muslim, metafisika dianggap sebagai inti filsafat, sehingga ia disebut sebagai filsafat utama. Murtadla Muțahhari menganalogikan metafisika sebagai kepala ilmu pengetahuan, sedangkan bidang ilmu lainnya hanya sebagai anggota-anggota tubuh.

Namun, sejak renaisans terbit di Barat sekitar abad ke-17 M, kecenderung minat keilmuan manusia kepada ilmu pengetahuan di bidang empiris dan eksperimentasi begitu menguat. Dalam perkembangannya, pergerakan pemikiran pun menjadi condong pada metode induktif (proposisi khusus ke proposisi umum), dari subjek-subjek eksperimentasi menuju hukum-hukum universal. Keadaan menjadi terbalik, kebenaran umum dalam metode deduksi haruslah tunduk pada hal-hal empiris. Berdasarkan metode seperti inilah keilmiahan suatu bidang ilmu pengetahuan ditetapkan.

Pengetahuan manusia pun dibatasi hanya pada bidang-bidang empiris saja, yang kemudian tersusun dalam sebuah bidang yang disebut dengan sains (science). Sedangkan filsafat kemudian hanya dibatasi dengan cakupan bahasan terhadap hal-hal tidak tunduk pada eksperimentasi langsung, seperti halnya metafisika. Dengan demikianlah terjadi pemisahan antara mother (filsafat) dan science (sains). Kedigdayaan filsafat menjadi semakin berkurang dan cenderung ditinggalkan.

Pergolakan filsafat dalam bangunan pengetahuan manusia di Barat modern terus berlanjut. Setelah pemisahan dan penyempitan cakupannya, filsafat kembali digugat keabsahannya sebagai ilmu independen yang membahas hal-hal di luar sains. Hal ini terjadi pada era positivistik sekitar abad ke-19 M.

Menurut Muțahhari, para pemikir Barat modern ini akhirnya menyadari masalah yang ditimbulkan dari pemisahan sains dan filsafat. Bidang empiris dan eksperimentasi murni tidak bisa menyingkap pengetahuan secara total, karena sifatnya yang berkutat pada masalah partikular. Bahasan-bahasan filsafat yang lebih universal berguna untuk melengkapi bangunan pengetahuan manusia.

Akhirnya mereka meredefinisi istilah filsafat menjadi suatu ilmu yang tidak berdiri sendiri, melainkan sebuah ilmu yang metode dan subjek bahasannya bersandar serta tunduk pada sains. Inilah yang kemudian dinamai dengan filsafat ilmiah.

Fungsi dari filsafat pun hanya untuk mengungkapkan hubungan-hubungan antar sains serta berguna untuk merumuskan teori-teori ilmiah universal yang berdasarkan pada temuan-temuan sains. Sehingga setiap cabang sains memiliki filsafatnya sendiri. Sampai pada titik ini, filsafat telah berubah makna. Ia bukanlah filsafat yang sebagaimana dikenal dengan mother of science lagi.

 Dari sini kita bisa melihat kesamaan nasib antara filsafat sebagai ibu ilmu pengetahuan dan ibu Malin Kundang. Keduanya adalah sosok yang terpisah dari sosok yang dilahirkannya, tidak diakui dan terbuang. Bahkan, filsafat mengalami nasib yang lebih tragis.

Karena setelah disadari oleh pemikir Barat modern bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa diraih oleh sains murni, maka mereka memungut kembali filsafat untuk membantu kepentingan sainsnya. Tentu dengan tetap memasung filsafat dalam wilayah kepentingan sains yang tunduk pada hal-hal empiris. Hal ini menyebabkan filsafat berlaku sebagai pelayan sains (servant of science).

Jika dalam kisah Malin Kundang dinyatakan bahwa kedurhakaan sang anak membawa murka sang ibu yang kemudian mengutuknya menjadi batu, maka hal yang serupa pun bisa kita tarik dari sejarah filsafat di era Barat modern. Layaknya filosof Islam kontemporer lain, Muțahhari menyatakan bahwa pemisahan antara sains dan filsafat di era Barat modern merupakan sebuah kesalahan yang fatal.

Kesalahan itu pula kerap dituding sebagai salah satu sebab mendasar dari krisis global yang dihadapi oleh umat manusia saat ini. Memang di satu sisi kemajuan teknologi menjadi begitu pesat, namun di sisi lain masalah kehampaan spiritual, moralitas, dan sebagainya, turut muncul sebagai momok bagi peradaban manusia.

Donald Walters dalam bukunya Crisis in Modern Thought menyatakan bahwa ilmu pengetahuan abad dua puluh telah memberi umat manusia berkah melimpah. Ia memberi umat manusia kemudahan materi, dan memperluas cakrawala pikirannya.

Tetapi ia juga mendatangkan kegelisahan yang hebat, hilangnya perhatian terhadap pedoman spiritual dan etika tentang kebenaran, kehormatan, dan keadilan, yang  merupakan benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu. Keberhasilan dalam satu bidang pemikiran telah menimbulkan kekacauan di bidang lain.

Sepanjang era ilmiah sekarang ini, pemahaman manusia tentang nilai-niali moral dan spiritual pun berjalan pincang di belakang ilmu pengetahuan material. Mungkin dalam bentuk masalah-masalah seperti inilah “kutukan” yang ditanggung umat manusia karena perlakuannya yang buruk terhadap sang ibu ilmu pengetahuan.

Di sisi lain, dalam filsafat Islam yang terus dilestarikan dan dikembangkan hingga saat ini, tidak membedakan antara filsafat dan sains. Keduanya adalah bidang yang sama-sama diakui status ontologis, objektivitas dan keilmiahan objek bahasannya.

Metode deduktif-rasional pun merupakan jalan yang digunakan untuk meraih semua jenis pengetahuan, baik pengetahuan metafisik maupun fisik. Dalam eksperimentasi-induksi sekalipun tetap harus bersandar pada prinsip-prinsip primer rasional.

Dalam fisafat Islam hanya dikenal istilah al-‘ilm (ilmu), yang digunakan sebagai lawan dari al-ra’y (opini). Sehingga dalam naungan filsafat Islamlah sang ibu pengetahuan menempati posisi yang tetap terhormat. Berangkat dari hal-hal  seperti inilah gerakan-gerakan seperti islamisasi pengetahuan, sakralisasi pengetahuan, atau integrasi pengetahuan digalakkan. Semuanya bertujuan untuk menempatkan ilmu pengetahuan pada tempat yang seharusnya. Secara sederhana dapat dimaknai sebagai upaya untuk menyelamatkan sang ibu yang terbuang.